"Bu Lula, bertanya seolah saya adalah pelakunya, dan tatapan dari, Bu Lula, itu sangat jelas kalau, Ibu, membenci saya!" cantas Mesya.
"Wah, kamu itu berani ya, melawan kepala sekolah sendiri! Bicara dengan nada tinggi kepada orang yang lebih tua! Sangat tidak sopan!" ketus Lula kepada Mesya.
Masih berada di dalam ruang kepala sekolah, Lula menginterogasi Mesya seakan-akan Mesya itu adalah pelakunya, padahal Lula sendiri sudah tahu kalau tidak mungkin Mesya yang masih gadis belia dan baru duduk di kelas 1 SMP itu melakukan pembunuhan sekeji itu.
Tapi karna saking rasa bencinya kepada Mesya, dia mencari-cari alasan untuk menyudutkan Mesya.
"Mesya, saya sangat salut dengan keluarga mu yang terkenal sangat terhormat dan dermawan itu, tapi kalau denganmu, entah mengapa sama sekali aku tidak pernah merasa suka," ucap Lula.
Mesya tampak keheranan mendengarnya.
Bagaimana bisa wanita itu berbicara seperti ini terhadapnya. Padahal Mesya sama sekali tak pernah berbuat salah kepadanya, lalu bagaimana wanita ini sangat membencinya.
Mungkin semua berawal dari ucapan Juwita yang mengada-ngada, dan menuduhnya berbuat tidak-tidak.
Gadis itu memang sangatlah berbakat, ketika bersandiwara, bahkan sampai membuat kepala sekolahnya percaya dan membencinya tanpa alasan jelas.
"Apa, Bu Lula, membenci saya karna ucapan Juwita waktu itu?" tanya Mesya,
Lula mengerutkan keningnya.
"Kenapa kamu masih menyalahkan orang yang sudah meninggal?" tanya balik Lula kepada Mesya.
Dan Mesya pun terdiam, rasanya tak ada guna bagi dirinya untuk menjelaskan semuanya, karna terasa percuma. Lula tidak akan percaya kepadanya.
Dia sudah terlanjur termakan oleh sandiwara Juwita.
"Dan aku juga sudah tahu asal-usulmu, Mesya, oleh karna itu aku jadi tahu apa yang membuat sikapmu sangat berbeda dari keluarga Davies lainya." Ucap Lula.
Mesya masih terdiam, dan rasanya dia ingin pergi saat ini juga tapi dia tidak mau kalau di bilang tidak sopan lagi oleh Lula.
"Kamu itu ternyata hanya anak angkat ya?" tanya Lula.
Mesya langsung melebarkan pupil matanya dan terlihat sangat kesal kepada Lula.
Memang benar dia hanya seorang anak angkat tapi bukan berarti Lula harus ingin tahu sampai sejauh ini.
Ini adalah urusan dirinya dan keluarga Davies, bukan urusan Lula yang hanya seorang kepala sekolah saja. Dan kalau pun Mesya hanya seorang anak angkat itu juga tak menjamin jika Mesya tidak memiliki kelakuan yang baik.
"Bu Lula, saya hanya anak angkat ataupun anak kandung dari keluarga Davies, itu bukan urusan, Ibu!" tegas Mesya.
"Iya, saya tahu ini bukan urusan saya, tapi saya hanya ingin kamu merubah sikap buruk kamu itu. Karna kasihan keluarga angkat kamu akan malu jika tahu sifat asli kamu!"
"Bu Lula, memang kepala sekolah saya, tapi bukan berarti anda harus ikut campur di kehidupan keluarga saya!" tegas Mesya.
Lalu tanpa ragu gadis itu langsung berdiri dan meninggalkan Lula.
"Hai, kamu mau kemana?!" sergah Lula. "Kita ini belum selesai bicara!" imbuhnya.
"Saya rasa tidak ada hal penting lagi yang harus kita bicarakan!" tegas Mesya.
"Hay! Tunggu!" teriak Lula.
Namun Mesya tak menghiraukannya.
Saat berjalan cepat Mesya bertebrakan dengan David, hingga mereka berdua terjatuh.
Duak!
"Maaf, Kak David, Mesya gak sengaja," tukas Mesya.
David pun berdiri lagi lalu dia hendak berjalan meninggalkan Mesya begitu saja, namun nampaknya Mesya masih kesulitan untuk bangun, karna kakinya yang terkilir.
David kembali menengok ke belakang dan menghampiri adik angkatnya itu.
Dan tanpa berbasa-basi, David mengulurkan tangannya ke arah Mesya.
Mesya tampak keheranan, kenapa David tiba-tiba melakukan ini, tak biasanya pria dingin itu peduli kepadanya.
"Ayo, bangun! Tunggu apa lagi?" tukas David.
Dan Mesya segera meraih tangan David, lalu berdiri.
"Terima kasih, Kak," ucap Mesya.
"Apa ada yang terluka?" tanya David lagi.
"Eng-gak?" jawab Mesya terbata-bata.
Padahal Mesya merasakan ada yang sakit di bagian angkel kakinya.
"Jangan berbohong!" ketus David.
Dan Mesya pun terdiam tak bergeming, sepertinya dia ketahuan sedang berbohong.
"Ayo duduk di sana!" perintah David seraya menunjuk ke arah kursi.
Mesya pun menuruti perintah David.
Dia duduk di atas kursi, lalu David berlutut di hadapan Mesya.
"Kak David, mau apa?" tanya Mesya.
Namun David tidak menjawabnya, dan dia mulai melepas sepatu milik Mesya.
Mesya hanya terdiam sambil memandangi David yang sedang sibuk mencopot sepatu hingga kaus kakinya.
Rasanya Mesya ingin sekali bertanya kepada David, tentang apa yang akan di lakukan sang kaka itu.
Tapi dia takut justru David akan marah kepadanya.
Setelah berhasil mencopoti sepatu dan kaos kaki milik Mesya, David memijat kaki Mesya yang terkilir.
Mesya masih terdiam dan dia memandangi wajah David yang begitu terlihat fokus memijat kakinya.
Kadar ketampanan David seolah naik drastis.
'Ya Tuhan, apa benar ini adalah, Kakak, Mesya? Wajahnya begitu tampan. Dan kenapa jantung, Mesya menjadi berdebar-debar?' bicara Mesya di dalam hati.
Dan setelah memijat kaki Mesya, David menariknya dengan kuat hingga terdengar bunyi gemertak tulang kakinya.
Seketika Mesya berteriak kencang karna reflek.
"Ah! Sakit! Kak David!"
Lalu David melepaskan tangannya dari kaki Mesya.
"Apa masih terasa sakit?" tanya David.
Dan Mesya mencoba berdiri, lalu dia merasakan bahwa kakinya sudah tidak lagi terasa sakit.
"Wah, Kak David, hebat! Udah gak sakit lagi!" ucap Mesya yang kegirangan.
"Bagus, kalau begitu, aku akan pergi sekarang!" ujar David.
Lalu David mulai berdiri lagi dan hendak pergi.
"Tunggu, Kak!" sergah Mesya.
Lalu David menoleh kearahnya.
"Ada apa lagi?" tanya David.
"Bisa mengobrol sebentar?" tanya Mesya.
David terdiam, lalu dia duduk di atas kursi.
"Ayo, cepat katakan, waktumu hanya 5 menit!" ketus David.
"Ah, Kak David, ini masih belum berubah! Selalu membatasi setiap aku ingin mengobrol dengan Kaka," protes Mesya.
"Baik kalau tidak mau biar aku pergi sekarang juga!" ketus David.
"Ah, jangan!" sergah Mesya. "Baik Mesya mau kok, walaupun bicara hanya 5 menit saja!" ujar Mesya seraya tersenyum manis.
Senyuman itu membuat hati David menjadi tenang, tak terasa David pun turut tersenyum.
"Kak David, tersenyum?" tanya Mesya.
Dan David segera menghentikan senyuman itu.
"Tinggal 4 menit lagi!" ujar David.
"Ah, baiklah kalau begitu? Aku mau bertanya, kenapa, Kak David tadi menolongku?" tanya Mesya.
"Tentu saja karna, ibu!" ketus David.
"Kenapa karna ibu?"
"Karna ibu bilang aku harus menjaga adik perempuan ku!" jelas David.
"Yah, Mesya kira karna Kak David, benar-benar khawatir dengan Mesya!" Wajah gadis itu tampak sangat kecewa mendengar alasan dari David.
"Tapi tidak apa-apalah, Mesya, tetap harus berterima kasih dengan, Kak David," ucap Mesya lagi.
"Lalu, apa yang kamu lakukan di ruang kepala sekolah itu?" tanya David.
Mesya pun kembali terdiam, dia tampak bingung untuk menjawabnya, dia takut kalau David tahu dirinya yang sedang memiliki masalah dengan Lula di ketahui oleh David, dan hal itu bisa membahayakan keselamatan Lula.
To be continued
Suasana canggung dan ketakutan terlihat jelas dari wajah Andrea Mesya.
Mereka berdua masih duduk di bangku yang terletak di koridor sekolah.
"Apa benar itu semua adalah alasanmu?" tanya David memastikan penjelasan Mesya.
"Ya, tentu saja, Kak, untuk apa Mesya berbohong dengan, Kak David," jawab Mesya.
"Baik, kalau begitu waktumu sudah habis, aku pergi!" ucap David.
"Tunggu!" sergah Mesya.
"Mau apa lagi?"
"Masih 30 detik lagi, Kak David," tukas Mesya sambil tersenyum.
"Bukannya sudah tidak ada yang mau di tanyakan lagi?"
"Ah, iya sih, tapi apa salahnya kalau kita lebih akrab lagi, kita ini, 'kan saudara?" rayu Mesya.
"Kalau begitu katakan dengan jujur, apa yang kamu lakukan di ruang kepala sekolah itu?" cecar David.
'Ah, tidak! Harusnya tadi aku biarkan saja, Kak David, pergi,' batin Mesya.
"Kenapa malah diam?"
"Ah tidak, Kak, bukanya tadi Mesya, sudah bilang, kalau ada urusan penting. Yah ... Mesya, kan termasuk murid cerdas di sekolah ini, tentu saja, beliau ingin mengenal Mesya lebih dekat," ucap Mesya beralibi.
"Baik kalau begitu aku pergi!" ketus David.
Dan kali ini Mesya tidak berusaha menghentikan David, karna dia tidak mau David akan bertanya-tanya lagi tentang Lula kepadanya.
Mesya masih menatap langkah kaki David dari belakang, David terlihat sangat gagah dan keren.
Mesya benar-benar bangga bisa menjadi adik angkat dari David, meskipun pada kenyataannya David tidak peduli dengannya.
Sebenarnya peduli sih, hanya saja Mesya tidak mengetahui, karna David sengaja menutup-nutupi rasa pedulinya.
Setiap dia melihat Mesya, David langsung teringat dengan mendiang adiknya yang bernama Lizzy.
Lizzy si gadis kecil cantik dan periang yang terpaksa meninggal karna di jadikan tumbal oleh sang paman yang bernama Wijaya Diningrat.
Sosok pria yang menjadi musuh bebuyutan bagi keluarganya.
David selalu berusaha menjauh dari Mesya, karna dia tidak mau melihat Mesya akan bernasib sama dengan Lizzy.
Apalagi keluarganya sengaja mengangkat Mesya memang untuk menghancurkan keluarga Wijaya.
Dengan menjodohkan Mesya dengan Satria anak dari Wijaya ketika dewasa nanti.
Kalau Mesya berhasil tentu David dan yang lain akan bahagia. Namun jika Mesya gagal dan justru akan berada dalam bahaya serta mengancam nyawanya, maka tentu hal itu akan membuat David kembali hancur.
Dia tidak mau kehilangan adik perempuan lagi seperti dulu.
Lizzy dulu sangat dekat dengan David, kemana pun mereka selalu bersama.
Bahkan boleh di bilang, Lizzy sangat bergantung kepada David, sangat manja, dan apa pun keinginan dari adik perempuannya itu selalu di turuti oleh David.
Saat pertama kali David bertemu dengan Mesya, di saat itu, bayangan Lizzy kembali hadir, sosok gadis cantik dengan senyuman yang manis di hadapannya, membuat hatinya tak karuan dan rasa takut akan kehilangan itu kembali muncul.
Di saat itulah David berusaha sekuat tenaga membuat Mesya agar tidak betah tinggal dengan keluarganya.
Dia selalu berbicara ketus agar Mesya sakit hati dengan begitu Mesya akan kembali ke Panti Asuhan lagi.
David berharap agar Mesya mendapatkan orang tua angkat yang baik serta membuatnya bisa hidup normal seperti gadis lainnya.
Namun semua tidak mudah, Mesya masih bertahan berada dalam keluarga Davies, karna Mesya terus di manja oleh anggota keluarga yang lainnya.
Dan kedua orang tuanya tak segan menghajar David kala itu ketika dia berani menyakiti Mesya.
"David!"
Terdengar seseorang memanggilnya.
Lalu David menoleh sesaat, dan ketika dia melihat yang memanggil adalah Salsa, David pun langsung memalingkan wajahnya kembali.
"David, apa tugas matematika yang kemarin sudah selesai?" tanya Salsa.
"Jangan menggangguku!" sergah David.
"David, aku ini tidak mengganggumu, aku bertanya apa tugas mu sudah selesai?"
"Belum!"
"Wah, kalau begitu kebetulan, tugasku sudah selesai, apa kamu mau melihat punyaku?"
"Tidak!"
"Kenapa?"
David tak menjawabnya.
"Kamu tahu, 'kan, aku selalu unggul di pelajaran ini, dan sekarang dengan cuma-cuma aku memberimu contekkan lo!" ucap Salsa dengan penuh percaya diri.
Lalu David menghentikan langkahnya dan menatap wajah Salsa dengan tajam.
"Kamu pikir otakku ini sudah tidak berfungsi ya?" sindir David dengan tegas.
"Emm ... bu-bukan, begitu maksudku, Dav. Tapi ...."
"Simpan bukumu dan cepat pergi!" sergah David.
"Tapi—"
"Baik aku yang akan pergi!"
Lalu pria itu meninggalkan Salsa begitu saja.
Dan lagi-lagi, Salsa diabaikan. Tampak raut kecewa di wajah gadis berparas cantik itu.
"Hah, lagi-lagi kamu di abaikan ya?" tukas Marry yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Astaga! Marry! Sejak kapan kamu berdiri di belakang ku?!" ucap Salsa yang kaget. "Kamu itu bikin orang jadi kaget aja deh!"
"Haha! Makanya udah berhenti aja, Salsa! Jangan mengejar pria dingin itu! Kamu itu cantik, terkenal, dan seorang model pula! Masih banyak pria yang mengantari untuk mendapatkanmu!" tutur Marry.
"Hah! Lagi-lagi kamu bicara begitu! Sudah ku bilang, 'kan, kalau aku hanya menyukai David saja!"
"Hah! Dasar Gadis Bodoh!" cerca Marry lalu dia pergi meninggalkan Salsa.
"Hay! Marry! Tunggu!" teriak Salsa.
"Malas berbicara dengan gadis bodoh sepertimu!" gumam Marry.
***
Suasana sekolah itu sudah tampak sepi, seluruh siswa dan para staf pengajar juga sudah pulang ke rumah masing-masing.
Namun Lula masih berada di tempat itu.
Lula masih mengerjakan beberapa tugasnya yang belum selesai.
Hanya tinggal sendiri saja, Lula tampak mengotak-atik kursor di layar monitor, sesaat dia mengetik di keyboard komputernya.
"Ah, tinggal sedikit lagi, setelah ini aku akan pulang," ucap wanita itu.
Namun dari balik kaca yang tepat berada di hadapannya, Lula merasa seperti ada sekelebat bayangan.
Sesaat wanita itu melihat ke arah jendela.
"Ah, pasti aku hanya salah lihat, namanya juga perut sedang lapar," ucap Lula.
Lalu dia kembali fokus ke arah komputernya.
Gludak!
Terdengar benda jatuh dari arah ruang perpustakaan.
Lula menghentikan jemarinya yang sedang mengetik, kemudian dia berdiri dan berjalan hendak melihat benda apa yang sudah terjatuh itu.
Lula berjalan mengitari ruang perpustakaan dan dia mendapati sebuah kardus berisi buku-buku sudah terjatuh berserakan di lantai.
"Astaga, kenapa bisa jatuh begini sih?" ucap Lula.
Lula merapikan buku-buku itu dan memasukkan kembali ke dalam kardus.
"Dasar Penjaga Perpustakaan, tidak tanggung jawab! Harusnya dia menaruh barang dengan benar! Agar tidak terjatuh begini!" oceh Lula.
Lalu tiba-tiba di saat dia tengah sibuk merapikan buku-buku itu ada yang menutup wajahnya dengan sebuah plastik hitam.
"Emm! Tolong ... Emmm ...." Teriak Lula yang tampak kesulitan mengeluarkan suara karna kepalanya masih berada di dalam kantung keresek itu.
Tubuhnya serasa ada yang menyeret dengan kasar, Lula sangat kesakitan dan meronta-ronta.
Sekujur tubuhnya terasa sakit dan perih terutama di bagian kaki karna luka goresan lantai dan benda-benda yang dia lewati.
Lula hanya bisa pasrah, tenaga seseorang yang membungkus kepala dan menarik tubuhnya ini sangatlah kuat, Lula benar-benar tak sanggup untuk melawannya.
To be continued
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT