Download App
7.07% Anak Angkat / Chapter 23: Saling Merahasiakan

Chapter 23: Saling Merahasiakan

Juwita meninggal dalam keadaan tidak wajar, dan hanya tinggal kepala serta tulang belulang.

Kematian yang  begitu tragis, dan membuat seluruh teman-teman dari Juwita sangat ketakutan, mereka juga sangat menyayangkan gadis belia yang baru saja duduk di kelas tujuh itu berakhir seperti ini.

 

 

 

Di dalam area kantin yang teramat ramai itu, Mesya dan juga Romi tengah duduk bersama, mereka memesan dua mangkuk bakso.

Romi juga tampak lahap memakannya, karna sejak pagi dia belum sempat sarapan, sedangkan Mesya masih mengolak-alik isi di dalam mangkoknya. Tak sedikit pun makanan itu masukkan ke dalam mulutnya.

"Mesya, kenapa kamu gak makan?" tanya Romi.

"Aku tidak nafsu makan, Rom," jawab Mesya.

"Ayolah, Mesya, di makan nanti kamu sakit loh," pinta Romi.

"Ah, aku benar-benar tidak bisa menelannya, Rom,"

"Tapi, Sya, nanti kalau gak makan kamu bisa sakit lo,"

"Biarin, aku sakit, kalau perlu biar mati sekalian,"

"Gak boleh, begitu dong, Sya! Kamu masih memikirkan Juwita ya?"

Dan Mesya pun mengangguk.

"Udah jangan di pikirkan, yang terpenting, kita sudah memaafkan kesalahannya, dan mendoakan dia agar tenang di sana," tutur Romi.

"Hufftt ... iya, Rom. Kamu benar,"

"Nah, begitu dong, Sya. Kalau begitu ayo di makan,"

"Iya," Mesya masih tampak bermalas-malasan, namun dia mencoba menuruti ucapan Romi.

Baru saja dia hendak memasukkan ujung sendok itu ke dalam mulutnya, namun dari kejauhan Arthur memanggilnya.

 

"Hay, Adik Cantik!" teriak Arthur.

Mesya pun menaruh kembali sendoknya.

"Kak, Arthur? Ada apa?" tanya Mesya.

"Maaf aku baru memberitahumu, karna aku tadi sedang ada ulangan di kelas jadi terburu-buru masuk ke kelas." Ujar Arthur.

"Memangnya, Kak Arthur, ada perlu apa denganku?"

"Ah, ini  Mesya. Aku mau memberikan bekal dari ibu untukmu," ucap Arthur.

"Bekal? Tapi tadi ibu seperti nya sedang sibuk, lalu bagaimana bisa dia membuatkanku bekal?"

"Ah, tadi ibu sedang sibuk membuatkan bekal untuk mu, tapi kamu malah sudah berangkat sekolah duluan  dengan si Kaca Mata Tebal ini," ujar Arthur seraya melirik ke arah Romi.

"Namanya, Romi, Kak, bukan si Kaca Mata Tebal!" Protes Mesya.

"Ah, oya, maaf, kalau begitu terima ini ya," Arthur menyodorkan kotak makannan itu kepada Mesya.

"Jangan lupa di makan. Ingat ... ibu tidak suka kalau kamu jajan sembarangan," bisik Arthur, lalu dia pun pergi meninggalkan Mesya dan Romi.

 

 

Setelah Arthur pergi menjauh Mesya mulai membuka kotak bekal itu.

"Hah! Lagi-lagi makanan seperti ini!" keluh Mesya seraya membanting kotak bekal itu ke atas meja.

"Memangnya apa?" tanya Romi.

"Apa lagi!" ketus Mesya.

Romi melihat isi di dalam kotak bekal itu, dan ternyata olahan daging yang sangat menggoda selera.

"Kamu benar-benar gak suka ini?" tanya Romi.

"Tentu saja, kamu, 'kan sudah tahu kalau sejak dulu aku tak suka daging!"

"Iya, tapi kamu bilang sudah mulai menyukai daging karna terbiasa?"

"Iya, aku terbiasa makan daging, karna ibu terus memaksaku! Tapi sekarang, Juwita baru saja meninggal, lalu bagaimana kalau makanan itu terbuat dari dagingnya Juwita?!" 

"Apa?!"

"Ooops," Mesya segera menutup mulutnya, entah mengapa dia bisa keceplosan seperti itu.

Tentu saja ucapan Mesya itu membuat Romi menjadi syok dan penasaran.

"Mesya, ayo jujur kepadaku? Apa maksud dari ucapanmu itu?" tanya Romi.

"Ah, aku salah bicara, Rom!" Mesya menangis.

"Mesya, tolong jangan menangis, katakan pelan-pelan kepadaku, aku tidak mau kedua kakakmu itu mengetahui kamu menangis, karna itu bisa membuatku dalam bahaya!"

"Apa, bahaya?!" Kali ini Mesya yang menjadi kaget, "bahaya apanya, Rom?" tanya Mesya.

 

'Astaga! Bicara apa aku ini?' batin Romi seraya menepuk keningnya.

Mereka berdua sama-sama saling keceplosan, Mesya mengatakan yang seharusnya tidak ia katakan kepada Romi, karna ini adalah rahasia keluarganya yang dia sendiri juga masih meragukan akan kebenarannya.

 

Begitu pula dengan Romi, dia sudah berjanji kepada David, bahwa dia tidak akan mengatakan apa pun kepada Mesya bahwa dia di tugaskan untuk menjaga Mesya.

Kalau sampai Mesya tahu jika dia diancam dan akan di bunuh oleh keluarga Davies, maka itu juga akan semakin membahayakan bagi dirinya dan ibunya.

 

 

"Ah, sudahlah, Romi, aku tadi hanya asal bicara, mungkin aku terbawa suasana, karna Juwita baru saja meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Bayangkan saja tubuhnya hanya tersisa tulang dan kepala, jadi hal itu membuatku sedikit jijik dan tak berselera makan," jelas Mesya.

"Ah, iya, Sya. Aku tahu. Dan ucapanku tadi juga hanya asal-asalan saja. Hehe, sudahlah lupakan," ujar Romi.

 

Mereka saling pura-pura tidak tahu, dan pura-pura abai dengan masalah masing-masing.

Mereka tidak ingin mendapatkan masalah lagi, terutama Romi.

Dia benar-benar takut jika keluarga Davies benar-benar akan menghabisinya dan ibunya.

Padahal dalam hati remaja itu sangat ingin tahu dan penasaran.

Bahkan Romi juga mulai curiga jika kematian Juwita di sebabkan oleh keluarga Davies, keluarga angkat dari Mesya.

Seperti apa yang sudah di ucapkan oleh David waktu itu.

Bahwa mereka akan melindungi Mesya, dari orang-orang yang mengganggunya. Mungkin ini adalah maksud dari ucapan David waktu itu.

 

 

Dan apa yang di ucapkan oleh Mesya baru saja, pasti tidak sepenuhnya benar. Romi menduga jika sahabatnya itu juga sudah mencurigai akan kejahatan orang tuanya, dan dugaan Mesya tentang daging milik Juwita itu benar adanya.

Romi kembali melirik daging yang ada di dalam kotak makannan itu dan seketika perut Romi menjadi sangat mual tak tertahan, masih teringat jelas rasa daging yang sempat dia santap waktu itu, saat David berusaha menghentikannya.

 

'Itu artinya, aku sudah memakan daging—'

Hoek!

Hoek!

Hoek!

 

Romi langsung berlari ke toilet.

"Romi! Kamu kenapa?!" teriak Mesya seraya berlari mengejarnya.

Namun Mesya berhenti di tengah jalan karna dia melihat Romi memasuki toilet pria, yang artinya dia tidak boleh ikut masuk.

Karna hal itu bisa membuat orang-orang menjadi salah paham terhadapnya.

 

 

"Kenapa kamu berdiri di sini?"  tanya Lula yang tiba-tiba sudah ada di belakang Mesya.

"Bu Lula?"

"Saya tanya kamu ngapain di sini? Kenapa kamu malah balik bertanya kepada saya?"

"Ah, maaf, Bu Lula," ucap Mesya.

"Bisa ikut ke ruangan saya, sebentar?"

"Saya?"

"Iya, kamu, Mesya! Siapa lagi?!"

"Ba-baik, Bu,"

 

Mesya dan Lula memasuki ruangan kepala sekolah.

"Ayo silahkan duduk," tukas Lula.

Dan Mesya pun duduk dengan ragu-ragu.

"Ada perlu apa, Bu Lula memanggil, saya kemari?"

"Ah, tidak. Aku hanya ingin mengobrol saja denganmu," ucap Lula dengan santai, tapi dari sorot mata wanita paruh bayah itu menatap Mesya dengan wajah yang sangat benci.

"Apa saya punya kesalahan?" tanya Mesya lagi.

"Apa kamu sudah senang, karna teman sekelas kamu yang selama ini kamu benci sudah tewas?" tanya Lula.

"Kenapa, Bu Lula bertanya seperti itu, kepadaku?"

"Ya, saya hanya bertanya saja, apa itu salah?"

 

 

 

 

To be continued


Chapter 24: Kaki Yang Terkilir

"Bu Lula, bertanya seolah saya adalah pelakunya, dan tatapan dari, Bu Lula, itu sangat jelas kalau, Ibu, membenci saya!" cantas Mesya.

"Wah, kamu itu berani ya, melawan kepala sekolah sendiri! Bicara dengan nada tinggi kepada orang yang lebih tua!  Sangat tidak sopan!" ketus Lula kepada Mesya.

 

Masih berada di dalam ruang kepala sekolah, Lula menginterogasi Mesya seakan-akan Mesya itu adalah pelakunya, padahal Lula sendiri sudah tahu kalau tidak mungkin Mesya yang masih gadis belia dan baru duduk di kelas 1 SMP itu melakukan pembunuhan sekeji itu.

Tapi karna saking rasa bencinya kepada Mesya, dia mencari-cari alasan untuk menyudutkan Mesya.

 

"Mesya, saya sangat salut dengan keluarga mu yang terkenal sangat terhormat dan dermawan itu, tapi kalau denganmu, entah mengapa sama sekali aku tidak pernah merasa suka," ucap Lula.

 

Mesya tampak keheranan mendengarnya.

Bagaimana bisa wanita itu berbicara seperti ini terhadapnya. Padahal Mesya sama sekali tak pernah berbuat salah kepadanya, lalu bagaimana wanita ini sangat membencinya.

 

Mungkin semua berawal dari ucapan Juwita yang mengada-ngada, dan menuduhnya berbuat tidak-tidak.

Gadis itu memang sangatlah berbakat, ketika bersandiwara, bahkan sampai membuat kepala sekolahnya percaya  dan membencinya tanpa alasan jelas.

 

"Apa, Bu Lula, membenci saya karna ucapan Juwita waktu itu?" tanya Mesya,

Lula mengerutkan keningnya.

"Kenapa kamu masih menyalahkan orang yang sudah meninggal?" tanya balik Lula kepada Mesya.

Dan Mesya pun terdiam, rasanya tak ada guna bagi dirinya untuk menjelaskan semuanya, karna terasa percuma. Lula tidak akan percaya kepadanya.

Dia sudah terlanjur termakan oleh sandiwara Juwita.

 

"Dan aku juga sudah tahu asal-usulmu, Mesya, oleh karna itu aku jadi tahu apa yang membuat sikapmu sangat berbeda dari keluarga Davies lainya." Ucap Lula.

Mesya masih terdiam, dan rasanya dia ingin pergi saat ini juga tapi dia tidak mau kalau di bilang tidak sopan lagi oleh Lula.

 

"Kamu itu ternyata hanya anak angkat ya?" tanya Lula.

Mesya langsung melebarkan pupil matanya dan terlihat sangat kesal kepada Lula.

Memang benar dia hanya seorang anak angkat tapi bukan berarti Lula harus ingin tahu sampai sejauh ini.

Ini adalah urusan dirinya dan keluarga Davies, bukan urusan Lula yang hanya seorang kepala sekolah saja. Dan kalau pun Mesya hanya seorang anak angkat itu juga tak menjamin jika Mesya tidak memiliki kelakuan yang baik.

 

"Bu Lula, saya hanya anak angkat ataupun anak kandung dari keluarga Davies, itu bukan urusan, Ibu!" tegas  Mesya.

"Iya, saya tahu ini bukan urusan saya, tapi saya hanya ingin kamu merubah sikap buruk kamu itu. Karna kasihan keluarga angkat kamu akan malu jika tahu sifat asli kamu!"

"Bu Lula, memang kepala sekolah saya, tapi bukan berarti anda harus ikut campur di kehidupan keluarga saya!" tegas Mesya.

Lalu tanpa ragu gadis itu langsung berdiri dan meninggalkan Lula.

"Hai, kamu mau kemana?!" sergah Lula. "Kita ini belum selesai bicara!" imbuhnya.

"Saya rasa tidak ada hal penting lagi yang harus kita bicarakan!" tegas Mesya.

"Hay! Tunggu!" teriak Lula.

Namun Mesya tak menghiraukannya.

Saat berjalan cepat Mesya bertebrakan dengan David, hingga mereka berdua terjatuh.

 

Duak!

"Maaf, Kak David, Mesya gak sengaja," tukas Mesya.

David pun berdiri lagi lalu dia hendak berjalan meninggalkan Mesya begitu saja, namun nampaknya Mesya masih kesulitan untuk bangun, karna kakinya yang terkilir.

 

David kembali menengok ke belakang dan menghampiri adik angkatnya itu.

Dan tanpa berbasa-basi, David mengulurkan tangannya ke arah Mesya.

 

Mesya tampak keheranan, kenapa David tiba-tiba melakukan ini, tak biasanya pria dingin itu peduli kepadanya.

"Ayo, bangun! Tunggu apa lagi?" tukas David.

Dan Mesya segera meraih tangan David, lalu berdiri.

"Terima kasih, Kak," ucap Mesya.

"Apa ada yang terluka?" tanya David lagi.

"Eng-gak?" jawab Mesya terbata-bata.

Padahal Mesya merasakan ada yang sakit di bagian angkel kakinya.

 

"Jangan berbohong!" ketus David.

Dan Mesya pun terdiam tak bergeming, sepertinya dia ketahuan sedang berbohong.

"Ayo duduk di sana!" perintah David seraya menunjuk ke arah kursi.

Mesya pun menuruti perintah David.

Dia duduk di atas kursi, lalu David berlutut di hadapan Mesya.

"Kak  David, mau apa?" tanya Mesya.

Namun David tidak menjawabnya, dan dia mulai melepas sepatu milik Mesya.

 

Mesya hanya terdiam sambil memandangi David yang sedang sibuk mencopot sepatu hingga kaus kakinya.

 

Rasanya Mesya ingin sekali bertanya kepada David, tentang apa yang akan di lakukan sang kaka itu.

Tapi dia takut justru David akan marah kepadanya.

Setelah berhasil mencopoti sepatu dan kaos kaki milik Mesya, David memijat kaki Mesya yang terkilir.

Mesya masih terdiam dan dia memandangi wajah David yang begitu terlihat fokus memijat kakinya.

Kadar ketampanan David seolah naik drastis.

'Ya Tuhan, apa benar ini adalah, Kakak, Mesya? Wajahnya begitu tampan. Dan kenapa jantung, Mesya menjadi berdebar-debar?' bicara Mesya di dalam hati.

 

Dan setelah memijat kaki Mesya, David menariknya dengan kuat hingga terdengar bunyi gemertak tulang kakinya.

Seketika Mesya berteriak kencang karna reflek.

"Ah! Sakit! Kak David!"

Lalu David melepaskan tangannya dari kaki Mesya.

"Apa masih terasa sakit?" tanya David.

Dan Mesya mencoba berdiri, lalu dia merasakan bahwa kakinya sudah tidak lagi terasa sakit.

 

"Wah, Kak David, hebat! Udah gak sakit lagi!" ucap Mesya yang kegirangan.

"Bagus, kalau begitu, aku akan pergi sekarang!" ujar David.

Lalu David mulai berdiri lagi dan hendak pergi.

"Tunggu, Kak!" sergah Mesya.

Lalu David menoleh kearahnya.

"Ada apa lagi?" tanya David.

"Bisa mengobrol sebentar?" tanya Mesya.

David terdiam, lalu dia duduk di atas kursi.

 

"Ayo, cepat katakan, waktumu hanya 5 menit!" ketus David.

"Ah, Kak David, ini masih belum berubah!  Selalu membatasi setiap aku ingin mengobrol dengan Kaka," protes Mesya.

"Baik kalau tidak mau biar aku pergi sekarang juga!" ketus David.

"Ah, jangan!" sergah Mesya. "Baik Mesya mau kok, walaupun bicara hanya 5 menit saja!" ujar Mesya seraya tersenyum manis.

Senyuman itu membuat hati David menjadi tenang, tak terasa David pun  turut tersenyum.

 

"Kak David, tersenyum?" tanya Mesya.

Dan David segera menghentikan senyuman itu.

"Tinggal 4 menit lagi!" ujar David.

"Ah, baiklah kalau begitu? Aku mau bertanya, kenapa, Kak David tadi menolongku?" tanya Mesya.

"Tentu saja karna, ibu!" ketus David.

"Kenapa karna ibu?"

"Karna ibu bilang aku harus menjaga adik perempuan ku!" jelas David.

"Yah, Mesya kira karna Kak David, benar-benar khawatir dengan Mesya!" Wajah gadis itu tampak sangat kecewa mendengar alasan dari David.

"Tapi tidak apa-apalah, Mesya, tetap harus berterima kasih dengan, Kak David," ucap Mesya lagi.

"Lalu, apa yang kamu lakukan di ruang kepala sekolah itu?" tanya David.

 

Mesya pun kembali terdiam, dia tampak bingung untuk menjawabnya, dia takut kalau David tahu dirinya yang sedang memiliki masalah dengan Lula di ketahui oleh David, dan hal itu bisa membahayakan keselamatan Lula.

 

 

 

 

 

 

 

 

To be continued


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C23
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank 200+ Power Ranking
    Stone 0 Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login

    tip Paragraph comment

    Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

    Also, you can always turn it off/on in Settings.

    GOT IT