Download App
14.4% PERNIKAHAN TANPA RENCANA / Chapter 18: 18. Rencana Ayah

Chapter 18: 18. Rencana Ayah

Tak ada satu pun tugas Kabul yang selesai dengan hasil memuaskan. Malah sebaliknya, kini Mas Sardi menjadi bahan gosip baru. Berkat mulut Ibu Darwati yang tidak terima pinangan terhadap anaknya di batalkan. Padahal kesalahan sebenarnya ada pada anaknya sendiri. Mungkin karena Ia terlanjur malu setelah begitu berharap dan tidak tersampaikan sehingga Ia terlalu kecewa. maka dengam kekecewaan itu Ia menyebar gosip-gosip murahan untuk memutar balikkan fakta.

Orang-orang desa menjadi berpikir bahwa Mas Sardi ini memang doyan perempuam. Padahal semua itu hanya lah prasangka mereka dari masa lalu Mas Sardi yang tidak sempat Ia bersihkan. Sehingga pada saat gosip itu muncul, presepsi mereka.

Malah sebaliknya, Mas Sardi adalah orang yang tidak tahu cara memperlakukan wanita. Memang hanyalah orang terdekatnya sajalah yang paling tahu. Kabul misalnya.

Setelah menceritakan kejadian yang ia alami seharian ini dengan menggebu-gebu. Kabul pun menenggak air dalam kendi dengan rakusnya. Ia memang begitu kesal tapi yang membuatnya semakin kesal adalah bahwa Ia tahu temannya ini mungkin lebih kesal dari dia tetapi masih pura-pura baik-baik saja.

Namun Mas Sardi hanya bergeming. Ia mencerna informasi yang baru saja Ia terima. Beginilah Mas Sardi, ketika penuh kekecewaan Ia hanya diam. Pandangannya kosong dan entah apa yang Ia pikirkan. Tak ada yang mampu membaca pola pikirnya saat ini.

Inilah yang Kabul takutkan. Jika melihat ke belakang, baginya masa lalu Mas Sardi terlalu memilukan. Terkadang Ia bahkan tak mampu membayangkan jika dirinya berada di posisinya saat itu.

Sepanjang Kabul bercerita, Ayah ternyata mendengar dari balik dinding bambu. Karena ayah sedari tadi belum masuk bilik. Ia sedang berada di ruamg tamu, memang selalu tanpa suara . Cara bicara Kabul yang menggebu-gebu terdengar jelas oleh telinganya.

"Lalu bagaimana selanjutnya Di..."

Mas Sardi hanya diam. Ia tidak menemukan jawaban apapun di kepalanya dari pertanyaan Kabul itu.

mereka sama-sama hening. kepulan asap satu-satunya yang bergerak riuh di udara.

"Apa sebaiknya melobi ayahmu Di, tidak usahlah pakai syarat-syarat. Toh yang mau pergi kan kamu seorang."

Mas Sardi menoleh ke arah Kabul.

"Dengan begitu semakin jelas. Kalau saya ini orang gagal di mata beliau." Jawaban Mas Sardi membuat Kabul bungkam. Ia tahu pasti, Mas Sardi ingin berhenti mengecewakan kedua orang tuanya.

Pagi pun menjelang. kabar memilukan dari Kabul membuat Mas Sardi aras-arasen beraktifitas. Namun. Ia tak mau ke ladang terlalu siang apalagi melewatkannya. Ia tak mau mendengar ocehan-ocehan orang di jalan saat bertemu dengannya.

Ia berangkat pagi buta. Saat udara dingin masih mendominasi suhu tubuhnya. Ayah paham betul dengan gelagat anaknya yang pertama ini. Simbok sempat menegurnya namun tak di hiraukan. sehingga Ia hanya membawa bekal berupa nasi dan bumbu megono yang di bungkus daun pisang. Ia tak terpikirkan untuk sarapan.Ia tak punya nafsu untuk itu.

sementara ayahnya hanya membiarkan ketidak wajaran yang di lakukan anaknya. Ia membiarkan Mas Sardi merenungi dan memecahkan masalahnya sendiri.

Meski akhirnya tak terjadi apapun. Kecuali Mas Sardi yang dua hari ini menetap di sawah dan menjadi perbincangan orang desa.

Ada yang bilang Mas Sardi Gila. Ada yang bilang gagal kawin. Ada yang bilang Mas Sardi sumber sial. mulut mereka menjadi menggila dan membuat sang Ayah mau tidak mau bertindak.

Saat di ladang Mas Sardi hanya sibuk mencangkul. Ia tak menceritakan sepatah kata pun pada ayah tentang masalah yang di hadapi saat ini.

Kecuali sampai ayahnya bertanya bagaimana dengan calon pengantinnya. Namun Mas Sardi hanya mengatakan belum menemukan. Lalu tidak ada pembahasan lagi.

Sepulang dari ladang ayah pun mandi. Lalu Ia memakai batik dan celana. Tidak seperti biasanya. Ia bahkan menyuruh istrinya untuk berias. Tanpa mengatakan mereka akan kemana.

Setelah mereka berdua siap. Ayah pun membimbing perjalanan. Nampaknya memang ke arah kampung utara.

Namun tidak bisa di pastikan akan ke mana dengan kostum yang rapi begini.

Sampailah mereka berdua di sebuah gubug kecil milik seseorang yang mereka kenal. Bahkan akrab sekali. Ia lah rumah Pak Darman, ayah Mba Ranti. Pak Darman dan istrinya kala itu sedang menjemur gabah di teras rumahnya pun bergegas menyambut kedatangan majikannya itu.

Lalu pak darman dan istri mempersilahkan masuk dan duduk di kursi yang masih terbuat dari bambu.

"Buk, buatkan teh buk." Istrinya segera menuju belakang.

"Ada apa pak mandor, sore-sore begini sowan" Ucap darman sopan.

Tidak lama kemudian istri Pak Darman pun keluar dengan dua gelas minuman.

"Begini man kamu ini kan sudah lama sekali ikut saya. Apakah kamu kerasan? " tanya ayah basa-basi.

"Ya kerasan pak...malah kami terima kasih sebanyak-banyaknya memberikan rejeki bapak kepada keluarga kami." Ucap Pak Darman dengan mata berair.

"Ya Kami ikhlas Man, kita ini sudah seperti saudara. Saya selalu menganggap keluargamu itu bagian dari tanggung jawab saya sebagai orang yang ngangkat kamu." Ucap ayah.

Nampak istri darman meneteskan air mata haru.

"Karena sudah lama menjadi abdi saya. Tentu kamu tahu kalau gosip-gosip itu tidak benar."

"Tentu saja pak, lalu bagaimana keadaan mas Mas Sardi... saya malah menghawatirkan beliau. Kasihan, harus menerima fitnah lagi."

"Ya, berkaitan dengan itu man.Saya ke sini untuk meredakan fitnah tersebut. Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah menikahkannya dengan seorang wanita. Dengan begitu maksud kedatangan kami ke sini adalah kami ingin meminang anakmu Ranti untuk menjadi istri anak pertamaku Sardi. Bagaimana menurutmu."

Mendengar permintaan majikannya itu tentu saja Pak Darman sangat terkejut. Sebagai seorang abdi akan menjadi besan dari majikannya yang merupakan orang terpandang. Ia merasa tidak

Wajahnya menjadi sayu. Ia lalu memandang ke arah istrinya. Snag istri pun mengangguk untuk meyakinkan suaminya yaitu Pak Darman.

Lalu Pak Darman pun nampak mengiyakan pinangan dari ayah.

Akhirnya kini dinyatakan Mba Ranti sudah menjadi pinangan Mas Sardi yang kelak beberapa hari ke depan akan diadakan pernikahan sederhana di rumah Mas Sardi.

Mendengar dirinya di pinang oleh Mas Sardi membuat hatinya berdesir. Ia tak tahu harus bahagia atau harus sedih. Kenyataan bahwa Ia tidak hidup untuk memilih memang begitu pahit.

Ia sudah mengatakan kepada Mas Sardi bahwa Ia menyukai Mas Kardi. Namun kenapa dengan percaya dirinya malah Ayahnya hendak menjodohkan Mas Sardi dengannya?.

Sampai di sini Mba Ranti tidak mengerti. Kenapa bisa terjadi hal seperti ini. Ia tidak bisa hidup dengan Mas Sardi sementara hatinya untuk Wiro. Apalagi kalau kelak mereka hidup se atap. Apa yang akan terjadi nanti?.

Mba Ranti bergegas ke ladang. Ia tahu, Mas Sardi masih belum pulang. Ia pergi ke ladang tanpa mempersiapkan apapun. Ia hanya membawa selendang yang Ia gantungkan di pundaknya dan berjalan tergesa agar cepat sampai. Sementara senja mulai di ufuk barat. Mungkin beberapa saat lagi mulai petang.

Sampai lah Mba Ranti di ladang. Ia melihat dari kejauhan Mas Sardi sedang menyesap rokonya dan menatap kosong ke arah senja. Dalam hati Mba Ranti merasa kasihan. Namun Mba Ranti tak ingin goyah akan niatnya mengklarifikasi maksud pinangan Mas Sardi kepadanya.

Mendengar sebuah langkah kaki sontak Mas Sardi menoleh. Ia tak menyangka Mba Ranti menghampirinya padahal hari mulai gelap.

Mas Sardi pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Mba Ranti yang jalan tergesa-gesa.

"Ran ada apa?" Mas Sardi berusaha tersenyum meskipun Ia sedang malas.

Sementara Mba Ranti masih terus berjalan dengan wajah serius sampai dia berada di titik terdekat untuk menampar Mas Sardi

PLAKKK

Mas Sardi terkejut dengan perlakuan Mba Ranti. Ia memegang pipinya yang terasa sedikit panas. Mba Ranti yang baru saja melakukan eksekusi kekesalannya langsung menangis dan terduduk.

"Kok kejam sekali kamu mas. Saya tahu keluarga saya itu abdi. Kami tidak berhak memilih.. tapi kok kejam sekali kamu sama saya.." Mba Ranti meracaukan hal yang sama sekali tak Mas Sardi mengerti.

Mas Sardi pun duduk di hadapannya lalu memegang kedua tangan Mba Ranti.

"Maksud kamu apa Ran ngomong begitu. Aku endak paham. Seharian aku di sini." Jawab Mas Sardi sejujurnya.

"Ndak usah pura-pura mas. Mas Sardi tahu aku ini punya hati sama mas Kardi. Bagaimana mungkin Mas Sardi meminang saya setelah tahu hal itu. Mas sengaja mau menyiksa perasaan saya?" Racau Mba Ranti sambil bercucur air mata.

Mas Sardi berusaha mencerna kalimat Mba Ranti. Lalu dia mulai mengerti yang di maksud Mba Ranti.

"Kapan ayahku ke rumahmu Ran.."

"Tadi mas. Aku enggak bisa kalau harus hidup seperi ini. Tapi aku enggak punya kesempatan menolak."

Mas Sardi berpikir sejenak. Ternyata ayahnya lagi-lagi yang menjadi penolongnya. Ia tahu tidak akan mudah dengan Mba Ranti. Tapi ini artinya ayahnya sedang membukakan kesempatan untuknya.

"Sudah jangan nangis Ran." Mas Sardi menyeka air mata Mba Ranti dengan selendang milik Mba Ranti.

Mas Sardi pun bergegas mencuci tangannya juga wajahnya. Ia membersihkan tanah yang menempel ditubuhnya. Lalu Ia pun kembali menghadapi Mba Ranti.

"Ran.. ayo menikah denganku."

Mendengar ajakan menikah dari mulut Mas Sardi sendiri membuat Mba Ranti terkejut bukan main. Hatinya tiba-tiba bergemuruh. Ia menatap lekat Mas Sardi yang nampak penuh keseriusan.Ia bahkan telah melupakan beberapa saat yang lalu Ia menangis pilu meratapi nasibnya.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C18
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login