Download App
3.66% Serendipty / Chapter 8: Panti Asuhan

Chapter 8: Panti Asuhan

Kebahagiaan hanya pemanis sementara terkadang malah membuat kita terlena. Hingga kita lupa masalah sudah siap didepan mata.

Rinai berlari keluar rumah dengan air mata yang tak henti nya keluar dari pelupuk mata. Seragam yang masih melekat dan tas yang ia kesampirkan membuat ia mengurungkan niat untuk datang kesekolah.

Langkah kakinya terus membawa nya jauh dari rumah minimalis yang ia tinggali beberapa menit yang lalu, Rinai berhenti didepan Halte ia duduk dibangku dengan sesekali terisak.

Ia menghentikan taxi yang lewat. Rinai masuk dan memberi tahu tujuan nya kepada sopir taxi.

Rinai menatap bangunan didepan nya dengan air mata yang masih berlinang, bukan satu atau dua kali Rinai mengunjungi tempat ini. Namun hingga saat ini ia selalu merasa tempat ini lah yang pantas ia sebut rumah.

Panti Asuhan Mawar begitulah tulisan yang berada diplang depan bangun itu.

Sebelum Rinai masuk, ia menghapus air mata yang tersisa dengan tarikan nafas. Rinai mulai melangkah kan kakinya memasuki panti asuhan.

"Permisi." Rinai tersenyum kala ia melihat anak kecil laki-laki dengan mobil-mobilan ditangan nya.

"Kak Linai." anak kecil itu tersenyum dan memeluk Rinai erat.

"Hai Wahyu." Rinai mengacak rambut Wahyu pelan.

Dari arah lain, gadis dengan mahkota dikepala nya berlari memeluk Rinai.

"Kak Rinai." gadis itu menampilkan deretan gigi susu nya yang rapih.

"Hai Tresya." Rinai mencubit hidung gadis itu.

"Ihh ini kakak Linai aku tau." Wahyu memeluk Rinai erat, seolah ia tak mau kakak nya diambil oleh Tresya.

"Enak aja ini kakak Rinai aku." ia tak mau kalah, Tresya memeluk Rinai erat.

Sedangkan yang dipeluk hanya tertawa pelan, perdebatan itu berlangsung sesaat hingga Rinai mencoba menengahi.

"Udah-udah, kok jadi berantem? Kalian berdua ini adik-adik kakak." Rinai tertawa kala melihat Tresya dan Wahyu manyun, membuat mereka berdua tambah mengemaskan.

"Ehh ada apa ini?" wanita berusia 40 tahun berjalan menghampiri ketiga anak-anak nya.

"Rinai?" Rinai tersenyum dan menyalimi tangan wanita itu.

Amanda Raqilla adalah Ibu sekaligus pemilik panti asuhan Mawar, dahulu Rinai sangat suka main disini karena rumahnya dekat dengan panti asuhan.

"Rinai tumben kemari, bukannya kamu sekolah, Nak?" Tanya Ibu Amanda saat keduanya sudah duduk disofa ruang tamu.

"Iya Bu, Rinai bolos mau main ke panti aja." Rinai tertawa renyah.

"Ibu udah kenal kamu, apa kamu ada masalah, Nak?" Ibu Amanda menatap Rinai.

Rinai menatap Ibu Amanda dengan mata berlinang, ia memeluk beliau dengan erat.

"Kamu bisa cerita kapan pun ke Ibu." Amanda memeluk Rinai erat. Beliau sudah menganggap Rinai sebagai anaknya sendiri.

***

Rinai berjalan kearah dapur, langkahnya terhenti kala melihat foto nya dan teman-teman sebaya nya. Ia tersenyum Rinai merindukan teman-temannya.

Netranya menatap foto laki-laki dan perempuan yang berbeda usia tersenyum didepan kamera. Foto yang sama dengan yang berada dikamar Rinai, ingatan nya melempar nya jauh ke masa dimana ia mengenal laki-laki didalam foto itu.

Flashback ON

Gadis berusia 3 tahun berlari keluar rumah dengan wajah polosnya, ia berjalan dengan kaki mungilnya.

Gadis itu melihat bangunan didepan nya dengan tatapan bingung.

"Panti asuhan Mawar." gumaman pelan milik gadis berusia 3 tahun itu membuat wanita disampingnya tersenyum.

"Kamu pinter banget, Nak." wanita itu mengacak rambut anak kecil didepannya.

"Rinai nggak tau ini rumah apa?" pertanyaan polos yang keluar dari bibir mungil gadis itu membuat wanita didepannya terkesiap.

Anak kecil masih berusia 3 tahun namun begitu fasih mengucapkan kata demi kata tanpa salah sedikitpun.

"Ayo masuk, didalam banyak teman-teman loh." wanita itu membawa Rinai masuk.

"Ayo anak-anak, ini ada temen baru loh."

Anak kecil dengan usia terpaut dua tahun mendatangi Rinai dengan senyuman.

*Kamu pindah disini?" tanya laki-laki yang usianya lebih tua dua tahun dari Rinai.

"Enggak, aku mau main disini. Rumah ku disebelah sana." Rinai menunjuk rumah minimalis disamping panti.

"Aku Aldo Aditya." tangan laki-laki itu terulur.

"Rinai Hujan." Rinai menjabat tangan laki-laki didepannya.

Takdir adalah konspirasi alam, tak ada yang tau akhir dari sebuah kisah seperti apa.

Dua tahun kemudian.....

Gadis dengan gaun berwarna biru langit tersenyum kearah laki-laki didepannya.

"Kak Aldo.." ia memeluk laki-laki itu.

"Rinai Hujan, jangan cengeng." Aldo mengacak rambut gadis didepannya.

"Ihh kakak mah, aku udah cantik gini." Rinai cemberut.

"Kakak maafin Rinai ya, gak bisa selalu ada."

"Nggak papa, kapan-kapan kamu kan bisa main lagi kesini. Belajar yang bener jangan malu-maluin kakak." Aldo tersenyum kearah gadis berusia 5 tahun itu.

Rinai kembali memeluk Aldo begitu erat.

Mobil pajero putih berjalan keluar pekarangan rumah minimalis, Rinai tersenyum dan melambaikan tangan nya kearah anak-anak panti.

Aldo, laki-laki itu tersenyum ia menatap mobil pajero hitam yang semakin hilang dari pandangan bersamaan dengan rasa yang mulai berkembang.

Flashback OFF

"Jadi kangen kak Aldo." Rinai menyeka air matanya. Gadis itu kembali melangkahkan kakinya menuju dapur.

***

Dilain tempat, laki-laki berjalan melewati koridor dengan tatapan bingung. Kala ia melihat kakak kelasnya sekaligus sahabat Rinai berjalan sendirian, biasanya dua gadis itu tak pernah berpisah.

"Sorry kak, gue mau tanya. Rinai masuk?" Yuira menatap Langit bingung.

"Gue dari tadi nggak lihat Rinai." Langit kembali berucap.

"Oh, cuman karena itu?" Langit mengangguk

"Iya, dimana Rinai kak?" Langit kembali bertanya. Yuira menatap mata Langit, ia tidak menemukan tanda-tanda Langit akan berbuat jahat.

"Kalau dia lagi gak masuk gini, tanpa keterangan. Pasti dia ke Bandung. Panti asuhan Mawar."

"Lo bisa cari di maps." Yuira menunjuk handphone yang Langit pegang.

"Okee, thanks kak."

Langit berlari menyusuri koridor yang mulai ramai oleh siswa-siswi yang berbondong-bondong kearah kantin.

Yuira menatap punggung Langit yang mulai hilang dari pandangan, dengan tatapan mencari tau. "Rinai, lo utang penjelasan sama gue." Yuira kembali berjalan kearah kantin dengan handphone yang ia tempelkan ditelinga.

Langit masuk kedalam kelas dan menatap dua temannya yang masih asik dengan kesibukan masing-masing.

"Gue cabut duluan." suara Langit membuat beberapa orang yang masih didalam kelas menatap laki-laki itu. Begitu juga Regan dan Tritan. Belum mereka berdua membuka suara, Langit sudah menghilang dari pandangan.

Langit mengendarai motor kesayangannya keluar parkiran, ia menatap pagar yang tertutup. Karena ini masih jam sekolah otomatis saja pagar masih setia tertutup.

"Pak saya mau keluar ini urgent, Pak."

"Ada apa?" Pak satpam mendekati Langit dengan kedua alis yang bertaut bingung.

"Keluarga saya sakit Pak." dengan sigap pak satpam membukakan pagar sekolah untuk Langit.

Dengan kecepatan seperti seorang pembalap, dalam waktu dua jam dan berbekal maps. Langit sampai didepan gedung dengan plang bertuliskan panti asuhan Mawar. Ia turun dari motor sport hitamnya, dan melangkahkan kaki masuk.

"Kakak ganteng nyali siapa?" anak laki-laki yang sedang mobil ditangannya menatap Langit bingung.

"Kakak nyari kak Rinai, kamu tau dia dimana?" Langit berjongkok dihadapan anak laki-laki itu.

"Kakak ganteng temennya kak Linai? Aku panggilan ya." Langit tersenyum setelah melihat anak laki-laki itu berlari masuk kedalam panti.

"Kak Linai, ada kakak ganteng dilual nyaliin kakak." Rinai mencuci tangannya dan berbalik, ia berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan anak laki-laki didepannya.

"Siapa?" Rinai menautkan alis bingung, siapa yang tau dia ada disini? Kecuali Yuira dan keluarganya tentu saja.

Wahyu menarik tangan Rinai untuk mengikuti anak itu. Dengan langkah yang sedikit terburu-buru Rinai sampai didepan teras panti, dimana laki-laki yang Wahyu maksud berada.

Ia melihat seragam sekolah yang sama dengan Rinai, dengan jaket bomber yang menutupi baju laki-laki itu. Rinai menatap motor sport hitam didepan panti. Ah- iya itu Langit.

"Langit?" Langit membalikan badannya dan menatap Rinai dengan wajah seolah berkata 'syukurlah'.

"Kenapa kamu bisa disini?" Rinai menatap Langit bingung.

"Gue nyariin lo, gue kira lo sakit ternyata lo ada disini. Gue bisa sampai disini karena info dari kak Yuira." Rinai mengangguk faham.

"Aku cuman kangen, mau main kesini." Rinai tertawa pelan. Namun, bukan kebahagiaan yang Langit lihat. Tapi kesedihan.

"Oh, oke." Langit mengangguk-anggukan kepalanya mencoba mempercayai.

***

Sore hari menjadi hal yang begitu disukai banyak orang, tak terkecuali mereka yang sengaja keluar demi menikmati udara segar.

Rinai dan Langit duduk di ayunan belakang panti. Mereka berdua memandangi anak-anak panti yang asik bermain dan bercanda, tawa mereka yang begitu polos tanpa beban membuat Rinai ikut tersenyum.

"Lo suka suasana kaya gini?" Rinai mengangguk antusias.

"Iya, aku suka banget." Rinai tersenyum.

"Lo nikmati deh, suasana kaya gini." Langit memperhatikan Rinai yang masih asik memperhatikan anak-anak panti.

Matahari kembali keperpaduan menyisihkan semburat jingga yang mampu membuat tiap mata yang melihat menatap takjub. Dibawah langit senja lagi dan lagi Langit menatap Rinai dengan perasaan yang terus berkembang.

***

Langit menaiki motor sportnya, malam sudah larut. Namun Langit baru ingin pulang.

"Gue pulang ya, Lo beneran gak mau pulang?" Langit kembali melontarkan pertanyaan yang sama. Rinai menggeleng pelan.

"Aku masih kangen sama panti." Rinai tersenyum.

"Besok malam ada acara dipanti asuhan, Tresya ulang tahun. Kita mau buat acara kecil-kecilan. Kamu bisa dateng kan? Ajak Regan sama Tritan juga gak papa." Rinai menatap Langit. Tentu saja Langit tak akan menolak, selalu berada didekat Rinai adalah hal yang sangat Langit suka sekarang.

Langit mengangguk dan memakai helm full facenya. "besok gue dateng."

"Hati-hati." Rinai melambaikan tangan saat motor sport Langit keluar dari pekarangan rumah panti, menuju Ibu Kota.

Rinai memasuki panti asuhan.

"Besok kakakmu datang kepanti." Rinai menatap Amanda yang sudah berdiri didepannya.

"Bener, Bu?" Rinai menatap Amanda dengan binar bahagia. Amanda mengangguk dan tersenyum.

Rinai tak sabar menunggu kakaknya itu datang, bagaimana keadaannya sekarang? Apa mimpinya sebagai seorang pilot sudah tercapai? Sungguh Rinai sangat menunggu hari esok.

Tuhan tak melulu menjanjikan kesedihan hinggap selamanya. Karena sejatinya, setelah badai panjang pasti ada secercah sinar yang kembali menghangatkan.

•••


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C8
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login