Download App
12.9% Menikahi Bening / Chapter 8: Dia, Bening!

Chapter 8: Dia, Bening!

"Maaf, Bu. Kayaknya ini ada kesalahpahaman." Gadis itu menyela saat aku hendak bicara. "Kalo gitu, saya permisi. Ini buket bunganya." Menyerahkannya kepada mama.

"Kamu mau ke mana, Sayang?" mama menahannya. Sayang? Entah sudah berapa kali mama memanggilnya seperti itu.

"Saya hanya disuruh tante Lily mengantarkan buket bunganya," tuturnya lembut, melepaskan tangan mama dari lengannya dengan sopan. "Saya permisi dulu ya, Bu. Dan...maaf ya, Mas. saya gak bermaksud nguping tadi. Semoga acaranya lancar." Gadis itu tersenyum lalu membalikkan badannya. Mama belum sempat menyanggah ketika aku dengan kasar menghampirinya.

"Maksud lo apa bicara kayak gitu? Lo nyindir karena gue pernah gagal, gitu?!" Aku menarik lengannya sekaligus membentaknya hingga ia tersentak. Aku mencengkram lengan gadis itu dengan kuat. Membuat jarak antara kami begitu dekat. Gadis itu meringis.

Dan mengapa aku marah tanpa alasan saat gadis itu hendak pamit untuk pergi? Merasa tak rela akan kepergiannya ataukah ucapannya yang mendoakan supaya acaranya berjalan lancar? Seketika aku dilanda kepanikan, merasa takut acara kali ini akan gagal. Namun, mengapa pula aku begitu memikirkan apa yang akan terjadi di acara pesta saat ini?

"Nak, jangan seperti ini. Lepaskan!" hardik mama melerai kami. Aku refleks menunduk ketika tangan mama hendak menjewer telingaku lagi.

"Bu." Gadis itu menahan mama. "Aku gakpapa," tatapan tulus itu, membuat mama luluh. Aku bisa melihat dengan jelas, sorot mata itu melindungiku.

"Kamu jangan pergi, Nak." Mama memperlakukan gadis itu seperti anaknya sendiri. Dulu mama tak pernah memperlakukan Erina seperti itu. "Mama yang mengundang Bening ke sini. Karena dia calon mantu pilihan mama. Calon istrimu!" tegas mama, seolah ada suara petir menyambar kembali di antara kami.

"I-ini...aku gak salah dengar kan, Ma? Dia? Calon istriku?" Aku masih tak percaya dengan apa yang kudengar lagi barusan. Padahal mama udah menegaskan dari tadi sejak gadis itu berada di antara kami. Aku marah, tapi jadi salah tingkah.

"Bu, ini cuman prank, kan?" Sama halnya dengan gadis itu. Sepertinya ia tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini.

"Ya, kamu calon mantuku. Gak ada prank-prank apalah itu! Kamu akan saya nikahkan dengan pria tua ini. Hari ini juga!" Tegas mama sekali lagi meyakinkan. What? Pria tua? Ingin rasanya aku menyumpal mulut mama saat itu juga. Ups, aku durhaka jika memikirkan itu.

"Tapi Bu, aku..."

"Jangan membantah, Bening! Bagaimanapun, Aslam harus bertanggung jawab akan perbuatannya." Mama mengangkat tangannya, tak ingin dibantah.

Apa maksud mama dengan mempertanggungjawabkan perbuatanku?

"Ma! Ini gila! Aku sama sekali gak menyukainya! Bahkan kenal aja, nggak!" pekikku kesal. "Dan aku gak mau nikah sama dia! Aku belum mau menikah! Aku cuma mau nikahin Erina! HANYA Erina!" teriakku membantah.

Aku marah dan begitu kesal. Namun, lagi-lagi ada perasaan aneh yang berdesir dari dalam dadaku ini ketika aku bersikeras menyangkalnya. Hatiku sakit saat melihatnya dengan tatapan sendu. Apa kata-kataku terlalu pedas?

"Bagaimana mungkin kalian gak saling kenal selama kurang lebih sembilan bulan ini? Mama kan sering menyuruhmu mengambil bunga!" Seru mama.

"Bunga? Ah, ya! Aku baru ingat dia gadis di toko bunga itu. Dan asal mama tau, aku baru melihatnya seminggu yang lalu. Itupun tak sengaja. Dan aku, gak peduli!" bantahku.

"Gadis bunga?" Mama tak percaya. Tangannya bertolak pinggang salah tingkah, seakan ingin meleburkan diriku

"Bening! Namanya Bening!" tegas mama. Tiba-tiba saja hatiku terenyuh saat mengetahui namanya.

Tunggu dulu! Seingatku Mario pernah memanggilnya dengan sebutan lain. Cibey? Cibay? Ato arbey? Argghh, entahlah! Sungguh terkutuk wahai otak yang tak terasah ini.

"Lalu kapan kamu mau menikah? Kamu ini udah 31 taun. Kamu mau nikah nunggu Erina yang tak jelas juntrungannya?" bawel mama. "Pokoknya keputusan mama udah bulat! Mama gak mau tau! Ini udah jadi keputusan papa sama mama. Pesta hari ini bukan hanya merayakan ulang tahunmu saja. Tapi ulang tahun Bening dan juga pernikahan kalian! TITIK!" tegas mama lalu menarik gadis bunga yang baru kutahu namanya Bening itu. Dari wajahnya ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini.

Aku mengusap wajah dan rambut kepala - merasa frustasi. Tanpa bisa menahan emosi lagi aku meninju dinding kamar yang ada di depanku. Tak dipedulikannya lagi mama dan juga Bening akan tingkahku. Kurasa mereka cukup shock saat melihatku.

"Aslam! Apa-apaan kau ini!" Teriak seseorang dari ambang pintu. "Dari tadi papa biarkan kalian berdebat tak henti-hentinya. Malu kalau di dengar orang lain!" Papa melerai. Sungguh, kali ini orang tuaku menunjukkan emosi lain yang tak pernah aku lihat sebelumnya dari diri masing-masingnya.

"Pa, Aslam gak mau dengar ucapan mama." Mama mengadu. Papa mengalihkan pandangannya pada Bening. "Dia calon istri yang mama pilihkan untuk Aslam,"

Aku mengepalkan tangan. Tak dipedulikan lagi jemariku yang terluka. Aku sungguh tak mengerti kenapa papa dan mama tiba-tiba ingin menikahkan aku tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu. Apalagi gadis ini sungguh tak menarik di mataku.

"Papa mohon, Nak." Pinta papa. "Turuti mamamu. Dan papa juga."

Tanpa menjawab ya atau tidak. Akhirnya aku pasrah...

***

Asal kalian tau, betapa geramnya aku saat melihat isi undangan pesta ulang tahunku yang dicetak mama saatku sudah selesai dirias oleh para MUA di dalam kamar. Aku menyesal karena tak sempat membaca undangan itu sebelumnya. Ternyata undangan itu bukan sekedar undangan pesta ulang tahun saja, melainkan pesta pernikahanku sendiri. Bahkan, di dalamnya tercetak dengan sangat jelas namaku juga nama gadis yang akan aku nikahi saat ini. Sekali lagi, bukan Erina. Melainkan gadis itu, Bening.

Ingin rasanya aku melarikan diri dari dunia yang menyesakkan ini. Tapi aku urungkan kembali ketika aku melihat seluruh para tamu undangan yang menyambutku dengan hiruk pikuk bahagia. Suara tawa serta senyuman yang terukir jelas pada wajah mama, terutama papa, tak ingin aku merusak senyuman itu. Senyuman bahagia yang pernah aku lihat terakhir kali saatku masih kecil.

Aku menatap pantulan bayanganku di cermin. Aku memakai setelan baju pengantin berwarna putih yang sungguh membuat aku tiba-tiba saja terharu. Tak pernah aku bayangkan akan memakai baju seindah ini di hari yang seharusnya membahagiakan untukku. Demi orang tua yang menyayangiku, aku harus bertahan.

Dan di sinilah aku sekarang. Suasana siang hari yang menyejukkan. Aku duduk di dalam gazebo yang sudah disulap dengan sentuhan sakral. Pantas saja nuansa pesta kali ini dihias serba putih dengan hiasan bunga serta lampu-lampu kristal layaknya intan yang berkilauan. Acara akad akan dilaksanakan ba'da ashar.

Setelah adzan ashar berkumandang, suasana menjadi hening. Saat itu orang-orang yang dianggap penting memberikan beberapa kata sambutan dan petuah-petuah penting yang tidak begitu aku tanggapi. Aku menegakkan punggungku ketika Pak Penghulu yang tahun lalu akan menikahkanku bersama Erina, mengucapkan dua kalimat syahadat. Acara sakral yang sesungguhnya akan segera dilaksanakan.

Tahukah kalian, aku sungguh malu pada Pak Penghulu ini saat ia menanyakan pertanyaan yang malas kujawab, terlebih banyak orang yang mendengarnya sehingga tak sedikit para tamu yang hadir menertawakanku. "Kali ini gak bakalan gagal lagi, kan, Den?" Sialan! Pengen kutab*k mulutnya saat itu juga.

Dan tahukah kalian apa yang ingin aku lakukan saat ini melebihi kepada Pak Penghulu tadi? Bukan hanya sekedar menabok saja, tapi aku benar-benar ingin melempar orang tua yang kini berada tepat di depanku ini ke segitiga bermuda.

Di hadapanku saat ini ada orang yang paling aku kenal baik. Mario. Rio teman yang selama ini selalu menemaniku. Dengan tersenyum menjengkelkan, Rio mengulurkan telapak tangannya, berharap aku menjabat tangannya. Sejenak aku tertegun, tak mengerti kenapa Rio ikut-ikutan dalam acara hari ini. Aku begitu berharap jika ini hanyalah prank.

"Nak Aslam, apa kamu sudah siap? Bapak mengerti, kamu pasti gugup sekali. Apalagi taun lalu sempat gagal." Wahh, benar-benar ngajak duel nih, Bapak!

"Tapi biasanya di awal saja, setelahnya pasti lega. Betul begitu kan bapak-bapak, ibu-ibu?" Meski begitu, Pak penghulu mencoba mencairkan suasana.

Ingin rasanya aku berteriak saat itu juga! Bukan itu yang aku rasakan! Melainkan aku ingin kabur dari pesta yang mengikat ini.

Sekali lagi, Rio menegaskan agar aku membalas uluran tangannya. Dengan ragu aku mengulurkan tanganku, Rio dengan sengaja menarik dan mencengkram telapak tanganku dengan kuat. Aku meronta menarik tanganku ini, namun Rio begitu keras kepala.

***

EPILOG

"Senyum dong, Mbak. Ini kan hari pernikahan, Mbak sama Mas Guanteng itu lhoo.." Salah satu mbak-mbak MUA menghiburku. Ingin rasanya aku berteriak dan kabur saat ini juga. Aku tak bisa pergi ke mana-mana saat aku telah selesai dirias menjadi pengantin yang sangat cantik.

Benarkah, itu aku?

Aku memejamkan mataku duduk di depan cermin rias saat ini. Air mata hangat lolos begitu saja dari pelupuk mataku.

"Ya, ampun, Mbak. Udah dong... jangan nangis. Nanti make up-nya luntur lhoo," pekik mbak MUA yang satu lagi.

Bukannya membuat aku berhenti, hal itu justru malah semakin membuatku ingin menangis. Sabodo aelah!

"Mbak, umur berapa?" Aku terisak menanyakan umur mbak MUA yang bernama Hetty.

"26..." Malu-malu ia menjawab.

"Udah nikah?" Mbak Hetty menggeleng.

"Hwaaa...tuhkan...Mbak-nya udah 26 taun belom mau nikah. Aku masih 19 lho..." Aku menangis dengan konyol.

Mbak-mbak MUA sibuk menenangkanku. Aku gak peduli mereka mau meriasku kembali atau tidak. Malah aku berharap pesta ini hanya mimpi!

TBC


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C8
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login