Sudah hampir dua minggu Erina tinggal di rumahku. Aku pun tak tau harus bagaimana menghadapi situasi saat ini. Kebersamaan kami selama dua tahun memang tak bisa aku pungkiri hal tersebut selalu memicu perasaanku yang terkadang selalu goyah bila bersamanya.
Bening, entah harus bagaimana pula aku menghadapi perempuan yang sudah sah menjadi istriku itu?
Memikirkannya saja aku merasa berdosa pada Mama dan Papa yang kini berada jauh di luar negeri.
Ma, tolong Aslam...
"Hon, hari ini aku mau shopping lagi, ya? Banyak tas sama sepatu keluaran terbaru di toko langgananku. Kemarin Ci Ayen telpon supaya gak ketinggalan karena ini limited edition." Erina menyenderkan kepalanya di pahaku ketika aku sedang duduk bersantai menonton acara televisi yang sebenarnya tak ada yang menarik perhatianku.
Tak bertemu hampir setahun lebih, kebiasaannya tak berubah. Erina tetap wanita yang selalu kekinian. Ia tak ingin ketinggalan dalam hal apapun juga. Mengingat hal itu aku malah teringat Bening. Selama menikah, ia tak pernah meminta ini dan itu. Hhh...sebagai suami aku keterlaluan karena tak pernah berinisiatif membelikannya sesuatu.
"Hon? Ih, kamu denger gak sih?" Kesalnya karena aku tak menanggapinya sama sekali.
"Gimana kerjaan kamu?" Aku mengalihkan pertanyaan.
"Biasa aja. Dian yang nanganin semuanya," jawabnya malas. "Hon, gimana?"
"Apanya?"
"Ih, kamu sekarang jadi irit kalo ngomong."
"Aku ngantuk. Aku mau istirahat." Mengangkat kepala Erina dari pahaku.
Sungguh, kenapa setelahnya aku merasa berdosa?
"Hon!" Erina bangkit lalu berteriak saatku hendak berdiri.
"Ada apa lagi sih, Rin?" Menahan kesal.
"Kamu belum jawab permintaanku."
"Terserah, lakukan apa yang kamu mau. Aku mau istirahat," ujarku sambil lalu.
Aku merebahkan tubuhku di kasur. Hanya cahaya dari lampu luar balkon menyusup di balik tirai jendela kamar yang tak sepenuhnya tertutup. Lampu dalam kamar sengaja tak kunyalakan.
Kosong, sunyi, hampa...
Aku berbaring miring. Menatap bantal kosong sebelah kiri yang kini selalu terasa dingin. Bagai orang gila aku membelai bagian kosong yang ada di sampingku. Selalu, air mata ini dengan kurang ajarnya menetes tanpa permisi.
Bening...istriku...aku merindukanmu...
*
'Lagi ngapain?'
Satu pesan aku kirimkan lagi padanya. Namun, tak satupun pesan yang aku kirim bercentang biru. Entah memang belum terbaca ataukah ia memprivasi agar tanda baca itu tidak berwarna, padahal ia sudah membacanya.
Aku mencoba menghubunginya berkali-kali setiap saat. Bahkan, video call yang selalu aku lakukan tak pernah membuahkan hasil. Bening tak pernah mengangkat panggilan atau merespon pesanku.
Mengapa kamu menghindariku, Yank? Mas kangen...
***
Cerita kerenggangan ini bermula tepat dua minggu lalu ketika aku mengizinkan istriku untuk ke tokonya. Hari itu, aku tak bisa mengantarkannya. Sehingga aku menyuruh pak Maskun untuk mengantar sekaligus mengawasinya.
Hal terjadi di luar dugaan. Bening istriku menyuruh Pak Maskun pulang dan menjemputnya ketika ia akan pulang. Awalnya aku marah karena info tersebut dan hendak menegur istriku. Tapi kuurungkan mengingat betapa bahagianya ia karena kuizinkan pergi ke toko. Ya, walaupun sebenarnya aku berat mengizinkannya.
Dan hal di luar dugaan selanjutnya adalah; Erina diam-diam mengikuti istriku. Entah apa yang terjadi sebenarnya. Erina terus mengirimiku foto-foto yang ia ambil dari toko. Foto di mana ada Rudy dan Byan yang berinteraksi dekat dengan istriku.
Aku yang saat itu sedang menikmati makan siang yang terlewat bersama Mario menjadi naik pitam. Aku membanting sendok makanku. Rasa lelah setelah meeting bersama klien membuat apa yang aku lihat mengalahkan logika.
Aku emosi. Mario yang saat itu merasa terkaget akan sikapku bertanya-tanya. Namun aku mengabaikan sahabatku itu karena yang aku inginkan saat ini penjelasan dari istriku.
Berkali-kali aku menelpon Bening. Namun, tak satupun panggilan dariku yang diangkatnya. Bahkan pesan-pesan yang aku kirim tak dibacanya.
Hingga panggilan yang entah kesekian kalinya, dia mengangkatnya.
"DI MANA KAMU SEKARANG?!" Aku membentak, segera setelah Bening menjawabku.
"Maaf Mas, hp-nya aku tinggal di kamar. Aku lagi manggang kue di pantry. Banyak sekali orderan hari ini," sahutnya menjelaskan dengan riang dan merasa tak enak. "Mas udah makan?"
"Mas tanya, di mana kamu sekarang?!" Mengabaikan pertanyaannya.
"Di toko 'lah, Mas. Manggang kue di pantry emangnya pantry mana lagi?"
"Lagi manggang kue ato lagi main keluarga bahagia?" Tanyaku dengan dingin, menahan kegeramanku.
"Maksudnya?"
"Di mana suami kedua beserta anak angkatmu itu?"
"Apaan sih, Mas?" Bening terkekeh.
"Gak lucu, deh. Suami kedua apaan?"
"Kamu senang ada Byan di sana?"
"Ya...kehadirannya cukup menghibur,"
"JADI KAMU SENANG MENJADI MAMINYA, HAH?" Bentakku kemudian. Meledak sudah emosi yang kutahan saat itu.
"Mas?" Bening kebingungan.
"Jadi karena itu, kamu maksa pengen pergi ke toko? Mengabaikan bagaimana cemasnya suami kamu karena kamu baru aja sembuh dari sakit. Memaksakan diri dengan wajah pucat serta tangan yang masih dalam masa pemulihan. Jadi karena itu, kamu maksa pengen ke toko karena kamu lebih bahagia di sana bertemu ayah dan anak itu? Kamu lebih senang membantah kata suami yang tak ingin kamu kerja karena kamu bisa bebas ketemu mereka, hah?" Aku menceroscos tak bisa mengontrol emosiku.
Lain halnya dengan istriku yang tak bisa terbaca walau sudah menunjukkannya, berhadapan dengannya membuat aku tak bisa menahan diri. Aku bagaikan buku yang terbuka yang tak segan menunjukkan isinya.
"Mas, kok tetiba marah-marah, sih?"
"Gak usah mengalihkan pembicaraan!"
"Mas, kita bicara nanti saat di rumah, oke. Aku mau cek oven, nanti kue aku gosong." Bening menutup panggilanku dengan sepihak.
Aku kesal. Berbagai jenis umpatan aku keluarkan tanda sadar. Dan tanpa banyak bicara lagi aku mengambil kunci mobil lalu meninggalkan Mario sendirian yang melongo akan sikapku. Segera, aku berlari menuju parkiran untuk menyusul Bening ke toko.
Sepanjang jalan itu, aku tak berhenti menggerutu dan mengumpat lagi.
Sampai tiba di toko, aku memarkirkan mobilku dengan sembarangan. Bunyi decitan kencang dari mobil yang aku kemudikan membuat orang-orang yang ada di toko menoleh. Dengan muka masam dan menahan amarah aku mengabaikan tatapan penuh ke-kepo-an saat aku memasuki toko lalu segera masuk ke dalam pantry mencari istriku.
"Mas?" Tanpa mempedulikan senyuman yang menyambutku, aku menarik pergelangan tangannya dengan kasar ketika ia sudah meletakkan kuenya yang telah matang di atas meja.
Tentu saja aku tau di mana aku harus menariknya. Aku pun tau diri dan tak sembarangan.
"Mas, kenapa?"
Aku membawa Bening ke dalam kamarnya. Menutup pintu kamarnya dengan rapat lalu menguncinya.
"Mas..."
Belum sempat dia berbicara, aku membungkam mulutnya dengan mulutku. Melummat keseluruhan bibir dan mulutnya dengan tuntutan yang nyata. Aku marah, bayang-bayang foto yang Erina kirimkan tadi membuat aku menciummnya dengan kasar. Jangan ditanya bagaimana dengan tanganku yang sudah mulai menjelajahi area-area kesukaanku.
"M-mas!" Dengan sekuat tenaganya ia menjauhkan diriku. Pertautan kami pun terlepas. Namun, dengan kuat pula aku menariknya kembali, memaksakan kehendakku untuk melakukan hal yang ingin aku tuntaskan.
"MAS!" Bentaknya kali ini ketika aku tak peduli akan penolakannya. Aku terus memburu untuk mencumbunya.
Satu tamparan mendarat pada pipiku. "Akh!" kaget sendiri ia menutup mulutnya dengan tangan bergetar.
Tangannya dingin dan terasa kebas di pipiku.
Wah, sudah berani rupanya istriku itu. Aku menatapnya dengan tajam. Ia ketakutan saat melihatku. Tangannya semakin bergetar, dengan gemetaran ia merapikan pakaiannya yang sempat terlepas dari tubuhnya. Ia melangkah mundur dengan tetap memandang telapak tangannya sendiri.
"Maaf...maaf..." Berkali-kali ia mengucapkan kata-kata maaf.
Aku mendekatinya dengan mencengkram kedua bahunya. "Berani kamu menampar suamimu sendiri?" desisku menahan geram.
"Maaf..." Air matanya mengalir cepat.
"Berani kamu menolak suami kamu sendiri?"
"Maaf..." Menggelengkan kepala.
"Jadi kamu benar-benar ingin membangun keluarga bahagia bersama Rudy dan anaknya, hah?!" Aku mengguncang tubuhnya.
"Nggak, Mas. Aku gak ngerti yang Mas bilang..." Susah payah dan tercekat karena tangisannya menjadi-jadi.
"Kalo gitu, ayo pukul suami kamu hingga babak belur! Sehingga kamu bisa bersama dengannya!" menarik tangannya untuk memukulku. "AYO PUKUL!"
Bening meronta menarik tangannya, "Nggak..." Air matanya semakin tak terbendung.
"Maaf..." Tubuhnya melorot, duduk di lantai. "Maaf..." Memegang telapak tangannya yang tadi menamparku.
"Maaf...huhu...maaf..." Bening menjadi histeris. Membuatku tersadar akan perbuatanku.
Aku sungguh berdosa, kenapa aku sekalap ini? Ini pertama kalinya aku melihatnya menangis se-histeris itu.
"Yank, maafin Mas...maaf..."
Belum sempat aku mendekatinya, sebuah bogem mentah melayang pada wajahku. Aku terjengkang karenanya.
"Bey, Bey. Kamu gakpapa?" Mario berhambur memeluk istriku. "Bey, ini abang. Lihat, ini abang!" mengguncang bahu Bening agar menatapnya.
"Bang Iyo...hiks..."
"Ya, ini bang Iyo. Kamu aman sekarang." Memeluk semakin erat.
Aman? Apa-apaan Mario ini? Dan kenapa ia bisa membuka kunci pintu kamarnya.
"Bang Iyo..." Memeluk Mario dengan erat. "Bang Iyo..."
Aku bangkit, mengusap sudut bibirku yang berdarah.
"Yank, maafin Mas. Mas gak bermaksud..."
"Jangan dekatin Cibey lagi, Lam!" Mario mendiktator. Membuat aku terhenti untuk menyentuh istriku. Seakan ia menjadi benteng agar aku tidak bisa mendekatinya.
"Hei, Yo. Apa hak lo nyuruh gue kayak gitu?"
"Gue abangnya! Dan gue gakkan liat lo sebagai sohib gue kalo sampai lo bikin Cibey nangis!" Semakin memeperat pelukannya pada Bening. Dan istriku malah menenggelamkan wajahnya di dada Mario.
"Tenang, Yo. Ini gak seperti yang lo liat dan lo kira," jelasku.
"Sudah cukup! Apa yang gue liat sekarang cukup membuka mata gue kalo lo bukan suami yang baik untuk Cibey!"
"Yo, ini gak lucu tau gak,"
"Lo pikir gue lagi lawak? Pokoknya, lo gak berhak atas Cibey lagi!"
"YO!" Aku berteriak.
"Yo, pliss gue beneran gak ngapa-ngapain. Dan apa hak lo larang-larang gue sama istri gue sendiri?" Frustasi, aku benar-benar takut jika apa yang aku takutkan terjadi.
"Yank, pliss Yank. Kamu bilang sama Mario kalo Mas gak ngapa-ngapain kamu." Aku malah mendesak Bening dan membuatnya semakin ketakutan. Ia semakin mempererat pelukannya pada Mario seolah perlindungan diri.
Aku meremmas rambutku, berjalan mondar mandir dengan pemandangan dua orang di hadapanku. Yang satu menyimpan amarah dan yang satu bagai anak kucing yang gemetaran.
"Yank..." Aku memelas. Harus dengan cara apa aku membujuknya?
Sialnya, belum juga masalah dengan istriku selesai, seseorang yang tak diharapkan tiba-tiba menerobos masuk ke dalam. Dan itu membuat Mario semakin menjaga Bening dalam pelukannya.
"Oh, jadi ini?" Mario memandang ke arahku dan juga Erina secara bergantian.
"Sejak kapan lo pulang, Rin?" tanyanya pada Erina.
"Sudah seminggu yang lalu. Dan...sejak kemarin aku tinggal bersama Aslam," jawab Erina bergelayut manja padaku.
Aku merasa risih, ditambah tatapan Mario yang semakin geram terhadapku.
"Ini bisa gue jelasin." Menggeleng-geleng pada Mario agar ia pengertian. Namun, sinar kekecewaan pada sorot matanya membuat aku merasa lebih bersalah.
"Sebaiknya, kalian pergi dari sini," usir Mario menahan emosinya. "PERGI!!"
Aku mengalah, bukan berarti aku kalah. Aku hanya tak ingin menambah situasi yang sedang memanas itu menjadi mendidih.
Hatiku sakit saat melewati istriku yang tak mau melihatku. Bahkan ia menghindari sentuhanku. Padahal, jelas-jelas ia yang salah karena menamparku, bukan?
Tidak, aku memang salah. Aku pantas mendapatkan tamparan itu karena sikapku yang memang keterlaluan padanya.
TBC