Download App
3.21% Serendipty / Chapter 7: Dinding Tak Kasat Mata

Chapter 7: Dinding Tak Kasat Mata

Keluarga adalah harta paling berharga. Namun, bagaimana jika harta lebih berharga dari keluarga? Banyak orang yang lebih memilih terlahir apa adanya dibandingkan bergelimang harta, tapi memiliki banyak kasih sayang. Sebagian lagi berharap bergelimang harta tanpa harus memikirkan kasih sayang keluarga.

Langit Aldebaran bukan laki-laki badboy yang memiliki segudang prestasi dibidang nakal. Ia hanya laki-laki yang terlahir didalam keluarga yang kurang memberinya kasih sayang. Papanya-- Brata Tarumanagara, meski ia sibuk dengan urusan rumah sakit, laki-laki itu selalu menyempatkan berada disisi Langit. Meski sebentar. Papanya terlahir dari kedua orangtua yang ber profesi Dokter, sekaligus pemilik rumah sakit terbesar di Jakarta. Berbeda dengan Mamanya-- Liliana Putri Aldebaran, pemilik perusahaan Aldebaran Corporation. Ia adalah putri tunggal keluarga Aldebaran, aneh memang banyak anak pasti terlahir dengan nama belakang sang Ayah, berbeda dengan Langit. Mamanya itu lebih memilih sibuk dengan urusan kantornya dibanding menghabiskan waktu dengan Langit disaat hari libur. Semenjak berusia 5 tahun, laki-laki itu sudah mengenali banyak hal yang membuat Papa dan Mamanya sibuk, bahkan saat Langit memiliki banyak keunggulan melebihi anak sebayanya. Liliana dan Brata hanya mampu tersenyum dan berlalu pergi dengan pekerjaan masing-masing.

Laki-laki dengan setelan jas berjalan memasuki ballrom hotel bintang lima. Hari ini, ia akan ikut dengan Mamanya juga Papanya menghadiri acara rekan bisnisnya. Jika ditanya ia akan menikmati atau tidak? Tentu saja, jawabannya tidak.

"Perkenalkan ini anak tunggal kami, Langit Aldebaran." Liliana memperkenalkan Langit kepada beberapa rekan bisnisnya.

"Liliana.." wanita dengan dress berwarna merah mendekati Liliana, Brata juga Langit.

"Angel.." Liliana memeluk wanita didepannya itu.

"Langit." Langit tersenyum simpul kearah Angel.

"Derai, sini." Angel melambaikan tangannya kearah Derai yang berdiri disamping suaminya.

"Hai Langit." Derai tersenyum begitu manis saat ia sudah sampai didepan Langit.

"Hai." Langit menjawab dengan wajah datar.

***

Rinai memasuki ballrom hotel dengan senyum manis yang tak pernah luntur. Ia menggandeng lengan sang Ayah.

Dress biru tua dengan aksen brukat di pinggangnya, rambut yang ia tata berbeda yaitu cepol membuat leher jenjang nya terekspos.

"Rendra.." wanita yang baru saja sampai didepan Rinai dan Rendra tersenyum.

"Hai, Alesa." Rendra tersenyum. Rinai menatap interaksi sang Ayah dengan wanita didepannya dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.

"Kamu Rinai Hujan ya?" setelah mereka berdua asik berbicara, melupakan Rinai sesaat, akhirnya wanita itu bertanya dengan senyuman.

"Iya." Rinai tersenyum simpul.

"Kamu cantik, mirip sekali dengan Raina." Rinai menautkan kedua alisnya bingung. Siapa wanita didepannya ini? Mengapa dia tau tentang Bundanya.

"Ini Tante Alesa, sahabat Bunda." pernyataan Ayah membuat pertanyaan Rinai terjawab.

Mereka kembali berbincang membuat Rinai hanya mampu memperhatikan sekitar dengan tatapan yang sudah tak berminat. Entah mengapa hatinya tak menyukai wanita yang ada didepannya ini.

Netranya menangkap dua muda-mudi yang duduk diatas sofa. Perempuan dengan dress pink terus berbicara dan laki-laki disampingnya hanya menatap datar. Pandangan Rinai terus terfokus kepada mereka berdua, hingga netra hitam legam segelap malam milik Langit yang menatapnya balik membuat gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan.

"Lo disini?" pertanyaan yang tiba-tiba muncul membuat Rinai tersentak dan mengelus dada, karena kaget.

"Astaga Langit, kamu bisa gak sih jangan ngagetin." Rinai cemberut.

"Lo disini?" Langit kembali mengulang pertanyaan nya, kala Rinai tak juga menjawab.

"Iya. Bareng Ayah." Rinai melirik dua orang dewasa yang asik mengobrol.

"Langit.." Derai berjalan menuju Langit dan Rinai.

"Hai, gue Derai Anantha." Derai mengulurkan tangannya, membuat Rinai tersenyum dan menjabat tangan Derai.

"Langit, kamu dipanggil Tante Liliana." Derai memegang lengan Langit. Rinai menatap gerak-gerik Derai dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.

"Lepas." Langit menghentakan tangan Derai. Membuat gadis itu hanya tersenyum.

"Lo nggak papa gue tinggal?" Langit menatap Rinai.

"Nggak papa kok." Rinai tersenyum meyakinkan.

"Yaudah, gue kesana dulu ya." Langit menunjuk kearah dimana Liliana Brata juga teman sang Mama berada. Rinai mengangguk singkat.

Derai dan Langit berjalan bersisian. Rinai menatap dua punggung yang semakin menghilang dengan rasa aneh didalam dadanya.

Rinai kembali berjalan mendekati dua orang yang masih saja asik berbicara. Hingga sebuah perkataan membuat Rinai urung mendekat.

"Mas, kamu kapan bilang sama Rinai? Kalau kita mau nikah." Rendra memegang tangan Alesa.

"Sabar sayang."

Rinai menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Air matanya sudah mengenang dipelupuk dan detik berikutnya bulir demi bulir air mata jatuh.

Gadis itu berlari menjauh, ia keluar dari ballrom dengan perasaan terluka.

Berbeda dengan Langit, laki-laki itu menatap kesekitar mencari keberadaan Rinai. Namun, nihil ia tak menemukan keberadaan Rinai. Langit menghela nafas, mungkin Rinai sudah pulang.

***

Mobil berwarna hitam memasuki pekarangan rumah minimalis. Laki-laki itu keluar dari mobil, buru-buru memasuki rumah kala mengetahui jika Rinai sudah pulang sejak dua jam yang lalu.

Rendra menaiki tangga dengan jas yang ia lepas. Langkahnya membawanya masuk kedalam kamar Rinai. Lampu sudah dipadamkan, hanya sinar bulan yang masuk lewat cela gorden yang belum sepenuhnya tertutup.

Rendra mencium puncak kepala Rinai. Dan menarik selimut gadis itu hingga sebatas dagu. Ia keluar dari kamar Rinai dengan beribu pertanyaan.

Bersamaan dengan pintu yang mulai tertutup, Rinai membuka matanya. Isakan lolos dari bibir mungilnya. "Ayah jahat." Rinai menengelamkan wajahnya dibalik boneka Teddy berukuran besar, kado diusianya yang ke 17 tahun dari Rendra.

***

Rinai membuka matanya, kala tenggorokannya terasa sakit. Matanya mengerjap, rasanya begitu berat. Mungkin efek karena Rinai menangis hingga gadis itu tertidur.

Gadis itu menghela nafas kala tidak menemukan segelas air dimeja samping tempat tidurnya. Terpaksa gadis itu keluar dari kamar menuju dapur.

Setelah selesai mengambil minum, Rinai menatap kamar Rendra yang sedikit terbuka. Gadis itu urung menaiki tangga.

Rinai melihat sang Ayah yang terlelap diatas tempat tidur, dengan posisi menyender dikepala kasur, dengan berkas-berkas yang ada diatasnya. Ia memberanikan diri memasuki kamar sang Ayah. Membersihkan berkas-berkas. Rinai menatap Rendra dengan senyuman getir. Hingga air matanya kembali lolos. Ia berjalan keluar dari kamar Rendra dan menutup pintu kamar.

Rinai kembali menaiki tangga dan masuk kedalam kamarnya, ia belum mengantuk. Hingga ia memilih mengambil buku bergambar bunga Anyelir. Dan menuliskan beberapa kata, menggambarkan perasaannya.

Menulis bisa menghilangkan beban, mungkin begitulah kata-kata yang cocok untuk Rinai.

Jauh dilubuk hatiku, cukup aku dan Ayah, tak perlu ada orang lain disana.

~Rinai Hujan

Rinai menuliskan bait terakhir tulisannya dengan air mata yang ia usap. Ia menutup bukunya dan kembali terpejam.

***

Rinai keluar dari kamarnya dengan pakaian khas SMA Alam Nusantara. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang makan yang sudah duduk sang Ayah.

Cukup hening keduanya memakan makanan masing-masing, hingga pertanyaan Rendra membuat Rinai menghentikan suapan nasi gorengnya.

"Kenapa pulang gak nunggu Ayah?" Rendra menatap Rinai.

"Buat apa Rinai menunggu Ayah yang asik berpacaran."

"Maksud kamu?" Rendra menatap putrinya tak mengerti.

"Ayah gak perlu pura-pura didepan Rinai. Bukannya Ayah mau menikah dengan Tante yang mengaku sebagai sahabat Bunda?"

"Dia memang sahabat Bundamu, Rinai."

"Sahabat bahkan gak berani nikung sahabatnya sendiri. Ayah harusnya tau, sampai kapanpun Bunda tidak akan pernah terganti." Rendra memukul meja membuat suara senyap diruang makan sedikit gaduh.

"Jaga sopan santun kamu, Rinai." Rinai tertawa renyah.

"Rinai udah gak punya sopan santun, semenjak Ayah diam-diam punya hubungan khusus dengan seseorang yang bersembunyi dibalik kata 'sahabat'." Rinai menekankan kata sahabat.

"Rinai benci Ayah."

••••


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C7
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login