"Semuanya bisa kejadian kalau Allah menghendaki mas," jawab bu Adi bijak. Yang lain manggut-manggut setuju.
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading ❤
"Ndah, mana nona mu?" tanya Cecile pada Endah yang sedang merapikan kamar Gladys.
"Lagi ikut mbok Siti belanja, Nyonya mami," jawab Endah jujur. Ia tak berani membohongi keluarga yang baik hati ini.
"Belanja? Memangnya ada supermarket yang buka jam segini? Perasaan saya nggak suruh mbok Siti ke supermarket," ucap Cecile heran.
"Oh, itu nyonya mami... Eehmm... Non Gladys ikut mbok Siti belanja ke tukang sayur." ucap Endah ragu.
"Tukang sayur keliling?" Endah mengangguk. "Nggak salah tuh? Tukang sayur langganan mbok Siti? Si Banyu?"
"Iya nyonya mami." Endah membenarkan.
"Ndah, apa benar selama di Bali si Banyu ini yang menemani nona mu?" Kembali Endah mengangguk. "Apa mereka pacaran?"
"Saya kurang tahu, nyonya mami," jawab Endah takut-takut.
"Ya sudah kamu selesaikan pekerjaanmu." Cecile keluar dari kamar Gladys.
⭐⭐⭐⭐
"Schatz, kayaknya kecurigaanmu benar deh," ucap Cecile.
"Yang mana? Soal Gladys?" Cecile mengangguk.
"Gimana dong, schatz?"
"Apanya yang gimana diajeng?"
"Ya kalau Gladys jatuh cinta sama Banyu, gimana Lukas? Bisa batal urusan berbesan dengan keluarga jeng Meisya."
"Ya, kalau anaknya lebih memilih Banyu ya nggak papa tho, diajeng." sahut Praditho sambil memakai dasi. Cecile langsung membantu suaminya. "Kamu jangan paksakan keinginanmu. Yang akan menikah kan adek. Biarkan dia yang memilih calon pendamping hidupnya."
"Tapi schatz, Banyu itu cuma tukang sayur. Bagaimana nanti komentar tetangga, relasi kamu dan keluarga besar kita. Belum lagi media. Mau ditaruh dimana mukaku." Praditho memeluk pinggang istrinya. Dikecupnya pucuk hidung Cecile dengan mesra.
"Apakah pendapat orang lain lebih penting daripada kebahagiaan anak kita?" tanya Praditho.
"Memangnya kamu setuju kalau Gladys menikah dengan tukang sayur?"
"Kita belum mendengar penjelasan Gladys. Siapa tahu mereka hanya berteman dekat. Apa tuh istilahnya sekarang. Teman tapi mesra atau apalah itu." jawab Praditho.
"Pokoknya mami kurang setuju."
"Dys, duduk sini. Mami papi mau ngomong sama kamu. Oh ya, kamu habis darimana?" tanya Cecile saat Gladys kembali dari belanja.
"Habis ikut mbok Siti belanja sayur," sahut Gladys.
"Wah, anak papi sudah mulai berubah nih. Persiapan menikah ya dek?" goda Praditho. Gladys duduk di samping Praditho dan bersandar manja pada papinya.
"Ah, papi bisa aja nih. Adek cuma pengen aja belajar memilih sayuran. Selama ini kan adek taunya terima beres aja."
"Dek, tadi siapa yang jualan?" tanya Cecile. Gladys terkejut mendengar pertanyaan maminya.
"Banyu ya dek?" Kali ini Praditho yang bertanya.
"Hmm.. iya Pi. Tadi mas Banyu yang jualan." jawab Gladys sambil memainkan ujung bantal sofa.
"Jadi tadi itu kamu beneran mau belajar memilih sayur atau mau ketemu si Banyu itu?" Nada suara Cecile terdengar sengit, tak seperti biasanya. "Ingat Dys, kamu itu sudah mami jodohkan dengan dokter Lukas. Kemarin lusa mamanya Lukas telpon mami. Dia mau ajak kita ke desainer langganannya untuk lihat-lihat baju pengantin."
"Mi, harus banget ya membahas baju pengantin dari sekarang? Tanggal pernikahan aja belum ditentukan, bahkan adek aja belum menyetujui jodoh pilihan mami." tolak Gladys.
"Lho iya dong. Mengerjakan baju pengantin itu butuh waktu berbulan-bulan. Kalau nggak dari sekarang pesannya, nanti pas tanggalnya belum siap. Memangnya kamu mau menikah hanya mengenakan kebaya putih sederhana, kayak baju pengantin anaknya mbok Parmi?"
"Yang penting kan acara ijab kabulnya, Mi. Bukan pakaiannya. Lagian tuh baju kan hanya di pakai sekali. Kalau perlu sewa juga nggak papa. Gladys nggak mau merepotkan calon suami Gladys."
"Kalau memang pengen yang tidak terlalu wah, kamu kan bisa memesan baju pengantin yang kisaran harganya di bawah 100 juta. Lagipula mami rasa keluarga Lukas juga nggak akan keberatan mengeluarkan uang segitu untuk baju pengantin. Menikah itu hanya sekali seumur hidup. Apalagi kamu anak perempuan mami satu-satunya. Mami kepengen kamu memiliki kenangan yang tak terlupakan mengenai pernikahan ini. Kalau kamu nggak mau merepotkan keluarganya Lukas untuk urusan gaun pengantin, mami yakin papimu pasti nggak keberatan membelikannya. Pernikahan putri satu-satunya keturunan Van Schumman - Hadinoto harus memorable. Jadi kamu juga nggak malu kalau mempostingnya di IG kamu."
"Mami nyuruh adek nikah tujuannya apa sih? Karena perintah agama, khawatir adek nggak ada yang jagain, memenuhi keinginan eyang, meneruskan keturunan alias kasih mami cucu atau buat gaya-gayaan?"
"Yang pasti mami mau kamu segera punya pendamping. Apapun alasan di balik itu. Tapi apa salah kalau mami pengen merayakan pernikahan putri mami satu-satunya dengan meriah?"
"Sudah, sudah," Praditho menengahi. "Mami dan Gladys dua-duanya benar. Kita bisa rayakan pernikahan adek secara memorable, tapi baju pengantinnya nggak perlu terlalu mahal juga. Lah wong dipake cuma sekali. Bukannya papi nggak sanggup, tapi mendingan uangnya buat makanan. Lagipula lihat-lihat dulu keluarga besan maunya gimana supaya nggak menyusahkan mereka."
"Mami yakin keluarga mas Bram pasti akan setuju. Karena justru jeng Meisya yang punya ide merayakan pernikahan anak kita dengan mewah. Maklum, Lukas kan anak mereka satu-satunya."
"Mami yakin tante Meisya mau keluar uang banyak? Lah mau spa aja minta gratisan." tanya Gladys, disambut tawa Praditho.
"Benar juga diajeng. Masih ingat kan gimana dia minta di gratisin spa?"
"Jangan-jangan nanti semua biaya dibebankan ke papi dan mami."
"Ya nggak papa tho. Iya kan Schatz? Masa untuk pernikahan putri satu-satunya kamu nggak mau keluar biaya."
"Bukan nggak mau, diajeng. Tapi kalau kita yang keluar biaya, biar tema pernikahan Gladys dan Lukas yang menentukan. Mereka yang akan menikah. Itu pun kalau Lukas yang akan menjadi calonnya adek." Gladys terdiam mendengar ucapan Praditho.
"Dys, memangnya kamu punya calon lain?" Gladys tak menjawab pertanyaan Cecile.
"Dek, apa benar kamu punya hubungan spesial dengan Banyu?" tanya Praditho hati-hati.
"Nggak boleh ya, Pi?" tanya Gladys pelan.
"Kamu mencintai dia?"
"Sepertinya, Pi."
"Lah kok sepertinya sih Dys. Kalau kamu belum yakin sama Banyu, ya mendingan kamu pilih Lukas saja. Jelas dia memenuhi standard bibit bebet bobot. Daripada kamu menikah sama tukang sayur. Hidup kamu bakal susah kalau menikah dengan Banyu,Dys."
"Mi, yang mau menikah kan adek. Tolong biarkan adek yang memilih siapa calon suami buat adek. Lagipula waktu yang mami berikan belum habis. Masih ada waktu 3 hari lagi sebelum batas waktu
nya."
"Mami kurang setuju sama pilihan kamu. Strata sosial kita beda jauh banget Dys. Mami juga nggak mau kamu hidup sengsara. Belum lagi bagaimana pendapat para tetangga dan keluarga besar kita. Belum lagi teman-teman arisan mami. Mau ditaruh dimana muka mami kalau sampai kamu menikah dengan tukang sayur?!"
"Mami kok gitu sih? Adek nggak suka sama Lukas, Mi. Adek cintanya sama Banyu," tegas Gladys. "Ya, adek cinta banget sama Banyu."
"Mami nggak mau tahu pokoknya mami cuma setuju kamu menikah sama Lukas. Titik!" Keduanya bersikeras mempertahankan pendapatnya.
"Walaupun Gladys nggak cinta sama dia? Mami tega melihat Gladys menikah tanpa cinta?"
"Cinta bisa tumbuh setelah kalian menikah. Dulu mami juga nggak terlalu mencintai papi kamu, tapi lama-lama mami jatuh cinta banget sama papimu. Apalagi papi kamu nggak pernah menyerah mencintai mami," Cecile tetap bersikeras dengan pendapatnya. "Orang tua nggak akan menjerumuskan anaknya dalam kesengsaraan. Apalagi mami lihat Lukas sangat memuja dirimu."
"Dia itu freak, Mi." tukas Gladys tak senang.
"Mami nggak mau tahu. Pokoknya mami maunya kamu menikah dengan Lukas. Titik!"
"Nggak mau. Gladys cuma mau nikah sama Banyu. Titik!" Gladys bangkit dari duduknya dan meninggalkan kedua orang tuanya.
"Schatz, gimana ini?" tanya Cecile pada Praditho yang dari tadi diam memperhatikan perdebatan istri dan anak bungsunya itu. "Aku nggak mau tahu, pokoknya aku akan meneruskan rencana perjodohan ini."
"Diajeng, biarkan dia memilih calon pendampingnya. Menurutku Banyu tidak memalukan untuk dijadikan menantu. Anaknya sopan, akhlaknya cukup baik, wajah ganteng, pekerja keras, pendidikannya juga lumayan tinggi, cukup bertanggung jawab dan sepertinya bisa mengayomi anak kita."
"Tapi Schatz, aku malu kalau punya menantu tukang sayur."
"Diajeng lupa kalau aku dulu juga hanya pedagang batik di pasar? Dulu kamu ingat bagaimana aku berusaha meminta ijin pada papi mami mu? Padahal aku tahu saat itu kamu sudah pacaran sama mas Samudro, anak saudagar kayu di Solo."
"Ya tapi.... "
"Gladys sudah mulai dewasa, Diajeng. Berilah kepercayaan pada dia untuk menentukan masa depannya," bujuk Praditho. "Coba kamu perhatikan, sejak dekat dengan Banyu, Gladys banyak berubah. Dia lebih mandiri, nggak manja lagi, pemikirannya lebih dewasa. Itu kan yang kita inginkan selama ini?"
"Iya Schatz, tapi...."
"Biarkan dia mengambil keputusan sebagai wanita dewasa. Kita awasi dia dan coba membantu dia bila memang ada masalah di kemudian hari."
"Padahal mami sudah berharap memiliki menantu dokter lho, schatz. Kenapa sih Gladys harus bertemu dengan Banyu?"
⭐⭐⭐⭐
Banyu sedang merapikan dagangannya. Kini ia membuka kios kecil di dekat rumahhya. Kebetulan ustadz Arman memiliki kios yang sudah lama tidak dipakai. Di kios itu Banyu menjual sayuran dan berbagai kebutuhan dapur. Awalnya Banyu menolak tawaran ustadz Arman untuk memanfaatkan kiosnya tersebut, namun setelah ustadz Arman mengemukakan alasannya akhirnya ia mau.
"Bang Malih, ini gue sudah buatin daftar harganya. Mulai besok kita sudah mulai bisa buka. Ini hp buat menerima pesanan-pesanan. Gue percayain ke abang untuk kelola usaha ini. Gue tetap keliling berjualan tapi hanya mengantarkan pesanan saja. Kayaknya mulai Senin depan gue sudah mulai aktif di kampus."
"Nyu, makasih banget ya. Elo dan ustadz Arman banyak membantu gue. Sejak bini gue hamil, ibu lo sudah sering bantu dengan ngasih gue orderan buat antar-antar pesanan. Sekarang setelah bini gue melahirkan, elo dan ustadz Arman malah ngasih kepercayaan sama gue buat mengelola warung ini."
"Mungkin ini emang rejekinya si Hanif dan Hanifah, bang. Kan kata orang-orang, tiap anak punya rejekinya masing-masing."
"Alhamdulillah banget gue ketemu orang-orang baek kayak keluarga lo dan ustadz Arman. Padahal tetangga lain nggak pada mau bantuin kita karena gue mantan preman dan bini gue mantan PSK. Kalau bukan karena pertolongan kalian, mungkin gue dan Juleha masih berkubang di dunia hitam itu."
"Semua ini bukan karena kami. Tapi semua ini memang sudah rencana Allah buat kita. DIA lah yang menggerakkan gue pagi itu untuk lewat daerah situ waktu mau ke pasar. Padahal jalan itu jauh banget dari pasar. Kalau bukan karena Allah, nggak bakal gue lewat situ bang."
"Elo benar Nyu. Allah yang mempertemukan kami dengan orang-orang baik kayak kalian sehingga kami bisa bertaubat dan menjalani hidup seperti sekarang ini."
"Allah yang mengatur rejeki kita. Rejeki, jodoh, maut, semua itu rencana Allah, bang."
"Termasuk elo berjodoh sama anak gedongan itu Nyu?" ledek bang Malih sambil menarikturunkan alisnya. Banyu tersenyum
"Ya termasuk itu juga, bang. Siapa sangka kita yang dulunya berantem melulu kalau ketemu, sekarang malah saling kangen kalau nggak ketemu."
"Gue doain jodoh lo panjang sama anak gedongan itu, Nyu. Biar sampe pelaminan dan awet kayak pak ustadz dan bininya."
"Aamiin yaa robbal 'aalamiin. Makasih ya bang doanya. Gue habis ini mau ke restonya ambu dulu ya. Mau antar kue kesana. Kemarin ambu bilang stock cookiesnya tinggal sedikit."
"Semoga semua usaha lo lancar dan barokah ya, Nyu."
⭐⭐⭐⭐