Saat kedua kelopak mataku terbuka, aku langsung terbelalak kaget akan situasi yang kualami sekarang. Pandanganku tertuju pada langit berwarna merah yang memancarkan cahaya redup dari bulan berwarna merah seperti darah.
Ketika pandanganku melihat ke bawah, sebuah penampakan suram menantiku.
Tampak suatu tumpukan manusia yang telah membusuk dan memenuhi dek kapal, setiap mayat itu mengeluarkan kelabang dari celah luka yang terkoyak maupun bagian lubang kosong pada matanya. Darah dari setiap mayat itu membanjiri lantai hingga menenggelamkan telapak kakiku. Sekujur tubuhku tak bisa digerakkan, saat aku melihat ke bawah, tubuhku tengah terikat erat pada suatu tiang besar, mulutku juga disumpal sebuah kain yang membuatku tak bisa berkata-kata.
Aku menjerit dan memberontak demi bisa lepas dari ikatan ini. Namun tak seorangpun yang dapat datang kemari. Karena sekarang ini, aku sedang terjebak dalam sebuah kapal yang dikelilingi lautan darah.
Perlahan-lahan kelabang yang keluar dari para mayat itu merangkak mendatangiku. Sentuhan geli dan menjijikan dari ratusan kaki mereka yang merayap pada kulitku membuatku merinding dan ingin menangis ketakutan.
'Ti-tidak!'
Kumohon, hentikan ini semua!
Siapapun ... siapapun, tolong aku!
Seketika suara jentikkan jari terdengar.
Bersama gema suara itu, sekujur tubuhku seperti menyusut dan terhisap ke suatu titik ruang.
'Apa--ini!?'
Secara tiba-tiba aku sudah berada di suatu tempat berbeda.
Ada suatu obyek hitam berbentuk bola di seberangku, piringan cahaya yang terbentuk menjadi cincin itu terus mengelilinginya. Tapi, aku merasa jika obyek yang berbentuk lubang hitam itu memakan cahaya di sekitarnya dengan kecepatan kuat, bahkan mataku sendiri tak dapat memastikannya.
Selain itu, sekelilingku terhampar ruang kosong dan gelap. Ini tampak berbeda jauh dari tempatku berada sebelumnya.
Aku seperti berdiri pada ujung tebing, dan di bawahku terdapat kehampaan tak berujung. Entah mengapa aku mendapat perasaan jika aku terjatuh ke sana maka aku tidak akan bisa kembali.
"Apa yang kau lihat sebelumnya, bocah!?"
Suara keras dan tidak ramah ini terdengar tidak asing. Aku seolah merasa sudah akrab dan familiar. Aku kemudian menoleh ke arah sumber suara. Tepat di belakangku, sebuah sosok samar sedang duduk pada sebuah kursi takhta, ia mengenakan setelan seragam hitam dengan jubah panjang, terdapat bulu rumbai tipis pada lipatan kerahnya. Kepala sosok itu berkobar-kobar seperti api yang menari ketika terkena tiupan angin. Namun di sini tidak ada angin.
Gaya sok keren macam apa itu!?
Tunggu dulu. Ja-jangan bilang, itu ... Asmofhet?
Saat melihat bola mata berwarna kuning kehitaman itu, serta aura hitam yang meluap-luap dari kulitnya itu, tidak salah lagi!
Asmofhet tampak tampil berbeda kali ini, walau sebenarnya ada sisa rentetan rantai merah yang mengekang sekujur tubuhnya. Aku hampir dibuat tertipu akan perubahannya.
Sepertinya ia masih terikat dengan segel yang kuberikan waktu itu, dan juga sekarang dia memiliki tubuh dengan tinggi sepertiku, dan itu terlihat lebih nyaman dipandang dari sebelumnya.
"Apa maksudmu? Apa yang aku lihat sebelumnya? Apa itu ... ulahmu, sialan!?"
Sambil mengucapkan itu, aku memicingkan mataku. Sudut mataku lebih rapat dari biasanya. Aku menatap tajam ke arah Iblis menyebalkan itu! Selain itu, aku lebih bersiaga. Aku masih merasa waspada terhadap Iblis ini.
Asmofhet lalu tertawa lepas seakan itu lucu, membuatku merasa jengkel setiap kali mendengarnya menertawakanku.
"Hmm. Kau tertarik dan ingin tahu? Tapi, aku tak mau mengatakannya secepat ini, karena bagian menariknya akan di mulai saat kau terbangun nanti, bocah!"
"Hah!? Tanggung amat, sialan! Jadi, saat ini aku sedang tertidur? Berarti tempat ini—"
"Ini merupakan ruang pikiranku. Ini juga menjadi salah satu teknik tingkat tinggi dari sebagian kekuatanku. Teknik ruang Iblis yang hanya dikuasai oleh pengikut tuanku, teritory dimension technique. Teknik penciptaan untuk mengurung makhluk yang memiliki jiwa ... sepertimu," sela Asmofhet. Ia kembali menekuk sudut mulutnya yang berupa gumpalan asap hitam berkobar.
"Hah!? Apa-apaan maksudmu itu? Kau hanya menggertakku saja, bukan!? Dengar," tunjukku ke arah Asmofhet, "Suatu saat aku akan ... membunuh tuanmu!"
Tiba-tiba aku mengucapkan kalimat terakhir itu secara tidak sadar, kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Bahkan suaranya terdengar berbeda dariku. Suara dingin dengan nada yang mengintimidasi.
'Apa yang sudah ... kukatakan?'
Asmofhet tampak terkejut melihatku. Ekspresi tidak jelas darinya secara mendadak berubah menjadi serius. Ia kemudian meninggikan suaranya seraya berkata,
"Aku akan menantikannya, [...]."
Asmofhet seperti menyebutkan sebuah nama yang tak dapat terdengar olehku, karena secara perlahan aku merasakan pusing kuat hingga membuatku sempoyongan.
Kesadaranku perlahan tenggelam.
...
Tarikan napas panjang kuambil bersama kedua mataku yang terbelalak, aku terbangun di sebuah ranjang empuk dengan selimut merah berbulu menutupi tubuhku. Aku tersentak kaget, keringan dingin membanjiri punggungku.
Apa-apaan itu!?
Saat aku melihat sekeliling, aku menyadari jika ini adalah kamar ruangan. Tidak begitu banyak dekorasi apapun di sini, selain meja kecil dan sebuah batang lilin yang masih menyala di atasnya.
Aku perlahan menurunkan kedua kakiku ke lantai sambil mengusap-usap kedua mataku yang terasa gatal dan berair.
'Apakah itu tadi mimpi?'
Kepalaku terasa pusing sekali, aku tak begitu mengingatnya.
Ruangan ini terasa sejuk dan lantainya agak sedikit berayun.
Tunggu, berayun?
Aku segera berjalan mendekati sebuah jendela di depanku, saat aku melihat keluar, terhampar lautan air biru sejauh mataku memandangnya. Tampak suatu cahaya yang gemerlapan pada permukaan air, sebuah efek biasan dari pantulan sinar mentari.
Sekarang aku ingat. Sebelumnya, aku ditonjok oleh anak kecil itu.
Ah, benar! Berarti, aku sedang berada di dalam kapal mereka?
Saat aku memastikannya, ingatanku tentang mimpi yang tadi perlahan memudar.
"Ah, dasar, apa yang sudah kulakukan." Aku berbicara sendiri dengan pantulan diriku di depan sebuah cermin di samping jendela tadi.
Apakah aku menyinggungnya karena menyebutnya anak kecil? Jika benar begitu, ini artinya salahku.
Selagi meratapi rasa bersalahku, aku bercermin.
Aku menatap bola mata dan bentuk rupa wajahku sambil mengelusnya secara perlahan, kulit mukaku terasa begitu halus, meski kedua telapak tanganku terasa sedikit kasar, tapi aku merasa wajahku tidak begitu buruk kalau diperhatikan.
Aku memerhatikan sekujur tubuhku, perutku tampak cukup atletis, ini terbukti dari bidang kotak-kotak yang seperti susunan batu disusun berbaris pada perutku. Meski begitu, aku cukup kurus. Tidak buruk juga sebenarnya.
Aku juga membuka mulutku dan memeriksa kebersihan gigiku, cukup putih dan bersih, meski ada dua gigiku yang hilang di bagian bawah belakang. Tapi, napasku agak bau ya?
Aku kemudian mengambil air yang disediakan dalam sebuah ember kecil di sini, lalu sedikit meminum untuk sekedar berkumur-kumur. Ada semacam lubang saluran pembuangan di bawah cermin ini, dan aku memuntahkan airnya lewat sana. Karena airnya masih ada, aku memakai sisanya untuk membasuh wajahku, dan mengusap sebagiannya ke atas kepalaku, aku menyisir bagian rambutku dengan sela jemari ke bagian belakang.
Apa kupotong saja ... rambut ini?
Tiba-tiba terdengar suara berderak, itu datang dari arah gagang pintu yang tampak berputar.
Aku menoleh ke arah kananku, dan melihat seorang wanita masuk mengenakan seragam kemeja berkerah dan berwarna coklat. Ia tampak berbeda saat berpakaian seperti itu, sangat menawan sekaligus elegan, aku sempat tersipu menatapnya.
"Ah, selamat siang. Maaf atas perlakuan salah satu teman kami kemarin, kau sampai pingsan selama seharian penuh," ucap Viona sambil menundukkan kepalanya. Rambut pirangnya yang tak lagi dikepang tampak terjuntai bebas.
"Eh, umm ... bukankah itu, salahku?" Aku berkata dengan bingung. Aku menggaruk ujung bibirku karena saking bingungnya.
"Niruu memang seperti itu, dia sangat tidak suka kalau orang asing memanggilnya dengan sebutan 'kecil'. Meski dia terlihat pendek seperti itu, nyatanya dia lebih dewasa dariku." Viona menjelaskannya padaku sambil mengangkat sudut mulutnya. Itu senyuman hangat yang pertama kali menyambutku hari ini.
"Niruu, kah? Namanya agak—"
"Tidak biasa? Tentu saja, dia merupakan orang dari wilayah negeri Timur dan juga seorang penyihir dari tiga clan besar wilayah suci, bangsa Exorcist." Viona menyelaku dengan cepat.
"Exorcist, kah? Artinya, mereka pengusir setan begitu?"
"Kalau itu, sebaiknya kau tanyakan pada Dmitry, dia tahu banyak tentang berbagai hal, dia dijuluki perpustakaan berjalan karena pengetahuannya tentang dunia ini." Viona seperti ingin tertawa, tapi ia cukup kuat menahannya.
"Wah, julukan yang a— keren maksudku." Aku hampir saja keceplosan.
Viona kemudian tertawa halus sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.
"Ah, kau benar, itu memang aneh."
'Jadi dia mendengarnya, ya ... ya ampun.'
Aku merasa ikut tertawa jahat. Dasar, secara tidak langsung kami sudah menghina Dmitry dari belakang.
"Omong-omong, cepat kenakan pakaianmu, mereka berdua menunggumu di luar," sambung Viona sambil berbalik badan menuju keluar.
Seketika wajahku terasa memerah karena merasa malu mengingat diriku yang masih telanjang dada dan belum mengenakan pakaian.
"A-ah, baik!"
Aku segera mengambil pakaian ganti, serta sebuah mantel tipis yang sudah disediakan di samping lilin tadi. Aku beranjak keluar kamar, dan mulai mengikuti Viona.
Kami melewati lorong yang panjang. Beberapa lampu gantung berisikan batang lilin menerangi lorong dek nan gelap ini. Ada semacam suara papan berderit, dan besi berkelontang yang suaranya muncul entah dari mana. Tampak sebuah anak tangga di ujung lorong, serta sekelebat cahaya samar yang menembus dari langit-langit dek.
Saat aku melangkah keluar melewati tangga tadi, terasa udara sejuk bertiup ke arahku dan membuat bulu-bulu kudukku berdiri kedinginan, aku melipatkan kedua tanganku di depan dada dan menoleh ke sekelilingku.
Terdapat dua tiang besar yang terpancang dan menghubungkan layar kapal ini, serta sebuah layar panji berkibar berlambang singa bermahkota di bagian tertinggi tiang itu.
"Yoo ... akhirnya kau bangun juga, seperti yang sudah kubilang, aku akan menjelaskan apa yang terjadi sekarang, persiapkan diri kalian," ucap Dmitry dengan nada serius sambil bersandar di tepian dek.
Ilya tampak bersandar di salah satu tiang kapal sambil melipatkan kedua tangannya. Dari arah buritan kapal, aku melihat orang yang bernama Niruu sedang memegang dek kemudi, aku cukup terkejut menyadari jika kapal ini dipegang oleh pria sependek dia.
Kali ini aku mungkin dapat mengetahui kebenaran yang diketahui oleh pria bernama Dmitry ini, keadaan dunia luar, dan ... hal besar yang sedang terjadi di luar sana.
Aku merasa tegang sekaligus bersemangat, hingga tanpa sadar aku mengepalkan kedua tanganku.
"Aah, tentu! Aku sudah siap!" sahutku saat memasang wajah serius.
...
...
...
[Pov --III-- ]
"Uhuukk ... uhukk!"
Vyrco tampak memuntahkan cipratan darah setiap kali ia terbatuk, ia terbaring tak berdaya di bawah pohon besar tak berdaun yang berdekatan dengan sebuah danau besar.
Di sisi lain, Azuro sedang membasuh wajah dan tangannya di tepi danau jernih berwarna biru kehijauan itu. Ia menatap kosong ke arah pantulan wajahnya di dalam air yang sedikit bergelombang.
"Mutsuri, semoga kau baik-baik saja." Azuro mengambil napas panjang lalu melepaskannya kembali secara perlahan sambil mencoba berdiri, setelan pakaian Azuro tampak compang-camping dengan banyak noda darah.
Sementara itu Vyrco terus batuk darah dengan kedua matanya yang hampir terpejam, ia tidak dapat bergerak banyak, bahkan saat batuk ia harus menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Pandangan Vyrco nampak membayangkan seorang wanita berambut hitam panjang sedang tertawa bahagia sembari menari girang di hadapannya.
"Andai saja aku ... tidak meninggalkanmu ... saat itu." Suara benak Vyrco yang ingin menangis, kekosongan akan rasa bersalah tergambar dari sorot mata kanannya. Mata kiri Vyrco sangat putih dengan bekas luka sayatan lurus membelah bola mata.
Azuro berjalan dari arah depan Vyrco sambil membawa sebuah tempurung kelapa berisikan air di tangannya. Imajinasi Vyrco seketika buyar saat melihat Azuro di depannya sedang mencoba menyuapinya air ke mulutnya yang gemetaran.
"Minumlah ini."
Vyrco secara perlahan mulai membuka mulutnya, bibirnya terus gemetaran mencoba mencecapi air dari tempurung kelapa itu, ia meneguk sedikit demi sedikit air itu hingga batuknya kembali kambuh, membuatnya memuntahkan air yang ia minum tadi, gelinang darah bercucuran dari hidung dan mulut Vyrco.
Azuro melihat bibir gemetar Vyrco sedang bergerak mencoba mengatakan sesuatu, ia lalu mendekatkan telinga kanannya ke mulut Vyrco.
"D-da ... ra ... h."
"Vyrco ... aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu jika meminum darahku, tapi ... aku tidak punya pilihan lain," ucap Azuro merasa khawatir.
Azuro kemudian menggigit ujung jari telunjuk kanannya dan meneteskan darahnya ke mulut Vyrco.
Tetesan demi tetesan darah ia teguk, Vyrco perlahan memejamkan matanya dan tangannya tiba-tiba terjatuh ke tanah.
Azuro tampak terbelalak syok melihat itu dan langsung mendekatkan telinganya ke arah dada kiri Vyrco.
Azuro kemudian melepaskan napas lega ketika masih mendengar detak jantungnya meski terasa sangat lambat dan pelan.
"Bertahanlah, jika harus ... aku akan mencari darah manusia untukmu, Vyrco!"
Azuro bergegas menuju tepi danau dan bersiap menggunakan darah Iblisnya kembali untuk melompat.
"Ternyata kau di sini, ya, Azuro."
Seorang pria berpakaian serba hitam muncul dari balik bayang-bayang pepohonan dan semak belukar. Azuro terkejut mendengar suara dingin itu dan berbalik menatap ke samping kirinya, lalu berkata,
"K-kau—"