Download App
59.67% Menikahi Bening / Chapter 37: Terlupakan

Chapter 37: Terlupakan

Perempuan itu polos. Wajahnya pucat, namun tetap manis dan berseri ketika memandangnya. Dia memakai baju daster rumahan berwarna navy bermotif bunga-bunga kecil dengan rok memayung di bagian bawahnya. Tubuh kecilnya dibaluti sweater kebesaran berwarna gading yang senada dengan warna bunganya. Hanya sebelah tangannya saja yang masuk, sedang sebelahnya lagi hanya disampirkan di bagian bahunya. Tangannya dibebat perban. Sungguh menyedihkan ketika melihatnya. Tapi rasa iba itu tiba-tiba muncul saat melihat perempuan itu dari dekat. Ada perasaan yang berdesir dalam dirinya.

Frendian, pria itu kini tengah mengawasi Bening yang sedang duduk menunggu nomor antrian pengambilan obat. Tepat di belakang Bening ia duduk. Dari belakang ia tengah mengawasi dan menilai bagaimana penampilan Bening. Dengan mata predatornya ia hendak berniat jahat untuk menghancurkan kehidupan perempuan yang sedang duduk bergeming di depannya itu.

Tangan Bening yang bebas, bergerak menarik jepitan rambut yang melorot dari rambutnya. Sebelah tangannya bergerak-gerak dengan susah karena ia lupa jika tangannya yang lain tak bisa digerakan. Ia sunguh merasa tak nyaman karena rambutnya terurai acak-acakan dan suaminya yang protektif itu tidak mengikatnya dengan benar saat tadi memaksa membawanya ke rumah sakit.

Jepitnya terpasang, namun masih ada sebagian rambutnya yang terurai. Merasa kesal sendiri akhirnya ia membiarkan rambutnya terikat seperti itu. Namun tak lama kemudian, ia melepas lagi jepitan rambutnya dan mencoba mengumpulkan rambutnya dengan sebelah tangannya itu dengan kepayahan.

Merasa kesal sendiri dengan apa yang dilihatnya, Frendian merebut jepit rambut yang ada di tangan Bening lalu mengikat rambutnya dengan benar.

"Makasih, Mas." Bening menoleh. Senyumannya menghilang. Mengira yang mengikat rambutnya adalah suaminya.

"Eh, maaf. Saya kira, suami saya," maafnya kemudian dengan canggung. "Terima kasih."

"It's oke. Maaf karena udah lancang membantu memakaikan jepitnya. Karena kulihat kamu kesulitan memakainya," ujar Frendian dengan ramah.

Tidak. Ini kali pertama ia tidak berpura-pura. Rasa kemanusiaan yang membuatnya risih dan ingin membantu Bening, timbul dari dalam hatinya sendiri.

"I-iya, Om."

"Om?" Frendian tergelak, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Gadis kecil ini kurang ajar memanggilnya seperti itu. "Apa aku terlihat setua itu untuk dipanggil om?"

"Hehe, maaf...Kak." Bening nyengir. Tingkahnya membuat Frendian yang awalnya hanya ingin mengawasi malah ingin mengenalnya. Senyuman serta ekspresi tidak berdosa dari Bening terlihat gemas dan membuatnya penasaran.

"Sepertinya ikatan rambutmu gak nyaman. Mau aku bantu benerin?" Tawar Frendian.

"Hah? Emh...nanti aku tunggu mas Aslam aja, Kak." tolak Bening dengan halus.

Perempuan ini memang istri yang baik. Dia menolak pria asing yang bukan suaminya untuk menyentuhnya. Walau ia tidak mengatakan secara gamblang maksud dari penolakannya, namun sebagai pria dewasa yang pernah mencintai kekasihnya, Frendian sangat tau bagaimana ia tak ingin siapapun selain dirinya menyentuh perempuannya.

Apalagi seorang istri. Perempuan sah yang sudah terikat janji pernikahan. Tentu harus menjaga martabat dan kehormatannya untuk sang suami. Gadis kecil ini memang masih muda. Tapi dia tau batasannya, dan Aslam beruntung memiliki istri seperti dia. Hal ini malah membuat Frendian semakin tertarik pada perempuan yang baru ditemuinya itu.

"Gakpapa, sini aku bantu. Lagian, mana suami kamu? Aku udah cukup lama di sini tapi tidak melihat suamimu." Frendian menarik paksa jepitan rambut yang tadi sempat ia sematkan untuk mengikat rambut Bening.

"Eh, Kak. Gakpapa, biar nanti aja." Bening mencoba merebut jepitannya.

Rambut panjangnya terurai. Membingkai cantik wajah manisnya ketika ia berbalik dan hendak merebut jepitan rambutnya.

Cantik...

Frendian terpaku di tempat. Ia benar-benar mengutuk betapa beruntungnya Aslam mendapatkan istri semuda dan secantik perempuan yang ada di hadapannya. Sebagai pakar fashion dan modelling yang ia geluti selama ini, tentu saja ia bisa menebak betapa cantik dan baiknya perempuan yang menjadi istrinya Aslam itu walau tanpa make up.

"Kak, tolong jepitannya." Bening mengulurkan tangan. Meminta jepitannya kembali.

"I-ini biar aku bantu kamu mengikatnya." Frendian tetap keukeuh. Namun, ia merasa gugup sendiri. Tangannya bergerak cepat menyentuh rambut Bening lalu mengangkatnya tinggi dan memutar-mutar rambutnya lalu menjepitnya erat. Rambutnya begitu harum dan...lembut.

"Selesai." Frendian merasa bangga dan puas akan apa yang dilakukannya. Ia merasa konyol sendiri karena bersikeras ingin mengikat rambut Bening.

Walau canggung, Bening tak punya pilihan lain. Ia pun merasa tak nyaman akan rambutnya yang terurai ke mana-mana. Tapi ia tak boleh membiarkan sembarang orang apalagi pria lain menyentuhnya, bukan? Mengingat Frendian yang tanpa malu memaksa sesuka hatinya, ia merasa jengkel. Matanya celingukan, berharap suaminya tidak memergokinya saat itu.

"Makasih. Om ini sungguh pemaksa, ya..." Desis Bening lalu tersenyum yang dipaksakan. Sudah tak dipedulikannya lagi tentang panggilan kakak itu pada Frendian.

"Om?" Frendian mengening.

"Oke, panggil sesukamu saja," lagi-lagi Frendian tergelak. Sungguh menyenangkan...

"Masih lama juga ya antriannya? Aku pikir memakai fasilitas umum bisa cepat, ternyata sama saja," keluh Frendian yang tak begitu ditanggap oleh Bening.

Frendian menatap Bening yang tak menanggapi ucapannya. Tapi itu tak membuat dirinya tersinggung sedikitpun. "Siapa namamu? Dan kenapa sendirian aja? Mana suamimu?" sudah mencondongkan badannya ke depan.

Kep to the po!

Dalam hati Bening terus mengumpati pria yang sok kenal itu. Pria itu memang tampan, tapi masih lebih tampan suaminya.

"Frendian." Mengulurkan tangannya pada Bening.

Bening melirik pada tangan yang terulur itu. Dan dengan kurang ajarnya lagi Frendian memaksa kehendaknya dengan menarik tangan Bening yang bebas.

"Senang, bertemu denganmu." Menjabat tangan Bening dengan erat. Frendian tersenyum seolah tanpa dosa.

"Mas Mbaknya lucu banget ya," celetuk seorang ibu yang duduk di sebelah Bening. Dari tadi ia menyimak interaksi Bening dan Frendian dalam diam.

"Anak muda zaman sekarang kalo mau kenal deket ya harus gercep. Kalian cocok!" mengacungkan jempolnya.

"Kami bukan_"

"Doakan kami berjodoh ya, Bu." Frendian menyela tanpa mempedulikan tatapan Bening yang merasa kesal padanya. Dalam hati ia merasa senang, seolah mendapat gebetan baru yang harus ia perjuangkan.

***

Nomor antriannya berlalu begitu cepat. Tinggal dua nomor giliran Bening mengambil obatnya. Mas Aslamnya belum terlihat. Padahal sudah cukup lama ia mengantri sekitar sepuluh orang sampai gilirannya terpanggil.

"Suamimu belum kembali?" Tanya Frendian.

Keheningan itu terpecah ketika Frendian mengajukan pertanyaan pada Bening.

"Iya...Mas Aslam kenapa, ya? Apa dia lupa di mana ia memarkirkan mobilnya? Biasanya sih kayak gitu. Aku harus menyusulnya," kecemasan terlihat pada raut wajah Bening.

Ia hendak berdiri, namun tinggal satu nomor antrian gilirannya terpanggil. Bening terduduk kembali lalu mendesah pelan. Ia celingukan ke kanan dan ke kiri, berharap suaminya segera muncul.

"Kenapa gak jadi?" Lagi, Frendian bertanya di saat yang tak tepat.

Kepo on the way nih orang! bathin Bening.

Tiba saatnya nomor antriannya terpanggil. Bening merasa bingung, pasalnya ia tak membawa dompet ataupun ponsel saat ini. Sekali lagi nomornya terpanggil. Perlahan Bening berdiri, dia berjalan dengan ragu menghampiri loket pengambilan obat.

Beberapa orang yang masih mengantri teralihkan perhatiannya ketika mereka memandang Bening dengan tatapan aneh dan penuh ke-kepo-an kaum deterjen. Frendian yang mengikuti arah pandangan mata orang-orang itu tertuju pada satu hal yang membuatnya kehilangan kata-kata namun tak bisa menahan diri untuk tidak melengkungkan senyuman di bibirnya.

Perempuan itu, perempuan yang sudah ia targetkan untuk dihancurkan hubungannya itu tidak memakai alas kaki! Apakah ia menyadarinya atau tidak, tapi tindakannya itu sungguh konyol. Pantas saja Aslam membopongnya dari tadi.

Tangan yang dibebat perban, rambut yang di gelung asal, baju daster dan sweater kedodoran dan...tanpa memakai alas kaki. Beruntung wajahnya yang polos dan sedikit pucat itu terlihat cantik.

Fix! Perempuan itu benar-benar menarik perhatiannya.

Lengkap sudah, Bening bak seseorang yang menderita tiada akhir. Harusnya Frendian senang, karena dengan begitu dapat mempermudah aksinya untuk memisahkan Aslam dari istri mungilnya ini. Tapi, penampilannya tidak seperti itu saat ini. Apapun yang ia lihat dari perempuan itu, bagaikan seorang bidadari surga baginya. Istri sholeha yang sangat diinginkan pria manapun yang menjadi suaminya.

Mungkin Bening tak se-sholeha itu. Tapi Frendian yakin jika Bening seorang istri yang baik dan tetap menjaga kehormatannya. Dan itu membuatnya terobsesi. Karena sebejat-bejatnya dirinya, ia tetap menginginkan istri yang baik untuknya.

"Semuanya enam ratus lima puluh ribu," ucap sang kasir ketika Bening sudah berada di depan loket pengambilan obat.

"Mbak, ini obatnya bisa dititip dulu? Saya mau menyusul suami saya di parkiran. Ini obatnya saya taruh dulu di sini, ya." Bening kebingungan.

"Ada apa?"

Bening berjingkat, entah sejak kapan Frendian ada di sampingnya.

"Bapak, suaminya?" Tanya sang kasir. "Semuanya jadi enam ratus lima puluh ribu."

"Mbak, dia bukan..." ucapannya terjeda, perhatiannya teralihkan.

Suara ribut-ribut terdengar. Beberapa suster mendorong ranjang rumah sakit dengan tergesa-gesa. Ada sosok yang Bening kenali.

"Mas...Aslam?" Mengerutkan keningnya. Saat ia benar-benar meyakini pria itu adalah mas Aslamnya, dengan cepat Bening meninggalkan kasir dan berlari mengejarnya. Disusul Frendian yang ikut penasaran menyaksikan drama yang akan berlangsung di depannya.

"Mas Mas! Ini obatnya bagaimana?" panggil sang suster menghentikan langkah Frendian.

Frendian berbalik lalu menebus serta membayar obat Bening.

.

.

"Mas Aslam!" Teriaknya memanggil.

Bening tak mempedulikan kakinya yang terasa sakit akibat tergores lantai rumah sakit saat mengikuti suaminya yang dipanggil itu tak menyahuti. Hingga ia berhenti di depan ruang ICU dengan nafas yang terengah-engah. Jantungnya berdebar dengan kencang. Sejenak ia mengusap perutnya, lupa jika ada yang bertumbuh di rahimnya. Dalam hati ia terus berdoa, semoga janinnya baik-baik saja.

***

Perempuan itu terbaring lemah. Rambut pirang kemerahannya itu tersingkap dan make up setebal apapun yang ia kenakan, tidak bisa menutupi berapa banyak luka lebam di wajah cantiknya.

Sungguh ironis. Benarkah wanita yang sedang terbaring ini adalah kekasih yang tega menolak lamaran pernikahanku hanya demi karir?

Erina...

Jantungku berdebar kencang ketika melihatnya. Penat di dada seakan mencelos begitu saja. Sejak kapan ia kembali?

Dan mengapa aku menemukannya dengan kondisi seperti itu?

Badannya memang kurus, layaknya seorang model. Tapi kurusnya kali ini berbeda. Ia tampak seperti seseorang yang tak terawat dan tak terurus.

Dan entah mengapa aku begitu panik sampai mengikuti intruksi seorang suster untuk menemaninya karena setelah kutunggu beberapa saat tadi tak ada satu pun orang yang bersamanya di rumah sakit ini. Apa dia ke mari sendirian?

Kini, aku berada di ruang ICU untuk menemaninya setelah seorang dokter selesai memeriksa keadaannya. Erina pingsan karena dehidrasi dan infeksi luka di tubuhnya. Hal mengejutkan lagi adalah dokter bilang pemicu utamanya adalah kekerasan seksual yang dialaminya.

Kenapa ia begitu kacau? Apa yang sebenarnya terjadi padanya sampai-sampai dokter memvonis apa yang menimpanya? Mengapa ia berada di Indonesia dan sejak kapan ia di sini? Karena seingatku sepuluh bulanan lagi masa kontraknya di Paris berakhir. Benakku terus bertanya-tanya dan membuatku pusing.

Ya, banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya. Tapi, rasanya enggan sekali untuk menanyakannya karena bagiku sekarang sudah basi!

"Hon..." Suara lirih itu terdengar. Aku merasa terkesiap saat mendengarnya.

Panggilan itu, panggilan yang selama ini kurindukan. Namun, rasanya sekarang terasa hambar.

"Hon, aku sangat merindukanmu." Tiba-tiba saja ia terbangun dan langsung memelukku dengan erat.

TBC


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C37
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login