Lagi-lagi, manusia dihadapkan dengan misteri soal tabir kehidupan. Itu bukanlah ranah untuk para makhluk, hanya saja manusia terlalu membanggakan akal mereka hingga tak sadar jika mereka hampir melewati batas. Entah itu bisa membuat Tuhan murka atau tidak, walau jelas Dia maha pengasih. Namun, segala yang berkaitan dengan hidup dan mati sejatinya tidak perlu diotak-atik oleh makhluk mana pun. Termasuk batas ruang dunia dan alam lain, biarlah sebagai sesama makhluk tak perlu saling mengganggu. Toh Tuhan telah menciptakan semua makhluk-Nya dengan rizki dan alam yang berbeda-beda. Sederhananya, jika Tuhan berani memberi ruh kepada seorang jasad maka Dia juga akan menjamin kehidupannya.
Namun, tak semua makhluk mampu berdamai dengan urusan ilahiah. Beberapa dari mereka masih saja mencari tahu tentang rahasia besar tabir kehidupan dengan dalih ingin menyelamatkan alam semesta dari kehancuran. Sekali lagi, entah itu membuat Tuhan murka atau tidak, yang jelas Dia maha tahu semua tindakan baik itu yang tampak maupun yang terselubung.
"Kunci pintunya," suruh Jaka kepada Fahmi. Tak berselang lama Fahmi mengunci pintu setelah dirinya masuk ke dalam ruangan. "Kamu nggak bakal nyangka apa yang aku temuin kemarin."
"Lama juga aku nggak masuk ke sini, Ka," sahut Fahmi sambil memandang seluruh ruangan yang penuh dengan barang-barang langka itu.
"Mungkin udah enam bulan lalu, kalau tak salah," kata Jaka mengira-ira.
"Emang kamu habis nemu apa sampai-sampai nyuruh aku ke sini?" Fahmi mengambil posisi duduk di sebuah kursi di samping meja besar yang penuh dengan tumpukan buku dan kertas di tengahnya.
"Tadi kamu bilang apa sama Andi?" Jaka melangkah menuju salah satu lemari dan membuka laci paling bawah.
"Aku cuma bilang mau jenguk kamu, Ka. Lagian kenapa juga kemarin kamu begitu?" tanya Fahmi mencoba mencari tahu.
"Ya habis gimana? Dia nyerang aku tiba-tiba," jawab Jaka singkat.
"Siapa yang nyerang kamu?"
"Biasa."
Langkah Jaka kini membawanya menuju meja besar di depan Fahmi. Tangan kirinya menggenggam sebuah buntalan kain yang kemudian ia letakkan di atas meja. Kemudian, ia pun berali menuju rak buku dan mulai mencari sesuatu di sana.
Untuk sejenak, Fahmi langsung merasa terganggu dengan buntalan itu. Entah kenapa ia merasa tak nyaman berada di dekatnya. Seperti ada sesuatu yang benar-benar menarik perhatiannya, tapi ia tahu benda itu bukanlah sesuatu yang memiliki aura positif. Ia tak bisa memalingkan pandangan darinya, namun di saat yang sama ia juga ingin sekali menjauh.
"Itu apa, Ka?" tanya Fahmi seraya menunjuk ke arah buntalan kain.
"Itu yang mau kita bahas hari ini," jawab Jaka. Ia masih mencari-cari sesuatu di sana. Buku demi buku ia cermati, terus mencari tanpa lelah.
"Aku sama sekali nggak suka, apapun benda itu," tegas Fahmi kemudian.
"Memangnya apa yang kamu rasain?"
Fahmi terlihat menimang-nimang, berusaha mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya sekarang. "Kaya sedih, marah, benci, dendam, gelisah, putus asa. Pokoknya semua rasa yang negatif campur aduk jadi satu."
Jaka menyunggingkan senyuman kecil. "Berarti itu bukan sembarang batu, 'kan?"
"Emangnya itu batu?"
"Buka aja coba kalau memang kamu penasaran. Aku masih cari-cari sesuatu nih. Bentar lagi aku ke situ," kata Jaka. Ia masih sibuk dengan urusannya sendiri.
Awalnya, Fahmi benar-benar enggan untuk berada di sekitar benda itu, apalagi menyentuhnya. Tapi, jika dipikir-pikir lagi ia juga penasaran. Benda apa yang mungkin menyimpan semua aura negatif yang bisa dirasakan oleh seorang manusia? Kalau misal itu memang batu, batu macam apa yang memiliki aura semacam itu? Siapa juga yang sempat-sempatnya mengisi batu dengan sesuatu yang magis? Biasanya, para inisiat lebih memilih benda-benda keramat untuk melakukan ritual magis. Misalnya saja senjata, patung, buku tertentu, dan sebagainya.
Fahmi masih tak habis pikir. Ia masih tak sudi untuk menyentuh benda itu. Tapi, dirinya sekarat oleh rasa keingintahuannya sendiri sekarang. Apa boleh buat, perlahan tangannya mendekati benda itu. Ia pun sedikit memegang kain pembungkusnya dan menyeret buntalan itu mendekati dirinya. Ketika ia akan membuka kain penutup benda itu, tiba-tiba saja Jaka kembali membawa sebuah buku yang besar dan tebal. Pria itu menjatuhkan bukunya begitu saja hingga membuat sebuah suara yang tentu saja mengagetkan Fahmi.
"Bikin kaget saja kamu, Ka," celetuk Fahmi sedikit jengkel.
"Aku kira udah kamu buka bungkusannya." Jaka pun ikut mengambil posisi duduk tepat di samping Fahmi. Ia meletakkan buku yang di bawahnya bersebelahan dengan buntalan kain.
"Males ah aku. Kamu aja yang buka." Dengan cepat, kedua tangan Fahmi turun dan bersembunyi di bawah meja.
Jaka menghela napas panjang. "Dasar."
Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia pun membuka bungkusan kain di hadapan mereka berdua. Lalu, terlihatlah sebuah batu berukuran setengah kepalan orang dewasa dengan salah satu sisi yang runcing. Warnanya hitam pekat dan terlihat sangat padat. Kemudian, nafas Fahmi terasa berat dan cepat. Aura negatif mulai menyelimuti seluruh ruangan, rasanya ia semakin tak betah berada di sana bersama dengan batu itu.
"Kamu pernah lihat yang seperti ini, Mi?" tanya Jaka mulai membuka buku di hadapannya.
Fahmi berusaha mengingat kembali. "Kaya pernah lihat batu seperti ini, tapi di mana?"
"Mungkin kamu pernah lihat sekilas di poster geologi punya anak-anak MAGMA soal macam-macam batuan."
"Nggak. Aku nggak pernah merhatiin soal begituan."
Tak lama berselang, Jaka menunjukkan sebuah halaman dari buku yang dibawanya kepada Fahmi. Mata sahabatnya itu langsung tertuju pada satu gambar yang lumayan mencolok karena hampir memenuhi setengah halaman dari buku itu. Kemudian ia bisa membandingkan gambar itu dengan batu yang sekarang berada di hadapan mereka.
"Artefak obsidian?" tanya Fahmi memastikan.
"Sebenarnya, aku juga nggak tahu pasti. Tapi, deskripsi yang paling mendekati batu ini dari segi fisiknya yaitu artefak obsidian," jelas Jaka yang sebenarnya masih meragukan.
"Kenapa disebut artefak? Sedangkan tidak semua obsidian itu merupakan artefak," ujar Fahmi bertambah bingung.
"Karena artefak obsidian kebanyakan berasal dari zaman purba ketika awal mula peradaban manusia baru saja tercipta. Orang-orang kuno menggunakan obsidian sebagai senjata. Jadi kemungkinan ...."
"Batu ini mungkin bisa jadi bermuatan magis," sahut Fahmi mulai sedikit mengerti.
"Jelas batu ini bermuatan magis. Kamu saja udah ngerasa nggak enak waktu kamu lihat batu ini masih dibungkus kain," ujar Jaka.
"Ya sudah. Tapi aku mau tanya, kamu yakin kalau ini artefak obsidian?"
"Nggak juga." Keduanya pun hanya saling bertukar pandang. Lalu, mereka mengalihkan perhatian menuju batu hitam misterius itu.
"Ya, satu-satunya cara buat memastikan adalah dengan mengujinya," usul Fahmi memberikan sebuah ide.
"Mending kamu saja yang uji, Mi. Aku nggak terlalu peka kalau soal urusan benda-benda magis."
Sebenarnya, Fahmi merasa berat hati untuk membawa batu itu ke rumahnya dan mengujinya di sana. Tapi, apa boleh buat. Sahabatnya itu sedang meminta bantuan. Ia takkan menolak selama itu baik dan dirinya mampu memberi pertolongan.
"Ya sudah. Nanti aku uji pakai metode aku sendiri."
***
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!