Kak Li Ho tergesa menuju pengawal Lacey tersebut. Kami bertiga saling pandang dan merasa khawatir.
"Ada apa?" tanya Kak Li Ho dan mencoba tetap terlihat tenang.
"Ini gawat sekali, Tuan."
Pengawal itu terlihat kesulitan mengatur nafasnya yang tersengal.
"Tuan harus segera kembali! Sesuatu yang gawat terjadi." Ujarnya masih dengan napas tak beraturan.
Aku melihat perubahan mimik wajah Kak Han-Han dan suaminya. Kak Li Ho baru akan melangkah keluar ruangan saat seseorang memukul punggung pengawal Lacey tersebut.
Pukk!
Aku memperhatikan siapa yang melakukannya. Ternyata seorang pria yang sedikit lebih tua dari Kak Li Ho. Kalau tidak salah dia merupakan koki pribadi Kak Yue.
"Apa yang kau katakan, Gui Li?" ujarnya terlihat kesal.
Kami semua terlihat bingung dengan dua orang tersebut.
"Kak An, apa yang terjadi?" tanya Kak Li Ho.
Koki An menunduk hormat pada kami semua sebelum memberi jawaban.
"Anda harus segera ke paviliun bordir, Tuan Li Ho!" ujar koki itu.
"Paviliun bordir? Xian'er?" Kak Li Ho mencoba memastikan.
Koki An mengangguk. "Nyonya Xian mengalami kontraksi, sebaiknya panggil seorang tabib!" tambahnya.
Mendengar hal itu Kak Li Ho langsung pamit dan segera bergegas menuju paviliun bordir. Aku juga sebaiknya segera ke sana. Kak Xian akan membutuhkan pendampingan saat ini.
"Kak Yue, Kak Han-Han, Bree akan memeriksa keadaan Kak Xian dulu. Kalian istirahatlah!"
Keduanya mengangguki ucapanku dan aku segera berlalu dari sana. Aku mencoba menyusul Kak Li Ho. Namum, aku tidak menemukan pria itu. Cepat sekali larinya. Aku langsung menuju paviliun bordir, ruangan kerja Kak Xian.
Saat aku tiba di ruangan Kak Xian ternyata dia sudah dipindahkan ke kamarnya jadi aku langsung menuju ke sana. Kak Li Ho yang biasa terlihat tenang, tampak tegang saat ini. Di dalam sana telah dua orang wanita yang biasa merawat di Paviliun Obat. Mereka yang biasanya membantu tabib yang menangani proses persalinan.
"Bagaimana keadaan Kak Xian?" Aku menanyai salah satu dari mereka.
"Masih kontraksi palsu, Nona Muda." lapor wanita yang tadi kutanyai.
Untuk lebih meyakinkan diriku, aku memutuskan memeriksa sendiri keadaan Kak Xian. Sesekali dia terlihat meringis.
Benar seperti yang dilaporkan oleh wanita perawat tadi, Kak Xian masih mengalami kontraksi palsu. Belum ada tanda-tanda akan segera terjadi persalinan.
"Belum ada tanda-tanda akan terjadi persalinan. Tapi, Bree sarankan Kak Xian beristirahat di sini saja. Tak perlu ke paviliun bordir dulu. Persalinannya mungkin sekitar dua hari lagi. Perbanyak jalan kaki dan jongkok. Kalau rasa sakitnya datang Kak Xian bisa mencoba untuk jongkok. Kak Li Ho, harap selalu ada yang mendampingi Kak Xian."
"Baik, Nona Bree." Jawaban Kak Li Ho sontak membuatku memberi tatapan mengintimidasi padanya. "Baiklah, A-dik Bree. Akan kami perhatikan saranmu." Kak Li Ho langsung meralat panggilannya dan Kak Xian hanya terkekeh pelan.
"Mereka berdua akan senantiasa siaga di sisi Kak Xian. Namun, kalau perlu sesuatu jangan sungkan untuk memanggil Bree. Mudah-mudahan Bree akan selalu siap."
"Baiklah, Nona Tabib andalan Heal. Kami akan tunduk pada pengaturanmu." Kak Li Ho mengerling jahil padaku. Lihat sana besok atau lusanya, apakah dia bisa bercanda seperti ini atau tidak. Aku tidak yakin mengingat bagaimana reaksinya barusan.
Aku langsung pamit pada mereka dan aku langsung menuju Paviliun Heal. Setengah hari ini aku benar-benar lupa akan kesedihanku. Namun, begitu aku menginjak pelataran rumah, rasa sedih itu kembali menyesakkan dadaku.
Saat aku turun dari kuda tadi, Naena langsung menyambutku dengan senyum terulas di wajahnya dan senyum itu menular padaku.
"Nyonya menanyakan keberadaan Nona dari tadi. Dikarenakan Nona Bree pergi tanpa memberitahu siapa pun jadi kami sempat kalang kabut mencari Nona. Untungnya ada seorang pengawal yang melihat Nona pergi bersama Pangeran Azlan dan itu membuat Nyonya kembali tenang."
"Mommy takut Bree akan berbuat nekad?"
"Bisa saja, kan?" Naena menjawab sengit. Ah ... aku lupa kalau Naena akan selalu punya cara untuk mendebatku.
"Bree tidak sepicik itu, Naena."
"Itu karena ada Pangeran Azlan. Coba kalau beliau tidak di sini, Nona pasti lebih kacau lagi." Baiklah aku harus mengakui perkataan Naena. Namun, aku memilih untuk tidak menyuarakannya.
"Di mana Mommy sekarang?"
"Di gazebo belakang."
"Aku akan ke sana. Tolong siapkan sesuatu yang hangat, Naena."
"Jangan katakan Nona belum makan sejak pergi tadi?"
"Maaf harus mengecewakanmu, Naena." Naena berdecak kesal mendengar ucapanku.
"Nona Bree bisa menemui Nyonya di halaman belakang. Naena akan membawakan Nona sesuatu yang akan memulihkan tenaga dan emosi Nona Bree."
Aku hanya mengacungkan kedua jempolku pada Naena sebelum kami berpisah jalan. Aku langsung menuju area gazebo belakang, markas favoritku.
Sesampai di sana aku melihat Mommy tidak sendirian. Ada seseorang yang sedang berbincang dengan Mommy. Aku belum bisa melihat wajah lawan bicara Mommy, namun melihat ciri postur tubuhnya aku sangat mengenal pemilik tubuh itu.
"Mom." panggilku pelan dan itu cukup membuat keduanya menoleh. Pemuda yang tadi berbincang dengan Mommy mengulas senyum hangatnya padaku. Aku merasakan darahku semakin menghangat, sehangat udara musim dingin yang hampir berakhir ini.
"Al!" seruku dan dia langsung berlari ke arahku aku membenamkan kepalaku ke dalam dekapannya. "Aku sangat merindukanmu."
"Aku bahkan lebih merindukanmu lagi."
"Kalian berdua sebaiknya kemari." Mommy memanggil kami berdua.
Mommy sudah duduk di dalam gazebo. Al menuntunku menuju Mommy. Aku sama sekali tidak melepaskan rangkulanku padanya. Aku sangat merindukan sosoknya.
"Maaf terlambat. Mommy sudah menceritakan bagaimana kacaunya keadaanmu dua hari ini. Bahkan tadi pagi pergi tanpa pamit dan membuat semua orang di Paviliun Heal panik."
"Semua terjadi begitu mendadak, Al. Kepergian Kak Leon begitu cepat. Aku..."
"Hey, hei. Ulangi lagi tadi!" Aku mengernyitkan dahiku karena bingung dengan ucapan Al. "Kak Leon?" Aku menatap keduanya. Mereka berdua memberiku tatapan takjub.
"Mungkin bisa dikata terlambat, tapi Bree memilih untuk memanggil itu. Apa itu terdengar baik?"
"Sangat baik, Bree. Kau tau sendiri bagaimana Mommy sering menasehatimu untuk mengganti cara panggilmu pada Leon. Dia pasti akan sangat bahagia andai sempat mendengar Bree memanggilnya dengan cara ini."
Mendengar ucapan Mommy air mataku kembali mengalir. Rasa sesak itu kembali merebak. Aku memilih untuk kembali membenamkan kepalaku di dada bidang itu.
"Hey, bukankah masa menangis itu sudah berakhir. Hapus air matamu, oke!" Jari-jari kokoh itu menghapus aliran air mataku. Aku memilih mengeratkan tanganku yang melingkar di pinggangnya.
"Berhentilah menangis. Kau jelek saat menangis." ejeknya.
"Ucapanmu sama seperti Azlan. Dia selalu mengejekku seperti ini saat aku menangis di dekatnya." protesku.
"Jangan sebut nama itu di depanku. Aku tidak menyukainya." ujarnya penuh dengan kekesalan.
"Al, kau tetap saja cemburu pada Azlan. Cobalah untuk menerimanya!"
"Jangan katakan kau sudah menerimanya?"
"Kalian berdua jangan bersikap seolah Mommy tidak berada di sini! Jaga sikap kalian!"
"Salahkan Nona Muda Heal ini yang dengan sengaja memanasiku."
Aku mendongak pada pemuda yang masih mendekapku. "Hey, mengapa kau sangat tidak menyukai Azlan? Kau cemburu?"
"Kalau kukatakan iya hubungan kalian akan diakhiri?"