"Ini punya Kak Leon, kan?" Azlan hanya mengangguk membenarkan.
"Bacalah dan datanglah padaku setelahnya!" ujarnya sebelum kembali menengadahkan wajahnya memandangi awan-awan.
Entahlah aku merasa takut membuka gulungan kecil tersebut. Seolah akan ada sesuatu yang akan membuatku sangat syok di dalamnya. Dengan tangan gemetar aku membuka gulungan tersebut perlahan.
Tertulis tanggal penulisannya dan itu adalah saat Leon berusia hampir delapan belas.
Dengan menguatkan hati aku mulai membaca tulisan tersebut yang dibuka dengan tulisan Basmallah sebagaimana yang senantiasa dilakukan Baginda King Solomon.
Besok aku akan menginjak usia 18 tahun. Usia yang layak di Savior bagi seorang pria untuk memulai jenjang pernikahan. Namun, aku dengan mirisnya menemukan kenyataan pahit menjelang usia ini. Aku mulai membuka hati untuk seorang gadis, tetapi saat itu juga aku langsung harus menutupnya lagi. Gadis itu telah menjadi milik orang lain dalam sekejap aku mengenalnya.
Aku melakukan hal bodoh karena itu. Aku membuatkan masalah untuk Azlan dan Bree. Aku terkadang memang suka bertindak impulsif dan mereka berdualah yang akan menanggungnya. Maafkan aku menjadi kakak yang buruk bagi kalian berdua.
Aku telah jujur pada Azlan, dan harus kuakui kalau Azlan memang memiliki kualitas karakter sebagai seorang kaisar. Mendengar apa yang kukatakan dia tidak menunjukkan emosinya sama sekali. Dengan tenang dia masih memberikan berbagai solusi untukku. Ahh, betapa beruntungnya aku telah menjadi sahabatmu sejak lama, Azlan.
Dengan tenang kau mengatakan kalau setiap rasa suka dan cinta itu sesuatu yang fitrah dan itu adalah sebuah anugerah dari Yang Maha Kuasa.
Azlan sama sekali tidak marah saat dengan terang-terangan aku mengakui perasaan yang kumiliki untuk sepupuku, Bree.
Sampai di bagian ini aku mencoba meraup udara untuk bernapas sebelum melanjutkan membaca.
Aku mengatakan pada Azlan kalau aku telah jatuh pada pesona seorang Bree sebagai seorang lelaki saat aku berusia tiga belas, saat aku telah mendapatkan tanda balighku. Aku dengan jujur mengaku pada Azlan bagaimana frustasinya aku untuk mengendalikan perasaanku di masa-masa itu. Aku mencoba menjauh dari kalian berdua demi usaha untuk menjernihkan pikiranku. Aku ingin membunuh perasaan yang tak seharusnya tumbuh ini. Karena bagaimana pun rasa ini tak boleh tumbuh. Bree dan aku tak mungkin untuk itu terlebih lagi aku sangat paham bagaimana perasaan Azlan untuk Bree dan jujur aku sempat merasa tak adil pada posisi kami berdua.
Mengapa aku tidak memiliki posisi yang sama dengan Azlan, sepupu jauh. Mengapa hanya Azlan?
Itu sebagian protesku saat itu. Dengan berbagai usaha aku mencoba untuk membunuh rasaku untuk Bree.
Bree dan aku adalah tidak mungkin.
Pertama karena aturan yang ada.
Ke dua Azlan dan Bree telah lama dipersiapkan oleh Paman Rein dan Kaisar Abraham. Mereka telah dijodohkan sejak lama bahkan sebelum kami memulai petualangan di seluruh bagian Savior.
Ke tiga Bree hanya memandangku sebagai sosok seorang kakak. Dan aku menyadari itu. DI mata Bree apa pun yang kulakukan adalah sebagai perwujudanku sebagai seorang kakak yang senantiasa ada untuknya dan memang itu yang selalu kutunjukkan padanya, setidaknya di mata orang-orang.
Hingga saat kami di Spirit, aku melihat keduanya memiliki tatapan penuh cinta pada sosok yang menarik hati mereka, sayangnya kami tak sempat mengenal mereka. Ini juga yang membuatku semakin yakin kalau Bree tidak memiliki perasaan berlebih padaku, karena aku pernah melihat tatapan matanya yang penuh cinta.
Waktu terus berlalu dan perlahan aku mulai mengikhlaskan rasaku sehingga rasa itu perlahan memudar hingga puncaknya saat aku melihat sosok wanita itu saat kami di Pedagogic. Aku jatuh cinta.
Duniaku seolah hanya berputar di sekeliling gadis itu. Aku selalu berdebar saat berada di dekatnya, bahkan saat mendengar orang lain menyebut namanya.
Sayangnya itu hanya singkat sekali. Langkahku terjegal bahkan sebelum memulai. Aku frustasi. Dan kedua mata itu, mata biru bulat berbinar.
Sepasang mata yang senantiasa memberiku keteduhan, sekali lagi mengembalikan ketenanangan dalam pikiranku. Sorot kecewa dalam tatapannya menyadarkanku atas tindakan impulsifku. Sepasang mata milik sepupuku itu kembali menumbuhkan harapan dalam diriku. Namun, aku senantiasa mengingatkan diriku untuk tidak jatuh lagi dalam pesona matanya.
Aku meminta keseriusan Azlan. Dan dia berkata kalau dia tulus. Hanya saat pria itu Azlan, aku akan melepaskan Bree dengan ikhlas. Jika saja Azlan menolak, aku akan mencari cara untuk menghapuskan hukum itu dari Savior. Aku akan mencari dukungan untuk itu. Hanya pada Azlan aku akan rela melepaskan Bree-ku. Gadis yang selalu kusayangi, melebihi rasa sebagai seorang kakak.
Aku meremas sembarang kertas milik Leon. Berbagai kilasan muncul di pikiranku. Dan semua itu menjadi sambungan puzzle yang kini membentuk satu pola yang jelas. Kini aku paham mengapa aku sering mendapati Kak Leon yang beberapa kali kedapatan olehku seolah sedang menatapku dengan cara yang berbeda namun dengan segera dia menyembunyikannya. Aku kini paham mengapa tak ada satu pun pemuda yang mendekatiku. Itu bukan semata karena mereka segan dengan Azlan dan Kak Leon tapi memang karena Kak Leon sama sekali tidak memberi akses pada mereka.
Aku menatap Azlan sambil menggeleng-gelengkan kepalaku karena mencoba membuat sangkalan. Dan seperti ucapan Azlan tadi, aku langsung menghambur ke dekapan pangeran itu.
Aku benar-benar tidak mengetahui kalau Kak Leon memiliki perasaan lebih padaku. Aku kembali sesegukan di dada Azlan. Semua ini terlalu mengejutkan bagiku.
"Jadi, se-la-ma ini Ka-k Le-on tersiksa karena Bree, hu..hu..hu..." Aku terus meracau di sela sesegukanku. "Azlan, Bree..." Aku tak mampu meneruskan kata-kataku.
Azlan tidak menimpali apapun, hanya tangannya yang setia memberi elusan dan tepukan di punggungku. Setelahnya, Azlan menangkup wajahku sebelum menghapus air mata yang masih mengalir.
"Kau tau Bree, kami bahkan pernah berduel karena ini." Azlan menunjuk kertas milik Kak Leon.
"Dia menghajarku habis-habisan. Begini katanya ' Azlan, sekali saja kau membuat Bree menangis karena ulahmu yang tidak bertanggung jawab, aku pastikan Savior akan kehilangan pewarisnya.' Leon mengucapkan itu sambil menghunus pedang padaku." Azlan masih terus menatapku.
"Saat itu, aku bisa melihat sorot mata Leon yang penuh kesungguhan. Aku dapat membaca aura membunuh dalam tatapannya. Ternyata Leon sudah menyayangimu sedalam itu. Dan apa pun itu, aku akan berusaha semampuku untuk memenuhi janjiku pada Leon." Aku melihat kesungguhan di mata Azlan dan tindakan yang dilakukan Azlan selanjutnya membuatku terbelalak.
"Bree," Azlan menggenggam kedua tanganku sambil berjongkok di hadapanku, "aku tau waktunya mungkin kurang pas. Aku hanya ingin kau tau kalau aku ingin kita serius menjalani apa yang telah diaturkan untuk kita berdua sejak kecil. Pandanglah aku sebagai seorang pemuda yang memang akan menjalin ikatan sebagai pria dan wanita denganmu. Aku tau kita berdua masih memiliki keraguan tapi aku senantiasa berusaha menepis keraguan itu dan membuka peluang sepenuhnya untuk mengizinkan dirimu yang akan mengisinya secara keseluruhan. Namun, jika memang pada saatnya nanti kau memang menemukan seseorang yang benar-benar menaklukan hatimu, aku akan mundur." Wajah dia kembali menampakkan senyuman hangat seperti biasa.
"Jadi, Brianna Sincerity Reinhart maukah kau memberikan kesempatan pada pemuda ini untuk menjalani hari-hari ke depan sebagai pasanganmu?"