"Di, kamu ngapain bawa cangkul." Pagi itu Mas Sardi di kejutkan suara Ayah. Seketika membuatnya menoleh dan meletakkan kembali cangkul yang hendak Ia panggul.
Aku, Mas Kardi san Mas Mardi pun nampak menoleh kepada mereka berdua.
"Loh yah. Kan memang biasa aku bawa cangkul. Memang harus bawa apa? Sabit? Kan itu ayah udah bawa." Jawab Mas Sardi kapadanya.
"Hla ya ngapain wong kita ini mau lihat hasil panen." Jawab Ayah.
"Oh Tumben Pak..." Mas Sardi lalu membiarkan cangkulnya setelah mendengar jawaban ayah.
Ternyata hari ini adalah waktunya panen padi. Beberapa hari yang lalu memang Ayah sempat bilang kalau padinya sudah waktunya di panen.
Mereka pun berjalan menuju sawah. Sawah yang hendak mereka panen kali ini berada di pinggiran desa. Tepatnya di wetan atau timur desa. Ada dua kotak. Dengan ukuran persegi yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil.
Sesampainya di sawah, Ayah meletakkan plastik yang berisi ketupat dan lepat. Jumlah masing-masing lima ketupat dan 7 lepat. Ia menaruhnya di pinggiran galeng sawah di atas daun pisang dan ia beri bunga serta sebuah rokok.
Ketupat berarti kekuatan, lepat berarti keselamatan. begitulah filosofi orang jawa yang digunakan turun temurun oleb nenek moyang kami.
Kali ini Mas Sardi hanya membawa tangan kosong. Mungkin yang di butuhkan hanya lah tenaganya. Atau tidak perlu sama sekali karena ayahnya sudah menyewa tukang peret atau tukang panen. Peret adalah alat yang di gunakan untuk menggiling padi secara manual.
Alat tersebut masih membutuhkan kinerja manusia. Terbuat dari kayu yang di dua sisinya terdapat pedal. Sehingga ketika pedal itu di putar maka berputarlah bagian tengah mesin itu. Fungsinya adalah sebagai filter padi antara biji dengan batangnya. Terdiri dari paku-paku yang runcing yang menancap di kayu tersebut. Lalu seorang lagi akan menepuk-nepuk batang padi yang masih menempel biji padinya ke paku-paku tadi dan terus diputar sehingga batang padi menjadi bersih dari bijinya.
Sangat tidak efektif memang. Akan tetapi saat ini mesin inilah yang Indonesia punyai. Berharap suatu saat Indonesia punya mesin yang lebih canggih dan memudahkan segala urusan pertanian.
Selain tukang panen. Biasanya akan berbondong-bondong warga yang hendak mengais tumpahan-tumpahan padi dari mesin penggiling padi manual. Atau biasa disebut tukang ngasyig. Tukang ngasyig ini akan memunguti padi yang kemungkinan berceceran di kanan kiri mesin.
Ayah pun kemudian memimpin doa. Diikuti oleh para petani yang ayah pilih untuk menjadi pengeksekusi panen kali ini. Setelah doa selesai mereka pun sigap dengan posisi masing-masing. Dengan peralatan yang mereka bawa mereka sigap memotong padi yang sudah merunduk itu. Mereka jadikan satu ikat gulungan besar lalu mereka panggul ke tempat penggiling.
Mas Sardi hanya santai menyaksikan dari pinggir sawah. Ini bukan tugasnya dan bukan wewenangnya, pikirnya. Di bawah pohon kluwih, Kebetulan hari ini sedang tidak berbuah jadi Ia tidak perlu khawatir akan buahnya jatuh mengenai kepalanya. Ayah nampak berjalan-jalan di pinggiran galeng dan bercengkerama dengan para petani.
Mas Sardi pun mengeluarkan sebatang rokok yang hendak Ia sesap. Untuk menemaninya menjadi asisten mandor dadakan. Namun Ia di kagetkan oleh suara wanita yang semalam menjadi topik perbincangannya dengan Kabul. Yang masih ada dalam pikirannya hingga kini.
Ia mendengar langkah kaki dari belakang. Di sana nampak Mba Ranti membawa sebuah bakul dipunggungnya dan juga menenteng tempat air minum beserta isinya yaitu es teh manis di sebelah tangan kanannya dan menjinjing sebuah termos.
Mas sardi yang melihatnya kesusahan pun langsung membantunya. Padahal tidak di bantu pun Mba Ranti mampu mengatasinya.
Mas Sardi berdiri, mengambil bakul di punggung Mba Ranti. Ternyata cukup berat juga. Bagaimana wanita ini bisa membawa semua nini dengan tubuh yang sekecil ini, pikir Mas Sardi.
Mas Sardi meletakkan bakul itu di bawah yang sudah terpasang alas dari karung goni yang di jahit seadanya. Mba Ranti pun duduk di sampingnya. Lalu Ia mulai mengeluarkan isi dalam bakulnya.
Pertama-tama Ia melihat daun pisang sebagai tutup. Di buka lah daun pisang itu. Lalu tampak di dalam isinya. Mas Sardi melihat ada setengah lusin gelas, gorengan tahu, wajik dan ketan serta dua toples kecil gula dan kopi.
Mas Sardi yang masih setia di sampingnya pun mulai menyulut rokoknya.
Lalu Ia bertanya pada Mba Ranti.
"Kok tidak ada rokok Ran"
"Ada mas... ini"
Nampak Mba Ranti mengeluarkan dua bungkus rokok beserta korek apinya dari plastik hitam.
Setelah Ia susun semuanya. Ia pun menawari Mas Sardi sebuah kopi.
"Mau kopi mas?"
Mas Sardu pun menghembuskan kepulan asap rokoknya lalu mengangguk.
"Jangan manis-manis ya Ran. Kamu saja sudah manis."
Sontak Mba Ranti salah tingkah mendengar gombalan Mas Sardi. Membuat Mas Sardi menyunggingkan senyumannya. Benar kata Kardi, gadis ini memang benar-benar lugu. Batin Mas Sardi.
Mba Ranti tidak menimpali gombalan dari Mas Sardi. Ia hanya terus menuang air panas ke kopi Mas Sardi. Asap mengepul dari cairan hitam itu. Lalu bunyi dari peraduan sendok dan kaca pun mendominasi.
"Mas Kardi kok nggak ikut mas.?"
Mendengar pertanyaan Ranti membuat Mas Sardi menoleh padanya. Sekejap mereka pun beradu pandang. Lalu Mba Ranti langsung memalingkan muka berpura-pura merapikan hidangan di depannya. Mas Sardi masih menatapnya.
"Ada aku kok nanyanya Kardi yang nggak ada Ran."
Sontak Mba Ranti melirik ke arah Mas Sardi yang masih menatapnya dan langsung memasang wajah bersalahnya.
"Ndak begitu mas.. anu... ya mungkin saja gitu mas Sardi sama Mas Kardi datang bareng."
Jawaban mba Ranti semakin membuat hati Mas Sardi terasa sedikit tersaingi oleh adiknya sendiri.
Mas Sardi tersenyum kecil.
"Nggak papa Ran. Jangan merasa bersalah gitu. Kardi enggak suka ke ladang atau sawah Ran. Dia bantu-bantu ibu di rumah. Ya kaalau enggak di paksa ke ladang enggak bakal mau. Bukan bakat dia di sini."
Mba Ranti hanya mengangguk mengerti.
"Kamu sendiri suka ke sawah Ran?" Tak ingin kehilangan topik pembicaraan Mas sardi memulai lagi pertanyaan kepada mba Ranti.
"Suka mas. Adem rasanya. Plong. Di rumah terus itu sumpek." Jawabnya.
"Iya benar kamu. Aku juga sama merasa seperti itu. Kamu di sini sampai selesai to Ran?" tanya Mas Sardi lagi.
"Enggak mas. Nanti. Nunggu Bapak istirahat baru pulang. Kan harus bikin kopi untuk mereka juga."
Mas Sardi mengangguk saja. Ternyata di antara petani-petani itu ada Pak Darman juga.
Sinar matahari mulai meninggi. Rokok yang sedari tadi Mas Sardi sesap juga sudah sampai pangkal. Ia membuangnya sembarang setelah mematikan baranya. Ia pun berdiri dan meregangkan badannya.
"Ayo. Kamu mau ikut? Kita jalan-jalan ke tengah sawah." Tanya Mas Sardi. Dan disambut senyuman oleh Mba Ranti.
"Tapi ini gimana mas?"
"Enggak apa-apa. Tinggal saja."
Mereka pun berjalan turun ke galeng menuju tengah-tengah. Disana terdapat ayahku, pak Darman dan kuli-kulinnya. Sesekali Mas Sardi menoleh ke belakang, menatap wajah serius Mba Ranti berjalan di atas galeng sempit.
Sesampainya di tengah Mas Sardi menyapa ayah. Ia juga melihat Mba Ranti di belakang Mas Sardi dengan tatapan aneh. Kemudian Pak Darman melihat ke arah putrinya. Menanyakan ada keperluan apa.
"Ada apa ndok. Kamu kok jalan sampai ke sini." Tanya Darman.
"Ndak apa pak. Cuman mau lihat." Jawab Mba Ranti.
"Owalah calon e to?" Timpal salah satu petani.
Sontak wajah Mba Ranti merah dan Mas Sardi pun salah tingkah. Sementara ayah dan pak Darman memberikan tatapan yang tak bisa di mengerti.
"Calon mandor maksud e"
Lalu semua pun ikut tertawa. Begitu pun Mas sardi, Mba Ranti,Ayah dan Pak Darman.