Siapa yang bisa menyingkap tabir besar kehidupan? Mungkin beberapa makhluk memang diberi anugerah akan pengetahuan itu. Seiring diperolehnya kekuatan maka datang tanggung jawab yang sama besarnya pula. Sedangkan, manusia hidup tanpa mengetahui sebuah perang besar yang tengah berkecambuk di langit. Sebenarnya, sebagian kecil orang turut ambil bagian dalam pertarungan para makhluk surgawi itu. Namun, mereka memilih untuk tetap berada di balik bayang-bayang. Dunia sudah berubah, seolah makna tiada berguna. Manusia mulai berhenti mempertanyakan segalanya dan mulai dimanjakan oleh hal-hal semu. Mereka yang sedang bertarung dianggap telah kehilangan kemampuan berpikir secara rasional hanya karena mereka tak berpegang pada metode ilmiah. Ya, begitulah kehidupan. Ada masa di mana hal-hal baik malah dianggap sebagai momok yang memalukan, seperti aib yang harus ditutupi. Kau tak perlu menjadi benar untuk mendapat perhatian, yang dibutuhkan hanyalah suara dengan jumlah besar.
"Nggak ketemu!"
Senasib dengan para pejuang yang lain, Jaka menemui jalan buntu. Setelah mencari ke puluhan buku dan manuskrip kuno yang dimiliki, informasi yang ia inginkan tak kunjung didapat. Rak-rak di ruangan itu telah kosong, lemari penyimpanan juga berantakan. Lantai dipenuhi lembaran-lembaran asli maupun salinan karya sastra dari berbagai zaman, sedangkan naskah yang sudah berumur berabad-abad berserakan di atas meja. Kini ia tengah mencari sesuatu yang langka, sesuatu yang pasti takkan ditemukan di sembarang sumber, apalagi di buku sejarah konvensional. Ini lebih tua, tersembunyi, tidak diakui. Namun, jika ia gagal menemukannya maka nasib umat manusia akan terancam. Separah itukah? Ya, memang begitulah kenyataannya. Makhluk dari zaman peradaban tertua telah bangkit, butuh dari sekedar kerja keras dan pengorbanan untuk menenangkannya kembali.
"Sial!" umpat Jaka pada akhirnya.
Ia menyerah untuk sejenak. Tubuhnya hanya terduduk di lantai, di tengah segala kekacauan yang tanpa sadar telah ia buat. Pandangan menyapu sekeliling, tak ada yang diletakkan di tempatnya semula. Semua berada dalam posisi yang salah, termasuk pikirannya sendiri.
"Apa yang aku lupain?" tanya Jaka pada dirinya sendiri.
Ia terus memutar otak, berusaha mengingat kembali setiap detail aktivitas yang ia lakukan. Dengan cat dinding kecokelatan serta lampu pijar berwarna kekuningan, tempat itu lebih terlihat seperti loteng dengan tumpukan berbagai benda lama. Padahal, ia berada di sebuah ruangan biasa berukuran dua puluh meter persegi di dalam rumahnya.
"Ah! Udahlah." Ia pun mencari-cari di mana keberadaan ponselnya. Setelah ketemu, ia terkejut melihat puluhan notifikasi panggilan tak terjawab. Itu dari Andi. "Halo, Andi? Kamu di mana, Nak? Jam segini kok belom pulang," ujarnya setelah tersambung lewat panggilan suara.
"Ayah, aku di IGD RS Islam. Tadi aku kecelakaan."
Seketika tubuhnya kehilangan tenaga. Tatapan kebingungan berubah menjadi sayu, jantung hampir saja berhenti berdetak. Untuk sesaat ia hanya mematung, napasnya juga tertahan. Terbesit banyak hal di dalam benaknya, tapi satu yang paling jelas. Makhluk jahanam itu sudah melewati batas. "Dalam perjalanan."
Ia pun langsung bangkit dari tempatnya berada dan segera keluar dari ruangan. Saat melewati pintu kamarnya, Jaka meraih jaket serta kunci mobil yang tergantung di dinding. Ia mengenakannya seraya menuruni tangga menuju lantai dasar. Langkahnya begitu tergesa-gesa sampai tak sempat memberi tahu orang lain di rumahnya. Ketika sampai di pintu depan, sesuatu menghalanginya untuk terus melangkah.
"Hai, Inisiat Rendahan," ujar sebuah suara wanita yang sungguh menggoda dari dasar tangga.
"Astaga," gumam Jaka seraya mengehela napas panjang. Ia masih membelakangi suara itu, tapi terlihat begitu yakin dengan siapa dirinya berbicara. Pandangannya kian lesu. "Ya, aku memang inisiat rendahan dan aku sama sekali nggak peduli sama kamu."
Ia memilih untuk tidak menghiraukannya. Langkahnya kembali berlanjut melewati teras dan menuju mobil yang terparkir di depan rumah. Tanpa menunggu lebih lama lagi ia langsung duduk di kursi kemudi, menyalakan mobil, dan mengendarainya ke luar komplek perumahan tempat tinggalnya. Jalanan tak terlalu ramai malam itu, apalagi pasca hujan seperti ini orang sudah terlanjur malas pergi ke luar rumah. Maklum saja, terkadang hawa dingin pegunungan bercampur cuaca yang tak menentu membuat imunitas tubuh menurun. Tapi, Jaka tak mempedulikan semua itu. Nyawa anaknya baru saja dalam bahaya dan bahkan mungkin masih terancam sampai sekarang. Ia memacu mobilnya secepat yang ia bisa hingga sampai di tempat yang dimaksud dalam waktu tak sampai sepuluh menit. Sekali lagi, dirinya tertahan ketika hendak keluar dari mobil yang sudah terparkir di salah satu sudut rumah sakit.
"Kenapa kau tak mempedulikanku? Menatapku saja tidak. Apa kau takut?" saut suara yang sama seperti yang ia dengar beberapa saat yang lalu. Kali ini, sumber suara terdengar lebih dekat, tepat di samping kursi kemudi.
"Takut bukanlah kata yang bisa mendeskripsikan apa yang aku rasain sekarang. Pertarungan kita bukan di sini."
"Kau terlihat begitu tenang ketika anakmu hampir saja meregang nyawa."
"Itu karena aku udah tahu yang sebenarnya."
Ia pun keluar dari mobil dan cepat-cepat menuju IGD. Mungkin dari luar ia terlihat baik-baik saja. Padahal jauh di dalam sana, jiwanya tersayat hebat. Napasnya sudah tidak karuan saat mendengar suara putra semata wayangnya itu. Kini, Andi pasti masih terkulai lemas di ruang perawatan. Membayangkannya saja membuat hati Jaka hancur berkeping-keping. Dialah satu-satunya motivasi terbesar yang selalu menjadi pengingat untuk melewati segala macam cobaan kehidupan. Jangan bayangkan cobaan yang dimaksud adalah seperti yang dialami kebanyakan orang pada umumnya. Ia pernah berkali-kali kehilangan seseorang yang sangat ia cintai sebelumnya, ia pernah merasakan dikhianati dan ditinggalkan, ia terlalu piawai dalam menghadapi perpisahan. Cobaan yang dialami lebih menyangkut pada nasib alam semesta beserta isinya.
"Permisi, ada remaja yang baru mengelami kecelakaan dirawat di sini. Di mana saya bisa menemui dia?" tanya Jaka kepada seorang perawat yang kebetulan lewat saat ia baru memasuki ruang IGD.
"Tepat di ujung lorong ini, Pak."
"Terima kasih."
Persetan dengan segala hal yang terjadi dengannya hari ini. Yang Jaka mau hanyalah menemui Andi, apapun yang terjadi. Kepalanya dipenuhi spekulasi liar tak berdasar. Ditambah pengaruh buruk dari sesuatu yang kini akan selalu mengikutinya, semua menjadi suram. Batas antara ilusi dan realita semakin tipis, terkadang itu hanyalah sesuatu yang serupa. Butuh semacam intuisi yang kuat untuk membedakannya. Oh ya Tuhan, ia sudah tak bisa lagi berpikir jernih. Siapapun yang melakukan ini pada Andi, cepat atau lambat ia akan membuat perhitungan dengannya. Jaka tahu benar jika takkan ada yang terjadi padanya, namun ia baru menyadari bahwa putranya juga bagian dari dirinya.
"Ayah," sapa Andi ketika melihat Jaka telah berdiri di hadapannya dengan kondisi setengah frustasi.
"Andi ...."
Jangan lupa untuk mendukung karya ini dengan power stone :v