Download App
1.68% GIVE ME LOVE / Chapter 4: Saudari yang egois

Chapter 4: Saudari yang egois

Saat ini, Rafa dan Bianca sudah berada di kantin yang cukup ramai itu. Bianca tersenyum tipis sambil melirik ke arah Rafa, sementara Rafa justru terlihat sangat canggung ketika dirinya berada di tempat ramai seperti itu.

"Mau duduk di mana?" tanya Rafa pada Bianca karena siswi itu tak kunjung mengajaknya untuk mencari tempat duduk.

"Emmm..." Bianca mengedarkan pandangannya melihat sekeliling. Hingga ia menemukan kedua temannya sedang duduk berdampingan. "Di sana, mereka teman-teman aku.." sahutnya dengan antusias sambil menunjuk ke arah Yuna dan Lia.

"Ah, baiklah..." Rafa tersenyum lagi dan mengekor di belakang Bianca yang kini sedang berjalan menghampiri kedua temannya itu.

Mereka berdua menghampiri Yuna dan Lia yang terlihat sibuk makan siang sambil mengobrol dengan santai. Mereka berdua memang sudah pergi lebih dulu dan meninggalkan Bianca karena ia sendiri yang memintanya.

Bianca dan Rafa duduk berdampingan di depan Yuna dan Lia.

"Wah, lihat siapa yang datang," Yuna membuka suara dengan nada sedikit menggoda Bianca.

"Apaan?" sahut Bianca sedikit ketus.

"Enggak, nggak apa-apa," Yuna langsung menurunkan nada bicaranya.

"Ekhem, kenapa kalian berdua bisa barengan ke sini? Udah sedekat itu yah?" kini Lia yang menggoda mereka.

"Kalian berdua bisa diam nggak sih? Seneng banget ikut campur urusan orang lain. Makan tuh makanan lo. Apa perlu gue suapin biar diem tuh mulut?" sarkas Bianca tidak santai.

"Aish, kenapa sih lo kayak lagi sensitif banget? Gue kan bercanda," gerutu Lia.

Rafa hanya tersenyum canggung. Hal seperti ini cukup asing bagi Rafa yang dulunya homeschooling. Ia memang tidak pernah bersosialisasi dengan orang lain karena sejak kecil mamanya tidak mengizinkan Rafa untuk sekolah umum. Hingga saat usia Rafa sudah menginjak 18 tahun ini, mamanya baru mengizinkan Rafa untuk mengenal dunia luar.

Dan karena kebetulan mereka pindah ke Jakarta, jadi Rafa meminta pada mamanya untuk sekolah di SMA umum saja daripada harus homeschooling lagi.

"Nggak usah dengerin apa kata mereka. Mereka memang aneh," bisik Bianca pada Rafa yang kini sedang memandang kedua teman Bianca itu dengan tatapan aneh.

Rafa mengangguk mengerti. Yuna dan Lia saling bertukar pandang, seakan mengerti kalau teman mereka itu gerak cepat dalam urusan mengejar apa yang ia inginkan. Bianca adalah gadis yang ambisius, ia bahkan rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Emm, sebelumnya... Kita belum berkenalan," Rafa membuka suara di tengah mereka yang masih berbincang tenang sambil menunggu pesanan makanan Bianca dan miliknya datang.

"Ah, kamu benar.." sahut Bianca. Gadis itu tersenyum manis dan terlihat sangat antusias untuk berkenalan dengan Rafa ini.

"Aku Bianca," sambung Bianca memperkenalkan diri pada Rafa.

"Aku Yuna,"

"Dan aku Lia,"

"Senang berkenalan dengan kalian," Rafa lagi-lagi tersenyum menampilkan eyesmile-nya.

Mereka pun kembali fokus pada hidangan makan siang mereka masing-masing yang baru datang dan suasana menjadi hening sesaat. Hingga tiba-tiba Rafa membuka suara lagi.

"Emm, kalau dua siswi yang tadi di kelas. Namanya siapa?" tanya Rafa pada Bianca.

Bianca menghentikan kunyahan di mulutnya. Air mukanya berubah seketika. Ia tidak suka. Bianca tau dengan jelas dan pasti bahwa yang di maksud dengan Rafa adalah Nadia, kakak tirinya.

"A-aah, yang duduk di depan lo tadi?" sahut Yuna ketika melihat ekspresi Bianca yang berubah.

Rafa mengangguk mengiyakan.

"Namanya Yeri , dan yang duduk di sampingnya itu Nadia, namanya Nada Arsa Wijaya," jelas Yuna.

"Ah, Nadia. Namanya bagus," sahut Rafa sambil tersenyum tulus.

Bianca tiba-tiba berdiri dari duduknya. Dan sontak saja membuat ketiga remaja itu mengarahkan pandangannya pada Bianca.

"Kamu mau kemana?" tanya Rafa.

Sementara Yuna dan Lia sudah tau jawabannya.

"Ah, aku sedang diet. Aku tidak makan banyak, jadi aku akan kembali ke kelas lebih dulu. Lanjutkan saja makan siang mu," sahut Bianca bohong.

"Baiklah," pungkas Rafa dengan polosnya. Ia tidak mengenal Bianca, jadi ia percaya saja dengan apa yang di katakan oleh gadis itu. Namun, tidak untuk Yuna dan Lia.

Gadis berambut cokelat itu pergi meninggalkan Rafa yang masih makan bersama kedua temannya itu. Tangannya mengepal kuat. Apapun yang berhubungan dengan kakaknya itu, Bianca selalu tak suka. Bukan tanpa alasan, tetapi karena Bianca selalu takut jika suatu saat kakaknya itu akan merebut apa yang selama ini ia miliki.

Meski Bianca sudah mendapatkan segalanya, tapi sepertinya Jaemin itu benar-benar tidak rela jika melihat kakaknya itu lebih bahagia darinya.

Bianca masuk ke dalam kelas. Ia melihat Nadia dan Yeri bercanda ria. Gadis itu menggertakkan gigi nya. Lalu berjalan menghampiri Renjun. Membuat Yeri dan Nadia langsung terfokus pada Bianca.

"Gue mau peringat in sesuatu sama lo," suara dingin dari mulut Bianca keluar begitu saja di tengah keheningan kelas.

Yeri dan Nadia menatap Bianca tak paham. Kenapa Bianca datang dengan tiba-tiba lalu terlihat seperti sedang marah? Ada apa dengannya?

"Apa lagi kali ini?" sahut Yeri tak suka.

"Gue lagi nggak ngomong sama lo," ketus Bianca.

Yeri sedikit tersulut emosi. Jika tidak mengingat bahwa Bianca adalah adik Nadia, mungkin gadis berkulit tan itu sudah menyeret Bianca dan membenturkan kepalanya ke dinding. Sadis memang pemikiran Yeri ini. Tapi, itu hanya sekedar pemikirannya belaka.

"Kamu mau ngomong apa?" Nadia berusaha tenang, meski dia tau adiknya terlihat marah padanya.

"Gue mau lo jangan sampai suka sama Rafandra!" ucap Bianca to the point.

"Apa apaan sih kamu? Kenapa menghakimi perasaan seseorang?" kesal Yeri yang merasa tidak terima temannya di perlakukan seperti itu.

Yeri hendak berdiri dari duduknya, tapi Nadia menahannya. Nadia tidak mau kalau adik dan sahabatnya itu terlibat perkelahian. Ia tidak mau kedua orang yang ia sayang mendapatkan masalah di sekolah. Belum lagi, kedua orang tuanya pasti akan menyalahkan dirinya jika Bianca mendapatkan masalah.

"Kamu suka sama anak baru itu?" tanya Nadia masih dengan perasaan tenang.

"Gue cuma bilang supaya lo jangan suka sama tuh cowok. Kenapa lo malah tanya-tanya tentang privasi gue?" jawab Bianca dengan nada bicaranya yang naik beberapa oktaf.

Ya tuhan, ada apa dengan gadis ini? Dia melarang kakaknya tanpa alasan, dan dia juga tidak ingin privasinya di senggol. Apa gadis ini masih memiliki jiwa kesadaran?

"Ya sudah. Aku akan apa yang kamu mau. Aku nggak akan suka sama anak baru itu. Kamu tenang aja. Lagipula, aku juga nggak kenal sama dia, ca..." sahut Nadia tersenyum kecut.

"Terserah. Kalau pun lo nggak kenal sama dia, itu lebih baik bagi gue..." Bianca tersenyum menyeringai.

Sementara Nadia benar-benar terlihat pasrah saja ketika adiknya itu memaksakan kehendaknya sendiri. Ia tau bahwa Bianca itu memiliki sifat kasar, tetapi yang jelas Nadia tidak bisa marah akan hal ini. Ia terlalu sayang pada adik satu-satunya ini. Nadia terlalu menyayangi Bianca bagaimanapun sifat adiknya itu.

"Dan lagi..." Gadis berambut cokelat itu menggantung perkataannya.

"Apa?!" ketus Yeri yang sudah muak dengan semua ini.

"Besok lo sama temen lo yang gendut ini pergi dari bangku ini. Gue nggak mau kalau lo duduk dekat sama Rafa. Ngerti kan maksud gue?" lanjut Bianca, lalu gadis itu berjalan menuju bangkunya.

Yeri sudah tak tahan, ia berdiri hendak menghampiri Bianca dan ingin menghajarnya saat itu juga. Nadia menarik tangan Yeri kuat-kuat.

"Jangan tahan aku... Jangan tahan aku..." ucap Yeri dengan kesal.

"Duduk!!" perintah Nadia dengan tegas.

"Dia harus di beri pelajaran!" geram Yeri.

Nadia menggelengkan kepalanya dan menatap Yeri dengan tatapan memohon. Ia benar-benar tidak ingin Yero memberi pelajaran pada adiknya itu. Bisa-bisa Yeri akan menghabisi Bianca detik itu juga.

Hingga tidak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Dan satu persatu penghuni kelas masuk ke dalam kelas 3-1 itu.

"Sudah bel masuk. Dia akan di beri pelajaran sama guru. Jadi, duduk dan tenangkan dirimu" tutur Nadia pada Yeri.

Yeri mendengus kasar. Matanya memicing tajam kearah Bianca. Sedangkan Bianca sama sekali tidak perduli dan hanya tersenyum menyeringai penuh kemenangan.

Nadia tersenyum kecut sambil menatap buku pelajaran di depannya.

"Aku bahkan tidak di beri hak untuk menyukai seseorang."

"Bagaimana aku bisa sebahagia ini? Terus tersenyum di tengah goresan luka yang tak bisa di lihat oleh orang lain."

"Apa aku sudah cukup kuat? Aku tidak tau. Mungkin iya, tapi aku tidak tau ini akan bertahan hingga kapan."

"Atau, akhirnya aku akan menyerah dengan semua luka ini..."

Monolog Nadia dalam hatinya.

Menangis pun seakan Nadia tidak berhak. Yang Nadia inginkan hanya sedikit di hargai oleh keluarganya sendiri, jika ia terus menerus seperti ini. Nadia sendiri bahkan tidak yakin bahwa dirinya akan sanggup.

..


Chapter 5: Kehidupan Nadia

Sepulang sekolah, Nadia pergi ke sebuah kedai camilan kecil untuk bekerja part-time. Gadis yang akan berusia 18 tahun itu adalah gadis yang sangat mandiri. Seperti yang sudah di ketahui banyak orang, Nadia di perlakukan berbeda dengan adiknya.

Nadia harus bekerja untuk menabung, ia mengumpulkan sedikit demi sedikit uang nya untuk membeli keperluan yang ia butuhkan. Orangtuanya memang memberi Nadia uang saku, tetapi itu tidak cukup mengingat Nadia juga memerlukan hal lain untuk perlengkapan sekolah nya.

Gadis itu cukup bersyukur orangtuanya masih mau membiayai sekolahnya, jadi ia tidak ingin merepotkan mereka lagi dengan meminta keperluannya.

"Selamat datang di Cafe Berry. Anda mau pesan ap--" sambutan Nadia terhenti ketika melihat sosok lelaki tampan di depannya.

Rafa tersenyum melihat Nadia yang sedang memandangnya. "Kamu kerja part-time di sini?" tanyanya.

Nadia mengangguk, lalu menundukkan wajahnya.

"Ah, aku pesan lemon tea satu, sama macaron rasa green tea satu," ucap Rafa.

"Baiklah, totalnya Rp 36.000,-" sahut Nadia sambil tersenyum ramah.

Rafa pun membayar pesanan nya, kemudian duduk menunggu pesanannya. Jemarinya mulai memainkan ponselnya. Sementara Nadia menghela nafas sejenak sebelum mengantarkan pesanan yang sudah selesai ia siapkan untuk Rafa.

Gadis itu bergumam. "Kenapa harus ketemu sama dia sih?" Lalu berjalan perlahan mengantar minuman dan camilan pesanan Rafa.

"Ini pesanan kamu," ucap Nadia.

"Terimakasih, Nadia?" sahut Rafa.

"Kamu tahu namaku?" Nadia mengernyit heran karena ia merasa belum memperkenalkan diri pada Rafa.

Rafa mengangguk. "Yuna yang memberitahu aku," jawabnya jujur.

Nadia hanya ber-oh kecil. Dan hendak kembali ke stand-nya.

"Apa kamu masih lama kerja nya?" Rafa bertanya pada Nadia.

Gadis itu menoleh ke arah Rafa, kemudian mengangguk kecil. "Masih 2 jam lagi waktu ku pulang," jawabnya.

Rafa yang mendapat jawaban dari Nadia pun ber-oh kecil dan menganggukkan kepalanya.

"Kenapa?" tanya Nadia.

"Tidak, hanya bertanya saja." jawab Rafa, senyum itu merekah di wajah tampannya.

"Kenapa dia ganteng banget sih," batin Nadia.

Gadis itu cepat-cepat menggelengkan kepalanya agar tersadar dari pikiran nya yang mulai melantur. Ia kembali ke stand-nya dan tidak memperhatikan Rafa lagi. Jangan sampai ia berurusan dengan adiknya hanya karena kesalahan kecil yang ia buat itu.

***

Waktu terus berlalu. Rafa sudah tidak lagi berada di kedai itu. Jangan berpikir kalau Rafa menunggu Nadia hingga selesai bekerja ya. Itu tidak mungkin. Sebab Rafa juga sudah pasti memiliki kesibukan lain, terlebih ia juga belum sedekat itu untuk menunggu Nadia pulang bekerja.

Nadia berjalan menyusuri jalanan sepi yang sudah lumayan dekat dengan rumahnya. Beberapa langkah lagi, gadis itu sampai di depannya rumahnya. Namun, langkahnya terhenti melihat kedua orangtuanya dan adiknya baru turun dari mobil.

Mereka baru pulang sehabis jalan-jalan. Bersenang-senang tanpa Nadia. Memang Nadia siapa? Dia memang putri di rumah itu, tapi selama ini ia tak pernah merasakan kasih sayang dan juga perlakuan baik sebagai putri dari keluarga itu.

Nadia tetap bertahan di keluarga itu karena hanya mereka yang Nadia miliki. Gadis cantik berambut panjang itu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi setelah ibu kandungnya meninggalkan dirinya. Jika bukan karena kasih sayang Nadia yang besar pada Bianca dan keluarganya, mungkin Nadia sudah dari lama memutuskan untuk pergi dari rumah itu.

"Ah, mereka pasti habis jalan-jalan lagi. Tenanglah Nadia, ini bukan kali pertama kamu ngelihat hal kayak gini kan?" monolognya.

Nadia tersenyum kecut dengan air mata yang sudah mulai menggenang di pelupuk matanya. Bohong jika Nadia mengatakan ia tidak masalah. Memangnya hati anak mana yang tidak sakit ketika ia tau dengan jelas bahwa di beda-beda kan oleh keluarganya sendiri.

"Jangan khawatir. Pasti akan ada saatnya kamu juga merasa bahagia seperti Aca. Jangan menyerah, kamu harus bertahan. Demi bunda.."

lanjut monolog gadis cantik itu.

Tanpa sadar, air matanya lolos begitu saja. Ia pun mengusap kasar air matanya. Menghembuskan nafas sejenak, lalu berjalan perlahan memasuki halaman rumahnya. Nadia harus tetap terlihat baik-baik saja meski sebenarnya ia sangat sesak menahan sakit dalam hatinya.

"Kamu baru pulang?" suara Arsa Wijaya -Papa Nadia- menghentikan langkah kecil gadis mungil itu.

"Iya, Pa..." sahut Nadia pelan.

"Buatkan Papa kopi dulu, baru kamu boleh istirahat!" pinta Arsa pada putri pertamanya.

"Baik, pa." Nadia mengangguk dan berjalan menuju dapur.

"Apa kamu suka sama baju nya?" tanya Irene pada Bianca putrinya.

"Suka sekali. Tapi, tadi kan aku mau beli yang lain, Ma..." sahut Bianca sedikit merengek.

"Iya, nanti kapan-kapan beli lagi. Kamu semuanya mau di beli, pilih yang di butuhkan dulu dong..." tutur Irene sambil mencubit gemas pipi putri kesayangannya itu.

"Ah, mama.." decak Bianca.

"Ya sudah, besok beli lagi sama Mama ya.." sahut Arsa.

"Ha?? Seriusan, Pa?" Bianca sangat antusias.

Arsa hanya mengangguk dan tersenyum.

"Terimakasih Papa. Papa yang terbaik," Bianca memeluk papanya dengan manja.

Nadia yang mendengar percakapan mereka, merasa sangat sesak. Ia benar-benar seperti tidak ada harganya, atau bahkan mereka hanya menganggap Nadia sebagai debu di antara mereka.

"Jika kehadiranku tidak di anggap, lalu kenapa aku harus di pertahankan sejauh ini? Harus sampai kapan aku menahannya? Apa aku bisa sekuat itu?" batin Nadia dengan segala rasa sesak dalam benaknya.

Sementara itu, Bianca beranjak ke dapur. Ia berniat untuk mengambilkan kopi Papa nya. Tentu saja hanya untuk mencari muka. Memang sejak kapan Bianca itu memiliki rasa perduli pada orang lain? Tidak pernah sekalipun.

Gadis itu melihat Nadia yang melamun di depan kompor.

"Lo tuli apa gimana sih? teko nya udah bunyi dadi tadi," ketus Bianca.

Nadia langsung tersadar dari lamunannya.

"Ah iya, maaf..." lirihnya.

"Ck, Lo tuh benar-benar nggak berguna tau nggak..." umpat Bianca kasar.

Gadis cantik berambut cokelat itu, mendekati kompor dan mematikan kompor tersebut, sambil sedikit mendorong Nadia menjauh.

"Biar gue aja yang bikin. Dasar lelet!" sarkas Bianca merebut paksa teko berisi air panas itu.

"Hati-hati, Ca. Itu pa--"

"AARRHHH!!!" Teriak Bianca kencang. Tangannya terciprat air panas dari teko yang di rebut paksa olehnya.

Arsa dan Irene langsung berlari melihat keributan apa yang terjadi di dapur.

"Ada ap-- . Astaga, Bianca. T-tangan mu kenapa sayang," Irene panik melihat tangan anaknya yang memerah.

"N-nadia, dia sengaja menuang air panas itu hingga terkena tangan ku, Ma.."

Fitnah. Itu adalah kata-kata fitnah yang di lontarkan oleh Bianca. Jelas-jelas dia sendiri yang merebut paksa teko panas itu. Bianca memang sungguh kejam pada saudaranya sendiri.

"A-aku ng-nggak- "

Plakkk!!!

"Berani banget kamu mencelakai putri ku?!" Irene menampar Nadia dengan keras.

"Bukan aku, Ma. Caca sendiri yang- "

"Diam!!" Arsa memotong perkataan Nadia cepat dengan nada tinggi.

"Kalau kamu iri sama adikmu, seharusnya bilang saja. Kamu nggak perlu sampe luka in dia seperti ini. Dimana akal sehat mu?!" Bentak Arsa.

"T-tapi benar, pa. Aku nggak laku in itu..." ucap Nadia parau. Gadis itu sudah menangis karena ucapan kasar orangtuanya.

Irene mengambil teko panas itu dan menarik tangan Nadia kasar. Gadis itu langsung histeris ketakutan.

"AARRGHHH... panas, ma... S-sakitt!!" rintih Nadia ketika tangan mulusnya dengan sengaja di siram air panas oleh Irene.

Kejam? Memang. Irene sangat kejam pada Nadia. Sekali Nadia berbuat salah, ia bahkan tak segan untuk memukuli gadis itu. Bahkan terkadang Nadia sampai pingsan karena di aniaya oleh mama tirinya sendiri.

"Kurang?? Atau kamu mau mama siram wajah cantikmu itu?!" ancam Irene.

Wanita cantik benar-benar hendak menyiram wajah Nadia dengan air panas di tangannya itu.

"Hentikan!!" cegah Arsa.

"Kenapa? Kamu nggak terima kalau bayangan wajah wanita itu hilang?" sarkas Irene dengan emosinya yang masih berada di puncak.

"Cukup. Dia sudah mendapatkan balasan yang sama. Jangan melampaui batasan mu, Irene..." Sahut Arsa.

Irene mendengus kasar. Wanita cantik itu menatap tajam Nadia yang meringis kesakitan, kemudian membawa Bianca pergi dari dapur.

Arsa melihat sekilas tangan Nadia. Terlihat sangat merah dan itu melepuh. Harus segera di obati secepatnya.

"Obati tangan mu, atau kamu akan kehilangan nya." Ucap Arsa dingin dan berlalu begitu saja.

Nadia menatap kepergian Papanya itu dengan perasaan tercabik-cabik. Bukan hanya tangannya yang sakit, namun batinnya lebih sakit. Bagaimana orangtuanya sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasannya lebih dahulu, itu benar-benar membuatnya sangat sakit.

Gadis itu berjalan perlahan menuju kamarnya. Ia duduk di kursi depan meja belajarnya, dan mengambil kotak p3k dari lacinya. Mengeluarkan salep untuk mengobati tangannya.

Air mata Nadia terus jatuh tanpa bisa ia bendung. Meratapi kesedihan yang selalu menghampirinya setiap hari. Ia pun lupa kapan ia pernah tertawa lepas karena keluarganya. Di mata semua orang, keluarga Nadia masih lengkap. Tapi pada kenyataannya, Nadia seperti hidup sebatang kara yang selalu berteman sepi dan kesedihan.

"Bunda... Nadia rindu..."

Dan gadis cantik itu sudah tidak sanggup lagi menahan kesedihannya. Ia menangis tersedu-sedu hingga kedua matanya merah dan sedikit membengkak. Setidaknya, hanya itu yang bisa Nadia lakukan karena ia terlalu lemah untuk melawan atau menuntut keadilan.

..


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C4
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank 200+ Power Ranking
    Stone 0 Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login

    tip Paragraph comment

    Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

    Also, you can always turn it off/on in Settings.

    GOT IT