Download App
9.75% CEO Jutek Dan Perisainya / Chapter 16: Terbayang-bayang

Chapter 16: Terbayang-bayang

Sementara itu rumah yang sedang dituju oleh Senopati itu adalah rumah Arjun.

Arjun memang belumlah tidur. "Kenapa aku teringat gadis itu terus, ingat Arjun kamu buruk rupa," gumamnya yang lalu mengeluarkan napas berat sambil memandang bintang dan rembulan.

"Setiap saat jantungku berdebar, jika gambaran wajahnya muncul," gumamnya lagi. "Ah ... sadar, ayo sadar," katanya sambil menepuki pipinya yang panas.

Arjun lalu menyibukkan diri, dia bolak-balik masuk dan keluar rumah untuk mempersiapkan sayuran hasil kebunnya yang habis dipetik sore tadi, karena besok pagi mau diantarkannya ke pasar. 

"Apa besok bisa melihanya lagi?" gumamnya lagi yang masih terbayang-bayang wajah cantik gadis tidak dikenalnya sama sekali. Arjun mendengar suara kuda yang menyadarkan dari lamunan tentang gadis itu.

Akhirnya Senopati pun sampai di depan rumah Arjun. 

"Permisi ki sanak ... maaf kalau kiranya mengganggu? Saya ini kemalaman ... kalau diperbolehkan saya mau numpang istirahat untuk malam ini?"

Arjun yang masih membungkukkan badan karena memang sedang mengikat sayurannya, langsung berdiri dan membalikkan tubuhnya. 

"Yah, silahkan ..."

Dan begitu melihat wajah Arjun, Senopati pun langsung terkejut, dia mengira kalau Arjun adalah hantu penunggu hutan itu. Wajah Arjun yang memang telah rusak terlihat sangat menakutkan, apalagi penerangan hanyalah dari cahaya lampu minyak tanah yang terlihat suram, sehingga tidak bisa menerangi dengan jelas, dan malah menambah seram pada wajah Arjun itu.

"Ohh, siapakah tuan ini? Apakah tuan ini manusia? Ataukah Siluman?" tanya Senopati dengan wajah terlihat nampak tegang. 

"Tenanglah tuan, saya ini juga manusia seperti tuan, mari silakan duduk."

Lalu Senopati pun segera masuk ke teras rumah Arjun, dia nampak masih memperhatikan Arjun yang masih sibuk dengan dagangannya itu. 

"Maaf Tuan, saya selesaikan pekerjaan saya ini, habis ini saya temani Tuan," ucap Arjun yang terlihat mempercepat gerakannya untuk segera membereskan pekerjaannya itu. 

Dan tidak lama kemudian Arjun terlihat sudah menyelesaikan pekerjaannya, lalu dia pun segera duduk menemani tamunya itu. 

"Siapakah Tuan ini? Kenapa malam-malam seperti ini Tuan bisa berada disini?" tanya Arjun nampak keheranan.

"Perkenalkan nama saya Bagaskara ... saya berasal dari kota raja."

"Lalu untuk apa larut malam seperti ini Tuan berada disini? Apakah Tuan tersesat?"

"Tidak tahu ki sanak, saya sendiri tidak tahu apakah saya ini sedang tersesat atau tidak? Tapi yang jelas saya ini sedang menuju ke lereng gunung Pati Pura itu," jawab Senopati sambil menunjuk ke arah gunung. 

"Untuk apa Tuan jauh-jauh datang hanya untuk pergi ke gunung? Apakah Tuan mau bertapa?"

"Bukan ki sanak, saya tidak akan bertapa."

"Lalu untuk apa?" tanya Arjun penasaran. 

"Saya hanya sedang menjalankan tugas dari Kerajaan Mulyajaya, saya sedang diutus oleh Gusti Ratu Dewisinta."

"Oh, jadi Tuan ini seorang punggawa Kerajaan?" tanya Arjun.

"Benar ki sanak, saya adalah seorang Senopati Kerajaan Mulyajaya, saya ini mendapatkan tugas Kerajaan untuk mencari mayat sakti yang berada di sebuah Goa di lereng gunung Pati Pura itu."

"Untuk apa Gusti Ratu memerintahkan Tuan Senopati mencari mayat sakti?" tanya Arjun penasaran. 

"Untuk menyembuhkan penyakit Gusti Prabu Damantara."

"Memang Gusti Prabu menderita penyakit apa? Kok sampai harus disembuhkan dengan mayat sakti."

"Gusti Prabu menderita lumpuh Tuan, beliau sudah berbulan-bulan tidak bisa bangun dari ranjangnya."

"Tunggu, sebentar Tuan," tiba-tiba saja Arjun memotong pembicaraan Senopati, dia terlihat menundukkan kepalanya, seperti orang yang sedang melakukan semedi. 

Arjun memang sedang mendapatkan panggilan gaib, dia sedang dipanggil oleh roh Eyang Resik. 

"Arjun cucuku ..."

"Iya Eyang. Ada apa Eyang memanggilku?"

"Eyang mau memberi tahu bahwa tamu mu itu adalah orang baik, dan dia memang sedang menjalankan tugasnya."

"Lalu apakah Eyang akan mengizinkan apabila jasad Eyang dibawa oleh orang ini?"

"Arjun ... ketahuilah ... bahwa saat ini aku sudah tidak ada urusan lagi dengan jasadku itu, aku sudah tidak punya kuasa apa-apa dengannya, karena aku sudah berada di alam yang berbeda."

"Lalu Eyang? Apakah berarti aku harus mengizinkan mayat Eyang dibawa olehnya?" tanya Arjun yang nampak masih bingung. 

"Itu terserah kamu ... kalau kamu rasa perlu ya silahkan, tapi kalau hanya untuk menyembuhkan penyakit Raja Damantara tidak harus dengan bekas jasadku itu."

"Lalu dengan apakah Eyang?" tanya Arjun. 

"Ambilkan tiga helai rambut dari jasadku, lalu berikan kepada orang itu untuk kemudian supaya dipakai oleh sang Raja Damantara, atas ijin sang Esa, Raja Damantara akan segera diberi kesembuhan," tutur roh Eyang Resik.. 

"Baiklah Eyang, kalau begitu besok sehabis dari pasar saya akan mengunjungi jasad Eyang dan akan aku ambilkan tiga helai rambut Eyang Reksa untuk diberikan kepada tamuku ini."

"Jangan tunggu sampai besok cucuku ... saat ini di Goa sudah banyak orang yang hendak mengambil mayat Eyang, tapi mereka semua tidak akan pernah bisa, meski hanya untuk sekedar memasuki Goa sebelum kau datang."

"Ingat pesan Eyang cucuku ... orang yang layak untuk memiliki jasadku adalah seorang kesatria, yaitu orang yang memiliki kepribadian yang baik, sebab kalau tidak ... kalau sampai jasadku itu jatuh ke tangan orang-orang jahat, maka itu akan menjadikan kejahatannya semakin sempurna dan dengan begitu akan semakin banyak pula orang-orang yang akan menderita karena ulahnya, maka dari itu pilihlah orang yang benar-benar tepat ... selamat tinggal cucuku ..." ucap Eyang Resik menyudahi kontak batinnya. 

"Baik lah Eyang ..."

Lalu Arjun segera membuka matanya, nampak Senopati masih duduk sambil terus memperhatikan orang yang ada di depannya itu. 

"Tuan Adhinata ... ketahuilah bahwa saat ini orang yang sedang menginginkan mayat sakti itu banyak sekali, dan mereka adalah para pendekar dari berbagai aliran ilmu silat." 

"Baiklah ki sanak, kalau begitu saya tidak jadi istirahat di rumah ki sanak, saya akan langsung naik kelereng gunung dan akan segera mengambil mayat sakti itu, biar tidak didahului oleh para pendekar itu."

"Tunggu dulu Tuan, jangan terburu-buru, Tuan Senopati tenang saja, karena mereka para pendekar itu tidak akan pernah bisa mengambil mayat sakti itu." 

Mendengar ucapan orang yang ada di depannya itu Senopati Adhinata pun kembali agak terkejut. 

'Siapa sebenarnya orang ini? Kok nampaknya dia sangat paham dengan mayat sakti itu,' gumam Senopati dalam hati. 

"Eh, maaf sejak tadi saya belum bertanya, siapakah ki sanak ini sebenarnya? Keliatannya ki sanak paham betul dengan mayat sakti itu?"

"Nama saya Arjun Tuan, saya adalah cucu dari Eyang Resik."

"Apa? Eyang si mayat sakti itu?"

"Benar Tuan, dan sayalah yang ditugaskan untuk menjaga mayat Eyang Resik itu."

"Oh, maafkan saya Tuan Arjun? Saya benar-benar tidak tahu, terus bagaimana caranya agar saya bisa mendapatkan mayat sakti itu? Karena kondisi Prabu Damantara sudah sangatlah memprihatinkan."

"Sebenarnya kalau hanya untuk sekedar mengobati penyakit Gusti Prabu tidak perlu sampai membawa mayat Eyang Reksa."

"Lalu?" tanya Senopati penasaran. 

"Cukup Tuan Senopati membawa rambut Eyang Resik."

"Caranya gimana Tuan?"

"Nanti saya yang akan mengambilkannya untuk Tuan Senopati."

"Oh begitu baiklah, lalu kapan kita akan ke sana?"

"Sekarang Tuan, kita akan berangkat sekarang untuk memastikan keadaan yang terjadi di Goa itu, mari Tuan Senopati."

Lalu mereka berdua pun segera berangkat menelusuri jalanan yang mengarah ke lereng gunung Pati Pura, nampak mereka memilih untuk tidak membawa kuda, karena dikhawatirkan suaranya bisa terdengar oleh para pendekar lain yang juga sedang menuju ke tempat yang sama. 

Arjun mengajak Senopati untuk mengambil jalan pintas, meskipun sedikit terjal dan sesekali harus memanjat tebing namun bagi seorang pendekar hal tersebut bukanlah merupakan suatu masalah. 

Bersambung ... 


Chapter 17: Mengadu Domba

Arjun mengajak Senopati untuk mengambil jalan pintas, meskipun sedikit terjal dan sesekali harus memanjat tebing namun bagi seorang pendekar hal tersebut bukanlah merupakan suatu masalah. 

Sementara langit yang tadinya cerah dengan sinar rembulan dan bintang tiba-tiba berubah menjadi gelap nan pekat, angin malam berhembus dengan kencang menggiring dan menata gumpalan mendung yang menggantung di bibir langit. Gumpalan pekat kelabu membumbung angker di awang-awang. Deru air yang menghujami bumi mulai bergemuruh riuh. Hujan deras pun akhirnya tumpah.

"Tuan Senopati, mari kita cari tempat untuk berlindung dulu," ajak Arjun.

"Baik lah Tuan, saya ikut Tuan saja."

Lalu kedua orang itupun masuk menyelinap di sebuah cekungan batu yang menyerupai sebuah Goa. 

"Nampaknya tempat ini lumayan untuk kita berlindung sementara," ujar Senopati Bagaskara.

"Benar Tuan Senopati."

"Apakah Goa yang kita tujuh masih jauh Tuan?" tanya Senopati. 

"Tidak Tuan, kita tinggal naik menyusuri jalan setapak itu dan setelah melewati satu tikungan maka sampailah kita di pelataran Goa," jawab Arjun sembari menunjuk ke arah jalan yang dia maksud. 

Sementara itu di depan mulut Goa nampak telah tiba di sana Panjol dan Dewi Ayu. Dengan bermaksud segera ingin mendahului masuk ke dalam Goa, sementara pendekar yang berjuluk Kebo langsung berjalan menuju mulut Goa, namun betapa kagetnya Kebo ketika di depan mulut Goa ada lima ekor kuda yang ditambatkan di tetumbuhan liar yang ada disitu. 

"Oh, rupanya sudah ada yang duluan datang kesini, siapa kira-kira mereka itu?" ujar Kebo kebingungan, sesaat dia clingak-clinguk mencari siapa pemilik kuda-kuda itu. Disaat Kebo masih bingung tiba-tiba ada suara yang mengagetkannya. 

"Hoii! Siapakah itu?" bentak suara yang tidak lain adalah Panjol dan Dewiayu.

Mendapat bentakan secara tiba-tiba Kebo pun langsung terkejut. Dan ketika dia menoleh dia baru tau kalau orang yang telah mengagetkannya itu rupanya adalah Panjol dan Dewiayu. 

"Bedebah! Rupanya kalian, bikin kaget saja!"

"Oh ... Kau Kebo rupanya? Untuk apa kamu berada kesini hei manusia siluman?"

Mendengar pertanyaan itu Kebo pun langsung tertawa terbahak-bahak. 

"Huahahaha ... huahahaha ... sama seperti kalian berdua ... huahahaha ... aku juga menginginkan mayat sakti itu ..."

Mendengar jawaban seperti itu, Panjol dan Dewiayu pun langsung geram dan nampak menggerutu. 

"Dari mana kamu bisa mengetahui tempat ini?"

"Dari Jaka ... huahahaha ..."

Mendengar ucapan Kebo begitu Dewiayu pun langsung sadar bahwa pertempurannya dengan Jaka sore tadi ternyata telah diintai oleh Kebo. 

"Kurang ajar! Rupanya kamu telah mengintai pertarungan dan menguping pembicaraan kita kemaren sore? Biadap kau manusia setan!"

"Huahahaha ... itulah aku ... Kebo Klawu ... pendekar cerdik dan beruntung, karena sebentar lagi akan mendapatkan mayat sakti."

"Jangan mimpi kau manusia setan! Kamu tidak pantas mendapatkan mayat sakti itu! Lebih baik menyingkirlah! buang jauh-jauh mimpimu itu! Atau kalau tidak, kau akan berhadapan dengan kita berdua!" 

Mendapat gertakan dari sepasang pendekar seperti itu Kebo Klawu nampak menanggapinya dengan santai, dengan menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya. 

Plok, plok, plok ...! 

"Ketahuilah kalian berdua! Kebo adalah pendekar cerdik yang pantang menyerah sebelum berhasil, dan kalau perlu kalian berdua lah yang akan aku suruh untuk ngambil mayat sakti itu, lalu segera serahkan kepadaku."

"Juih! Kamu itu bukanlah pendekar cerdik tapi picik dan licik!"

"Oh, itulah bedanya aku dengan kalian, kalau aku pakai otak dan kalau kalian pakai dengkul! Dasar pendekar-pendekar tolol!"

Tiba-tiba suasana di halaman Goa pun mulai terasa tegang, hujan yang semula turun dengan sangat lebat kini juga sudah mulai agak mereda, terlihat dua kubu pendekar yang mulai marah nampak telah bersiap untuk bertarung, untuk membuktikan siapa yang terkuat dan pantas untuk mendapatkan mayat sakti. 

Sementara itu di sebelah mulut Goa kira-kira berjarak sepuluh tombak dari Goa utama terdapat sebuah Goa kecil yang tidak terlalu dalam, nampak disitu ada lima orang pendekar yang sedang tidur, merekalah para pemilik kuda-kuda yang ditambatkan di depan Goa utama itu. Dan mereka itu tidak lain adalah kawanan para pendekar yang ditemui Senopati Bagaskara ketika makan di warung di pinggiran Kota raja Mulyajaya. 

Mendengar suara keributan yang terjadi di luar, membuat para pendekar itu terbangun. 

"Eeeh ..."

Nampak salah satu pendekar itu terjaga, sambil meregangkan otot tubuh dia bertanya kepada temannya yang lain.

"Siapa yang ribut-ribut diluar sana itu? Coba kamu lihat," suruh pendekar yang ternyata ketua kelompok dari para pendekar itu. 

Lalu sambil mengucek-ngucek mata dan menguap karena memang masih merasa ngantuk salah satu pendekar itupun bangkit dan berjalan keluar, dan betapa kagetnya pendekar itu begitu melihat ada tiga orang yang nampak seperti pendekar yang sudah berhadapan dan siap untuk bertarung. Lalu dengan setengah berlari dia kembali menemui para temannya itu. 

"Hey, ayo bangun semua! Diluar ada orang yang mau bertarung, ayo kita lihat siapa mereka itu."

Kemudian mereka semua keluar, nampak diluar hujan sudah reda dan rembulan juga mulai muncul dan kembali menyinari, lalu mereka berlima berjalan sambil jongkok dan bersembunyi dibalik bongkahan batu besar. 

"Hei kau Panjol dan Dewiayu! Sungguh kalian berdua lah yang tidak pantas untuk mendapatkan mayat sakti itu, karena kalian itu adalah pasangan pendekar Iblis penebar fitnah dan kemungkaran," gertak Kebo Klawu. 

"Hahaha ... kau sadar dengan apa yang kau ucapan itu Kebo? Bukankah yang setan sesungguhnya adalah engkau?" balas Panjol dengan nada menghina. 

"Aku memang siluman tapi aku ..." belum selesai Kebo bicara tiba-tiba kelima pendekar itu melompat menghampiri mereka bertiga. 

"Hep, hiyyak, hiyyak, hiyyak ...!"

Brukks, brukks, brukks! 

Suara para pendekar itu mendaratkan diri hampir bersamaan. 

Sontak saja kehadiran kelima pendekar itu pun mengagetkan Panjol, Dewiayu dan Kebo Klawu. 

"Hei, kalian bertiga! Sungguh kalian semua itu tidak ada yang pantas mendapatkan mayat sakti itu! Jadi menyingkirlah!" seru ketua kawanan pendekar. 

Sontak saja kemunculan lima pendekar itu pun mengejutkan pasangan suami istri dan juga Kebo. 

"Hei! Siapakah kalian ini? Apakah kalian ini pemilik kuda-kuda itu?" tanya Kebo. 

"Benar, dan kamilah yang datang duluan, jadi kami lebih berhak untuk mendapatkan mayat sakti itu."

"Oh, begitu?" timpal Kebo Klawu.

"Ya benar! Maka dari itu kalian menyingkir lah!"

"Kalau kalian merasa datang lebih dulu lalu kenapa kalian tidak langsung mengambilnya dan membawanya pergi?! Apa kalian takut atau kalian tidak bisa masuk?" ujar Dewiayu dengan pertanyaan sinis. 

Mendapat pertanyaan seperti itu gerombolan pendekar itu pun merasa tersinggung, karena memang mereka sudah mencoba untuk masuk tapi belum bisa. 

"Karena kami bermaksud untuk mengambilnya pagi ini," jawab ketua pendekar itu. 

"Hahaha, jadi kalian ini kecapekan? Terus tidur dulu? Dasar begundal-begundal loyo!"

Mendengar pertikaian antara gerombolan pendekar dan Dewiayu, Kebo terlihat berpikir mencari cara agar kedua kubu itu bisa segera saling bertarung, karena dengan begitu dia akan lebih mudah untuk menghabisi siapa yang akan jadi pemenangnya.

"Sudah-sudah! gak ada gunanya kalian cuma beradu mulut! Hanya membuang-buang waktu saja! Ketahuilah oleh kalian, kita semua berada disini memiliki tujuan yang sama dan menurutku tidak ada jalan lain kecuali dengan ditentukan siapa yang terbaik diantara kita," dan belum juga selesai Kebo berbicara tiba-tiba Dewiayu langsung memotong ucapannya. 

"Benar! Dan akulah yang akan menghabisi gerombolan pendekar loyo ini!" ujar Dewiayu dengan pongahnya. 

Bersambung ... 


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C16
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank 200+ Power Ranking
    Stone 0 Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login

    tip Paragraph comment

    Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

    Also, you can always turn it off/on in Settings.

    GOT IT