Download App
85.71% The Noir.

Chapter 6: Riddle

Sebuah mobil van hitam melesat cepat di tengah hutan, sinar dari lampu lednya menyorot mantap menembus kegelapan malam.

Dua orang lelaki duduk di dalamnya. Ekspresi mereka tegang dan kaku. Di belakang mereka, seorang wanita tersungkur dengan menyedihkan di lantai van. Kedua tangan kakinya terikat oleh tali yang luar biasa kuat sehingga dari pergelangan sampai jari-jarinya membiru dan memar. Kulitnya pucat dan penuh oleh bercak darah. Dia tergolek tak berdaya seperti babi yang siap untuk disembelih.

"Jadi," lelaki berkulit gelap yang duduk di samping kursi pengemudi memulai pembicaraan. "Union sudah melepas mereka?"

"Ya." Kata si pengemudi tanpa memandang lawan bicaranya. "Janus sendiri yang melepaskannya. Mereka sudah menjarah beberapa kota sekarang."

"Menurut berita yang kudengar Bukit Hujan masih aman sekarang."

Si pengemudi mengeuarkan suara kekehan mengejek. "Ya, tapi cepat atau lambat mereka akan tiba juga di sana."

Hening sejenak, kemudian si lelaki berkulit gelap bertanya dengan suara rendah. "Jadi noir ternyata masih hidup selama ini?"

Si pengemudi mengangguk penuh gairah. "Ya. Tak lama lagi dia akan menunjukan eksistensinya kepada kita. Aku tidak sabar melihat neraka itu tiba."

Tanpa mereka sadari wanita di belakang mereka diam-diam bergerak. Tangan dan kakinya yang terikat bergerak-gerak dalam kegelapan. Dia sudah terlatih untuk menghadapi situasi seperti ini—terikat oleh borgol besi, rantai, dan bahkan kabel listrik sekali pun, jadi, terikat oleh tali tambang yang luar biasa kuat seharusnya bukanlah hal yang sulit.

Namun tampaknya, nyeri dari jari-jarinya yang kebas dan mati rasa menyulitkan pergerakannya. Dengan sangat perlahan dia menggerakan tangannya ke kepalanya, meraba-raba di sela helaian rambutnya. Ketika jari-jarinya sudah menyentuh apa yang dicarinya, dia menarik keluar benda kecil yang mirip tusuk konde dari rambutnya.

Dengan lihai dia menyelipkan tusuk konde itu di sela antara tali dan pergelangan tangannya, kemudian dia menggesek tusuk konde itu secara vertical berulang-ulang. Perlahan tapi pasti, tali itu mulai mengendur. Ayo sedikit lagi, dia membatin. Sedikit lagi. Tangannya terus menggesek tusuk konde itu sementara pikirannya berputar mengatur strategi berikutnya.

"Kita buang dia ke mana?" tanya si lelaki, menunjuk ke arah wanita di balik kursinya.

"Tepi hutan." Jawab si pengemudi. "Aku tak mau ambil resiko-"

"Shhh!" Si lelaki berkulit gelap meletakkan jari di mulutnya. "Kau dengar suara itu?"

Si pengemudi mengernyit. "Suara apa?"

"Seperti seretan."

Keduanya kompak menoleh ke belakang. Butuh beberapa detik untuk mereka menyadari sepenuhnya bahwa lantai van itu telah kosong. Tempat yang seharusnya berisi tawanan mereka sekarang hanya tersisa bekas potongan tali yang tercabik dengan kasar.

Tubuh kedua lelaki itu menegang, mereka saling melempar pandang waspada.

Ketika si lelaki berkulit gelap hendak menoleh ke belakang lagi untuk memastikan, ada tangan pucat yang muncul dari kegelapan melewati sandaran kepala kursi di sisi kirinya (berhimpitan dengan jendela) lalu meraih lehernya dengan ganas dan mencekiknya.

Sesaat, lelaki itu mengira gelapnya malam dan aura mistis di hutan telah mempengaruhi kewarasannya. Tapi jari-jari pucat itu berbentuk dan nyata. Lehernya dapat merasakan suhu dingin dari tangan pucat yang tengah mencekiknya tanpa ampun.

Si wanita mengerahkan seluruh otot di lengan kirinya untuk mencekik leher lawannya sambil memastikan dirinya tetap berada di luar pandangan kedua musuhnya. Dia bisa merasakan sekujur lengannya bergetar karena pengerahan tenaga yang terlalu berlebihan.

Kemudian, masih dengan mencekik lawannya, dia meloncat sekuat tenaga dan melakukan gerakan seperti salto ke belakang. Kakinya menjejak di langit-langit van selama 3 detik lalu mendarat dengan posisi duduk mengangkang yang kurang etis—pantatnya bertemu dengan paha lelaki yang dicekiknya, si lelaki shock bukan main.

Tapi tak ada waktu untuk mengubah posisinya karena si pengemudi yang entah karena shock atau tolol menginjak rem, dan van pun berhenti begitu mendadak sehingga ketiga orang itu mental ke dashboard mobil.

Walau begitu, si wanita dengan cepat menguasai situasi, membiarkan instingnya mengambil alih nalarnya. Dia menyayat leher si lelaki berkulit gelap dengan pisau tusuk konde miliknya. Tanpa ampun dan tanpa belas kasih dia menggoresnya lebih dalam.

Darah segar menyembur keluar bersamaan dengan jeritan kesakitan yang menggema di langit-langit van, menembus ke luar jendela memecah keheningan malam. Detik berikutnya, kepala lelaki berkulit gelap itu terkulai lemas.

Si pengemudi yang melihat itu terpaku dalam kengerian sekaligus terkejut. Dia tak mengira perempuan yang terkapar lemah tak berdaya layaknya babi yang siap disembelih, bisa berubah menjadi harimau bergigi pedang hanya dalam beberapa menit.

Bagaimana wanita ini bisa terbebas, dia tidak peduli, yang jelas wanita di hadapannya bukanlah orang biasa. Dia terlatih, terlihat dari caranya bersembunyi dan melumpuhkan lawannya. Seketika Instingnya mengatakan dia harus bergerak kalau tidak mau lehernya ikut tergorok.

Dia merogoh pistol semi otomatis dari selipan pinggangnya dan menodongkannya pada wanita di hadapannya nya.

Si wanita menoleh dengan nanar, ketika dilihatnya sebuah pistol teracung tepat ke arah kepalanya, dia tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Sebutir peluru melesat di udara bersamaan dengan tubuhnya yang berguling ke bawah, dia bisa merasakan desing peluru yang melewati ujung kepalanya dan seperti suara ledakan cambuk peluru itu menghantam kaca jendela mobil.

Seperti kembang api yang meledak, kaca itu pecah dan berhamburan ke segala arah. Saat konsentrasi si pengemudi sedikit terpecah karena serpihan kaca yang berterbangan, si wanita memanfaatkan kesempatan ini; dia melompat dan menerjang ke arah buruannya seperti burung pemangsa.

Si pengemudi yang tidak siap dengan pergerakan mendadak dari lawannya tersentak ke belakang, tapi lawannya tak memberikan kesempatan sedetik pun untuk bernapas. Wanita itu dengan lihai mengayunkan tangannya ke arah lehernya.

Dia mengira wanita itu akan mencekik lehernya. Ternyata perkiraannya salah, malah lebih buruk. Tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa menyerang lehernya, seperti ada yang menjejalkan api di kerongkongannya. Dia dapat merasakan cairan hangat mengucur deras dari lehernya. Wanita itu telah menggores lehernya sampai ke pita suaranya. Dia tahu dia telah kalah dan tak punya tenaga lagi untuk melawan.

Pandangannya mulai kabur ketika dia menyadari pistol semi otomatis di tangannya telah di rebut dan balik menodong kepalanya. Dia sudah yakin inilah akhir dari hidupnya, begitu wanita di hadapannya menarik pelatuknya ... semuanya selesai.

Tapi wanita itu tidak melakukannya. Sebelah alisnya terangkat menatapnya seolah mempertimbangkan akan membunuhnya atau tidak. Lalu dia berkata dengan suara rendah berbahaya. "Berikan ponselmu!"

Si pengemudi bergeming tak berniat untuk melakukan perintah itu, toh pada akhirnya dia akan mati juga. Tapi dugaannya salah lagi. Wanita itu tidak menembak kepalanya, tangannya yang pucat meraba-raba pakaiannya dan mengeluarkan benda segiempat dari saku celananya.

"Apa sandinya?" tanya si wanita, masih dengan suara mengancam yang sama. Ketika si pengemudi tampaknya enggan memberitahunya, dia menekan bagian leher mangsanya yang terluka dengan moncong pistol di tangannya.

Si pengemudi berteriak kesakitan, tapi teriakannya tak lebih dari erangan lirih yang parau. suaranya mirip seperti kodok yang tergencet. Si pengemudi tahu inilah akhir dari hidupnya. Nyeri di lehernya tak tertahankan. Dengan suara tersekat dia membisikan beberapa angka, lalu dengan suara memohon yang terdengar ironis baginya, dia berkata, "Tem...bak...aku..."

"Tak ada gunanya membunuhmu." Balas si wanita, suaranya terdengar sedingin batu es. "Nikmatilah penderitaanmu. Si Janus yang kau agungkan itu tidak akan mencarimu. Kau tak lebih dari sekedar sampah untuknya."

Masih dengan posisi menodongkan pistol di kepala mangsanya, si wanita mengetik beberapa nomor dari ponsel curiannya, saat terdengar nada sambung dia menempelkan layarnya pada telinganya.

"Halo.." suara seorang lelaki di ujung sambungan menyapanya lebih dulu.

"He knows." Wanita itu berkata tanpa basa-basi. "He knows she's still alive,"

Sambungan di ponsel hening sejenak.

"Temui aku di tempat biasa."

Tanpa mengucapkan salam perpisahan si wanita menutup ponselnya, menjatuhkannya di lantai van, lalu menginjaknya sekuat tenaga, layarnya pecah berkeping-keping. Ponsel si pengemudi remuk tak berbentuk lagi.

Si pengemudi yang melihat itu tertawa miris dalam hati. Di ambang batas kesadarannya, dia sempat melihat wanita itu keluar dari mobil dan hilang ditelan kegelapan malam sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C6
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login