"Mana Bu Rahma?" tanya Pak Hamzah pada Bulan dengan suara menggelegar. Lelaki tua itu langsung berkacak pinggang begitu Bulan keluar.
"A-ada di da-dalam, Pak. Sebentar, saya panggilkan." Bulan berlari, menghampiri Bu Rahma yang sedang merapikan perabotan dapur.
"Kenapa lari-lari?" Bu Rahma berbicara tanpa menatap wajah putri angkatnya. Bulan mengatur napas sesaat sebelum menjawab pertanyaan wanita paruh baya yang ada di depannya ini.
"Di luar ... ada Pak Hamzah!" Bu Rahma menghentikan kegiatannya, lalu menatap Bulan dan tersenyum. Wanita berjilbab lebar itu tak ingin anak gadisnya khawatir berlebihan. Dengan sebuah garis senyum, semoga tidak akan meninggalkan kegusaran mendalam untuk Bulan.
"Kamu berangkat gih, nanti telat. Selesai ini Ibu temui Pak Hamzah." Bulan mengangguk. Ia pun melenggang pergi meninggalkan Bu Rahma yang akan menemui Pak Hamzah, dengan sejuta pertanyaan yang menggelayuti otak cantiknya.
Lelaki berkumis tebal itu sibuk mondar-mandir, sebelah tangannya bersembunyi di dalam saku celana. Bulan berusaha ramah pada pria paruh baya itu, ia menyampaikan apa yang Bu Rahma bilang tadi, Pak Hamzah hanya berdeham. Bu Rahma keluar, Bulan pun kembali pamit. Apa gadis itu benar-benar pergi? Tidak, ia bersembunyi di balik pohon mahoni berbatang besar yang ada di depan panti. Ia mendengar semua percakapan antar dua orang tua itu. Tak kuasa, air matanya pun lolos dari pelupuk. Bagaimana tidak? Ancaman itu nyata, ia mendengar secara langsung.
Bulan menggigit bibir bawahnya kuat, agar suara tangisnya tak terdengar ketika Bu Rahma mengantar Pak Hamzah sampai gerbang yang sudah nampak berkarat. Tubuhnya seperti dikuliti hidup-hidup, ketika ancaman Tuan tamak itu menyentuh gendang telinganya. Bayangan adik-adiknya yang semalam tertawa lepas bak hujan anak panah yang mengenai hatinya, nyeri bukan main. Bulan pun lekas pergi sebelum ada yang menyadari jika ia masih di lingkungan panti.
Sesampainya di kampus, Bulan segera mengambil tempat duduk. Beberapa menit lagi dosen akan masuk untuk mengisi kelas. Secarut-marut apa pun pikirannya, gadis bermanik cokelat itu tetap bisa memfokuskan perhatiannya pada pelajaran.
🌙🌙🌙🌙🌙
Di lain tempat, seorang pria dengan setelan jas berwarna navi yang begitu pas melekat di tubuh atletisnya, tampak sibuk dengan setumpuk dokumen yang tersusun rapi di meja. Sesekali mata elangnya melirik jam yang berada di lengan kirinya, lelaki keturunan Mesir itu sudah berjanji akan membeli sepasang kelinci untuk sang istri saat pulang nanti.
Melihat tumpukan berkas yang masih banyak, rasanya tak mungkin bagi Dareen untuk pulang cepat. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk ke pet shop sekarang. "Nadin, tolong kabari Marshmallow shop saya ke sana sekarang, minta mereka siapkan sepasang kelinci ras terbaik," perintah Dareen pada sekretarisnya melalui sambungan telepon.
Sesuai perintah sang atasan, Nadin yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun sebagai sekretaris itu, segera menghubungi dan menyampaikan amanat bosnya. Pintu lebar di depan Nadin terbuka, menandakan Tuannya keluar, dengan tanggap wanita yang sudah tak belia itu memberi hormat dan melapor jika perintah tadi sudah ia laksanakan.
"Terima kasih, Nadin. Kamu istirahat aja dulu, sore baru kita mulai kerja lagi," ujar Dareen kemudian berlalu, tak lupa sebelumnya senyum ramah ia kembangkan.
Sepanjang perjalanan, Dareen sudah membayangkan betapa wanita yang hampir sepuluh tahun mendampinginya itu, akan sumringah mendapat peliharaan baru. Waktu berjalan begitu cepat baginya, hubungan yang berawal dari persahabatan itu bisa sampai detik ini. Sifatnya yang kadang kekanakan, juga keras kepala yang begitu sulit dihilangkan, mampu membuatnya jatuh cinta setiap saat.
Sekitar tiga puluh menit, Dareen tiba di pet shop tujuannya. Nampaknya hari ini ia cukup beruntung, tempat menjual sekaligus perawatan hewan itu tengah sepi pengunjung, ia bisa langsung mengambil kelinci pesanannya tanpa harus menunggu lama.
"Oi, Ren!" Dareen menghampiri sumber suara yang tak lain adalah Widia, teman sekolahnya dulu. "Apa kabar Laila?" lanjutnya.
"Baik. Mana kelincinya, aku mesti buru-buru balik ke kantor." Widia langsung memasang mimik tak suka. Sejak naik jabatan sebagai wakil direktur utama, pria berambut ikal ini selalu saja sibuk. Untuk sekadar mengumpul seperti saat sekolah dulu saja, susahnya bukan main, selalu ada alasan untuk menolak.
"Iya, Tuan sibuk, tunggu sebentar."
🌿🌿🌿🌿🌿
Kuliah hari ini selesai, hanya pagi saja. Kini, gadis kelahiran 2000 itu sudah berada di Audrey Laundry, tempatnya selama ini meraup rupiah. Rumah kedua setelah panti, ia tidak kost lagi semenjak bekerja di sini. Teman kerja yang menyenangkan, juga ibu boss yang memperlakukannya dengan sangat baik, membuatnya begitu kerasan.
Bulan mulai bekerja di sini sejak lulus SMA, kala itu ia melihat iklan lowongan pekerjaan di sebuah tiang listrik. Pamflet kotor berdebu, tapi masih bisa dibaca. Tanpa pikir panjang Bulan langsung mendatangi tempat laundry dan meminta bekerja tanpa surat lamaran. Konyol! Tapi untunglah ia diterima.
Bertumpuk-tumpuk pakaian hewan sudah masuk keranjang yang terpasang kuat di jok belakang. "Kak Leni, aku nganter ini dulu, ya," teriaknya yang langsung dijawab iya oleh seseorang bernama Leni itu.
Motor matic yang mendapat julukan kendaraan sejuta umat itu melaju dengan santai. Jarak yang dekat membuat Bulan tak perlu buru-buru dalam memacu kuda besinya, dan lima menit kemudian, sampailah Bulan di pet shop tujuannya.
Keringat sebesar biji jagung mengalir di wajah rupawan Dareen, seluruh tubuhnya gemetar karena takut. Namun, ia tidak bisa pergi begitu saja. Makhluk kecil berbulu tebal, asyik menggosok-gosokkan tubuhnya di kaki jenjang Dareen. "Tolong ... tolong," lirihnya nyaris tak terdengar.
Di balik pintu kaca, Bulan melipat bibirnya menahan tawa. Bagaimana bisa lelaki yang terlihat begitu gagah ketakutan hanya pada seekor kucing?
Mendengar suara pintu yang terbuka, Dareen bagai mendapat angin segar. Sebuah pertolongan yang sangat ia nantikan datang, cahaya putih memancar sempurna dari balik tubuh mungil yang semakin berjalan mendekat. "Malaikat, cepat tolong saya!" seru Dareen dengan mata berbinar.
Bulan meletakkan keranjang berwarna hijau muda, yang penuh tumpukan pakaian rapi di lantai. Tangan mungilnya meraih mahluk menggemaskan yang masih mengeong di bawah. "Hai manis, kenapa berkeliaran?"
Kini pria penyuka musik klasik itu bisa bernapas lega. "Terima kasih, siapa namamu?" ucapnya tulus. Bulan memasukkan kucing tadi di kandang bercat biru yang terbuka, rupanya penjaga di sana tidak mengunci dengan benar, hingga kucing putih itu bisa membuka dan lompat keluar.
"Bulan, Pak. Sama-sama. Saya permisi dulu, mau menaruh kostum-kostum ini ke dalam." Bulan mengangkat keranjang bawaannya tadi, menunduk sopan dan meninggalkan lelaki berjas navi, yang tengah menikmati kelegaannya terlepas dari kucing berbulu lebat tadi.