Teriakan girang disertai wajah sumringah. Aisyah berjalan menikmati masa sekolah yang menyenangkan.
"Sangat disayangkan beliau mengusirku. Padahal, aku ingin mendengarkan jawaban langsung dari beliau," kata Aisyah menggaruk-garuk kepala.
Aisyah mencoba menghubungi Gufron melalui smartphone perihal hal ini. Akan tetapi, telponnya tidak diangkat. Ya sudah kalau tidak diangkat. Mungkin lagi sibuk, pikirnya dalam hati.
Dia meregangkan otot kedua kaki dan lengan. Sekaligus juga melemaskan sehabis duduk. Pijakan langkah kaki ke anak tangga, hingga melompat melewati pagar besi. Tangan kanan memegangnya dengan santai. Sambil melontarkan tali ke atap. Kedua kakinya berayun hingga dapatkan pijakan. Otot kedua kaki Aisyah ditekan keras. Lalu melompat tinggi ke atap. Beruntung, Aisyah mengganti celana panjang se-mata kaki meski lompatannya terlalu tinggi.
Suara atap bergelintang, hingga Aisyah telah sampai tujuan. Kemudian, dia mengamati aktivitas sekolah dari atap dan duduk bersila. Sambil mengunyah roti yang sudah terbuka bungkusnya. Rasanya begitu nikmat.
"Agak disayangkan makanan seperti ini jarang disukai banyak orang," katanya memegang bungkus roti buatan Pak Eko.
Tiba-tiba secara refleks, kaki kanan menggeser atap keramik. Menimbulkan bunyi bergelintang. Para siswi yang selesai berpakaian, mendengar suara gelintang dari atap.
"Suara apa itu barusan?"
"Apa barusan kucing yang naik atap, ya?"
Aisyah menutup hidung dan tidak bergerak sedikitpun. Takut suara langkah kakinya terdengar di lantai bawah. Beruntung tidak ada yang melihatku melompat dengan tali pelontar. Jika mereka tahu kalau aku bergelantungan barusan, bisa-bisa aku dalam masalah besar, gumamnya dalam hati. Aisyah memejamkan matanya. Merasakan hembusan angin menuju ke lubang hidung sampai dengan permukaan kulit.
Akhirnya, mereka tidak melakukan tindakan apapun. Helaan napas keluar dari mulut Aisyah. Tiba-tiba, rasa kantuk yang mulai sudah tidak tertahankan lagi. Kedua matanya mengedip berat. Aisyah memosisikan tidur di ujung atap dengan tangan kanan di belakang kepala. Indera penglihatan Aisyah mulai mengabur, dan perlahan-lahan hitam pekat.
Suara bunyi lonceng dua kali, menandakan pergantian mata pelajaran. Salah satu murid kelas X-A bersiap untuk mengganti pakaian olahraga. Terutama para gadis akan berganti pakaian di toilet. Sedangkan laki-laki di dalam kelas.
Rambut pendek dan poni bagian tengah memanjang pada rambut laki-laki yang ditemuinya. Namanya Ivan, yang membawa pakaian seragam olahraga. Dengan terpaksa harus berganti di dalam toilet laki-laki. Dia tidak ingin menarik perhatian teman sekelasnya, mengenakan sepatu hitam bertali serta aksesoris jam tangan digital bermerek. Tubuhnya kurus sampai menjulang kaki. Dia terlihat tinggi, tetapi tenaganya tidak berisi.
"Buruan, nih! Aku mau ganti pakaian!"
"Sebentar kenapa sih? Cerewet amat!"
Ivan mengerutkan kening. Suara tersebut berasal dari seorang gadis di dalam toilet laki-laki. Ekspresinya bingung dan kesal, dia menggedor berkali-kali sampai sekitarnya kedengaran.
"Hei! Kau tahu kan ada Kayla di dalam ruangan kamar mandi! Sabar dikit kenapa sih!"
"Aku tidak peduli! Walaupun dia cewek, tetap antre, dong!" katanya menunjuk ke toilet perempuan.
Kebiasaan para perempuan di sekolah itu berupa mengganti seragam sekolah terlalu lama. Ironisnya, mereka mengganti pakaian diselingi bergosip. Kebiasaan itulah yang tidak disukai oleh Ivan. Apa susahnya toh cuma antre? Kan guru olahraga tidak mempermasalahkan siswa terlambat, gumamnya dalam hati.
Sampai dia mendengar rumor bahwa guru olahraganya Ivan mulai tidak toleran terhadap siswa-siswi yang terlambat. Terutama alasan sakit. Bisa saja 'alasan' semacam itu bisa digunakan supaya siswa bisa bolos pelajaran olahraga. Setidaknya itulah yang di dalam pikiran guru tersebut.
Ketika Ivan berniat untuk turun anak tangga, ada seorang gadis tertidur pulas di atap. Ivan mengernyitkan dahi. Dia mendongak ke atas. Memperhatikan Aisyah yang sedang tidur pulas. Karena penasaran, Ivan mencoba mendekatinya dengan sapu di depannya. Namun tidak sampai.
"Kau ngapain?" tanya Florensia muncul di belakangnya.
"Astaga! Bikin kaget saja!"
"Soalnya kau daritadi sibuk membangunkan Aisyah. Jadi ya, kucoba untuk menyapamu."
"Alasan macam apa tuh! Tapi … kenapa kau bisa tahu?" tanya Ivan.
Florensia menjelaskan dirinya dan Aisyah dihukum oleh Bu Mirah akibat pertanyaan sepele. Ivan menggangguk pelan. Kemudian dia mendongak ke atap dengan iba.
"Begitu ya? Aku tidak bisa menyalahkan kalian mengenai pertanyaan barusan."
"Memang seperti itulah, guru sekarang," ujar Florensia mengangkat dua bahunya.
"Ngomong-ngomong, kau ke sini ngapain?" tanya Ivan.
Gadis bando merah polkadot mengacungkan jarinya pada dua orang. Ivan memang tidak kelihatan siapapun. Namun tidak bagi Florensia. Tekanan sihir api dalam dirinya diacungkan kepada mereka. Seketika, Vega berhenti bergerak.
"Merepotkan."
"Ada apa, Vega?"
"Grand Master Florensia menyadari keberadaan kita!"
"Sudah kuduga! Ternyata pangkat dia tidak sekadar hiasan semata," ujar laki-laki berseragam putih mengelus dagu.
Sambil tersenyum dia menjentikkan jari berupa sihir. Laki-laki berseragam putih mengarahkan sihir pengendalian pada dua perampok yang kabur dari kejaran kepolisian. Kemudian, dia berbisik ke telinga mereka.
"Capere euis (tangkap dia)."
Tiba-tiba salah satu perampok memutar haluan ke kiri menuju sekolah. Rekan perampok kaget dengan manuvernya.
"Oi, apa yang kau—"
"Capere euis (tangkap dia)."
Seketika, dia pun terdiam. Laki-laki berseragam putih tersenyum terkekeh. Vegan mengeluarkan Great Sword melompat dari ketinggian lima belas meter.
Di lain pihak, Florensia berdecih kesal. Berlari menuju anak tangga lantai bawah.
"Apa yang terjadi?"
"Beritahu guru untuk pergi dari sini! Sekolah kita akan diserang oleh orang-orang tidak dikenal!" sembur Florensia.