"Apa! Kenapa jadi aku yang salah?" protes Felicia pada sahabatnya. Dia sama sekali tak menduga jika Maya akan mengatakan ucapan yang terlalu blak-blakan pada guru biologinya.
James memperlihatkan sebuah senyuman di wajah tampannya. Dia bisa melihat wajah kesal Felicia yang begitu jelas. "Baiklah, lebih baik kalian pulang saja. Saya akan mempersiapkan segala keperluan untuk seminar besok pagi," sahutnya sambil memandang dua gadis cantik yang terlihat bingung.
"Seminar?" sahut dua gadis itu bersamaan.
"Bukankah sudah diumumkan pada kalian semua? Besok pagi akan ada seminar khusus untuk siswa dari jurusan IPA. Apa kalian sedang membolos saat mendapatkan informasi itu?" James pun juga ikut bingung. Dia tak mengerti, bagaimana kedua siswanya itu bisa sampai melewatkan informasi sepenting itu.
Felicia langsung mengingat ucapan ayahnya itu. Felix Angelo pernah mengatakan akan menjadi seorang pembicara di sekolah barunya. Tanpa sadar, ia memukul kepalanya sendiri. Felicia merasa dirinya terlalu ceroboh karena melupakan informasi sepenting itu. "Sebaiknya kita segera pulang, Maya. Pak James akan sangat sibuk, jangan membuat beliau menunda pekerjaannya," ucapnya pada sang pemilik mobil.
Kedua gadis itu langsung meninggalkan halaman sekolah untuk pulang ke rumahnya. Sampai di belakang rumah Felicia, mobil itu pun berhenti. Mereka berdua turun dan berdiri di samping pagar.
"Apa besok pagi kamu akan ikut seminar, Felicia?" tanya Maya sangat penasaran.
Gadis itu terlihat bingung sambil berpikir sejenak. "Andai saja aku boleh tak datang ... Aku tak ingin menghadiri seminar itu," sahut Felicia dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. Seolah ia sedang memikirkan antara hidup dan mati saja.
"Bukankah ekspresimu sedikit berlebihan? Ayolah ... ini hanya seminar biasa," bujuk Maya agar sahabatnya itu juga mengikuti seminar. "Aku hanya ingin mendapatkan sertifikat itu dan memamerkannya kepada kedua orang tuaku," lanjutnya sambil senyum-senyum membayangkan mendapatkan sebuah sertifikat dari sebuah rumah sakit ternama di kota itu.
Sebuah senyuman kecil terlukis di wajah Felicia. Dia menatap Maya dengan banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya. "Apakah sertifikat itu begitu penting bagimu?" tanya dengan bingung.
"Tentu saja. Kedua orang tuaku ingin aku kuliah kedokteran, oleh karena itu mereka menyekolahkan aku di SMA. Bagaimana denganmu?" Maya bertanya sambil memperhatikan sahabatnya itu seolah tak tertarik sama sekali dengan ilmu kedokteran.
"Aku?" ulang Felicia dengan tatapan sedikit terkejut. "Tak pernah sedikit pun aku berpikir untuk menjadi dokter," jawabnya terdengar menggantung dan seolah masih ada kelanjutan dari setiap ucapannya.
Maya sama sekali tak mengalihkan pandangan dari sahabatnya. Dia berpikir jika Felicia masih akan melanjutkan ucapannya. Namun setelah menunggu beberapa saat, ia sama sekali tak melanjutkan ucapannya. "Lalu ... apa alasanmu masuk SMA?" tanyanya.
"Papa yang menentukan masa depanku. Aku tak pernah memilih apapun di dalam hidupku .... " Felicia seolah sedang mencurahkan segala kesedihan dan juga kekecewaannya pada seorang pria yang menjadi ayahnya itu.
"Apa maksudmu, Felicia? Apa kamu tidak bahagia tinggal bersama keluargamu?" tanya Maya dengan wajah cemas. Dia tak ingin jika sahabatnya itu tak mendapatkan kehidupan yang layak.
Felicia tersenyum mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu, dia pun mendekati Maya dan menyentuh pundaknya penuh perasaan. "Bukan begitu juga, Maya. Aku harus masuk dulu. Terima kasih, Maya." Gadis itu langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa menunggu Maya meninggalkan depan rumahnya dulu.
"Sepertinya ada yang aneh dengannya," gumam Maya sambil masuk ke dalam mobil. Dia langsung melajukan mobilnya menuju ke tempat di mana ia tinggal.
Di sisi lain, Felicia baru saja masuk melalui pintu belakang rumahnya. Begitu sampai di dalam, terlihat Amelia sudah berpakaian rapi dan siap untuk bepergian. Gadis itu langsung mendekati ibunya dengan kecurigaan di dalam hatinya.
"Ke mana Mama akan pergi?" tanyanya dengan cukup nyaring karena jarak ibu dan anak itu sedikit berjauhan.
Amelia langsung memalingkan wajahnya dan melihat anak gadisnya baru saja kembali dari sekolah. "Hai, Sayang. Tumben baru pulang, Mama sudah menunggu sejak tadi," ujar wanita itu dengan tutur kata lembut.
"Tadi aku mengobrol dengan Maya sebentar. Ada apa, Ma?" Felicia menjadi penasaran dan juga sedikit cemas, sepertinya ada hal penting yang sedang terjadi di keluarganya.
Wanita itu menghampiri anaknya dan membelai lembut kepala Felicia. Sebuah usapan penuh perasaan yang menyimpan kasih sayang tulus dari seorang ibu. "Cepatlah ganti bajumu, kita akan segera berangkat ke bandara," jawab ibu dari Felicia itu.
"Ke bandara?" ulang Felicia sambil melemparkan tatapan tajam yang penuh tanya. "Jangan bilang jika Kak Alvaro akan kembali hari ini." Sorotan mata gadis itu langsung berbinar penuh kebahagiaan, dia berharap jika kakak laki-lakinya itu benar-benar kembali.
"Cepatlah! Atau Mama akan berangkat sendiri," goda Amelia dengan senyuman kebahagiaan yang selama ini harus tertahan.
Felicia berlari secepat kilat menuju ke kamarnya. Dia langsung berganti pakaian dan kembali menemui ibunya. "Ayo, Ma. Kita berangkat sekarang, jangan sampai Kak Varo menunggu kita," ajaknya sambil menarik tangan Amelia menuju ke halaman depan.
"Dasar, Anak nakal!" kesal Amelia sambil mencubit pipi anaknya yang terlihat menggemaskan.
Pasangan ibu dan anak itu langsung masuk ke dalam sebuah mobil dan juga sopir yang sudah menunggunya sejak tadi. Mereka langsung berangkat menuju ke bandara.
"Kenapa Mama tak mengingatkan jika besok Papa akan jadi pembicara di sekolahku?" tanya Felicia dengan wajah cemberut. Dia sedikit kesal karena ibunya tak mengatakan hal itu pada dirinya.
"Papamu juga baru memberitahukan hal itu kemarin. Sekalian mengatakan jika Alvaro akan bekerja di Rumah Sakit Lentera juga," terang Amelia pada anak gadis kesayangannya. Sebagai seorang ibu, Amelia sangat bahagia bisa berkumpul kembali bersama kedua anak kesayangannya. Setelah kejadian yang menimpa Alvaro beberapa tahun silam, Amelia tak pernah melihat anaknya lagi. Felix Angelo melarang dirinya dan juga Felicia untuk mengunjungi anak laki-laki dari keluarga Angelo itu.
Felicia langsung tersenyum senang membayangkan bisa kembali berjumpa dengan kakaknya. Namun, dia juga takut jika Alvaro tidak lagi menyayanginya seperti dahulu. Jarak yang terlalu jauh dan juga waktu yang cukup lama, telah memisahkan hubungan adik dan kakak itu.
"Aku tak ingin berpisah dari Kak Varo lagi. Jika Papa sampai membuatnya pergi lagi, aku akan pergi bersamanya," ungkap Felicia dengan penuh keyakinan. Sudah cukup lama dia harus menahan diri untuk tidak berjumpa dengan kakaknya. Selama ini, Felicia tak pernah melawan ayahnya, buka karena dia takut. Dia berusaha untuk menghargai keputusan dari ayahnya sendiri.
Amelia langsung memberikan genggaman tangan penuh kehangatan. Dia pun juga tak ingin jauh dari anaknya itu. Amelia akan membuat anak-anaknya tak lagi berada jauh darinya, apapun yang terjadi.
Happy Reading