Download App
47.22% Patah Paling Parah / Chapter 17: Ke Makam Mama

Chapter 17: Ke Makam Mama

Spontan tangan langsung memegang pipi yang seketika terasa panas. Menatap wajah Ayah tak percaya telah menamparnya. Ndari setengah berlari menuju kamar tangisnya pecah. Di dalam menangis sepuas-puasnya.

"Ayah jahat!" cetusnya dengan tangis yang tak henti mengalir.

Hatinya benar-benar sakit. Padahal baru saja dirinya merasakan sakit luar biasa tentang cinta. Kini harus menanggung sakit dua kali karena bertengkar dengan orang tua. Ndari stres, kepala terasa nyeri dan berdenyut.

Matanya menatap foto mama yang berada di atas meja. Perlahan meraih dan mengusap gambar wajah itu dengan lembut. Tangisnya jatuh tepat pada gambar yang disentuh. Tak sanggup lagi mengatakan semua hal yang menyakiti hati.

Ndari mengambil ponsel bergegas keluar menghidupkan sepeda montor. Atmaji masih diam tak memperdulikan, pikirnya tak mungkin anaknya berani kabur dari rumah. Sebab nanti akan kesulitan mencari makan. Ditambah dirinya belum ada pengalaman kerja.

"Sudahlah sepertinya tak harus dicemaskan," ucap Atmaji pada diri sendiri.

Tibalah Ndari di tempat tujuan yakni makam mama. Di sana dirinya menangis sepuas-puasnya. Mengelurkan unek-unek dan rasa sakit yang selama ini menganjal di hati. Berkali-kali tangannya menyapu tangis yang mengalir tak henti.

"Ma maaf … Ndari enggak bisa cegah Ayah. Beliau tetap ngotot untuk menikah dengan Tante Mitha." Cukup lama Ndari berada di makam mama. Rasanya tak ingin beranjak dan ingin tetap di sana selamanya.

Tanpa sadar Ndari yang melamun ditegur oleh seseorang. Kakek berkacamata itu memang sering kali membersihkan area makam ini. Beliau adalah seorang tukang sapu.

"Permisi, Nak … Nak." Tangannya mendarat pada sisi bahu sontak Ndari kaget. Lamunanya buyar, menatap kakek itu dengan tanda tanya. Sang kakek tersenyum dan senyum teduh menenangkan. Mendamaikan hati bagi siapa saja yang melihatnya.

"Kakek … ada apa?" Ndari sudah tak asing dengan kakek yang sering kali melempar senyum. Pada saat dirinya dan ayah berkujung ke makam mama.

"Sudah senja, Nak. Apa tak ingin pulang?"

Ndari menoleh mengamati sekeliling memastikan. Benar saja ternyata dirinya sudah cukup lama berada di sini. Diembuskan napas kehampaan. Bingung antara pulang atau tidak. Kakek itu masih saja mengamati anak dirinya.

"Tumben tidak bareng dengan Ayah, Nak?"

Ndari menatap kakek itu. Ternyata beliau juga sering mengamati kehadirannya sebab hapal dengan kami.

"Enggak ikut, Kek. Ayah ada di rumah," sahutnya kalem.

"Sudah senja alangkah sebaiknya pulang, nanti Ayahmu mencari."

Hanya anggukan kepala yang Ndari gunakan untuk menanggapi. Sang Kakek kembali berjalan sepertinya hendak pulang ke rumah. Ndari masih ditempat cukup lama duduk di sana sampai Kakek tua itu tidak ada.

"Haruskah aku pulang, Ma? Sedangkan di rumah saja tak betah. Apa yang harus Ndari lakukan, Ma?"

Air mata yang sudah lama kering kini kembali menitik. Ndari segera menyeka mencoba tersenyum di hadapan makam Mama. Dirinya harus kuat dan tidak lemah seperti ini. Perlahan tangan mengusap batu nisan. "Ndari pulang dulu, Ma."

Saat kakinya sampai di gerbang keluar dikejutkanlah oleh kakek tua itu. Duduk di sebelah sisi pintu masuk seperti tengah menunggu sesuatu. Ndari berjalan mendekati, "Kakek nunggu siapa?"

"Nunggu kamu. Sepertinya kamu sedang tidak baik-baik saja. Apa benar?"

Ndari mengangguk dan memilih duduk di sebelahnya. Lalu lalang kendaraan di depan mereka terlihat begitu ramai. Beberapa kendaraan tak henti melintas. Sesekali rambut Ndari terbang karena tertiup angin yang menerpanya.

"Ceritakan saja pada Kakek jika dirimu ada masalah. Siapa tahu Kakek dapat memberi solusi," tuturnya lembut.

Padangan mata yang masih menatap tak sedikitpun teralihkan. Apa benar jika dirinya bercerita pada orang luar tidaklah masalah? Namun, jika dipendam sendiri hati ini sungguh sangat tidak sanggup lagi untuk menampung.

"Nak, jalan melamun." Kakek itu kembali menegurnya lembut.

"Iya, Kek. Saya hanya sedang buntut tak menemukan jalan keluar dari yang menjadi beban isi kepala."

Kakek itu malah tersenyum, menatap dengan sorot mata ketulusan. Ndari malah bigung. Padahal apa yang dikatakan serius tetapi mengapa seolah-olah seperti diremehkan.

"Kenapa Kakek senyum?"

"Dengarlah Nak, ujian yang menimpa kita itu selalu ada jalan keluarnya. Percayalah, dekatkan dirimu pada Sang Pencipta."

Ndari masih diam dengan tatapan wajah netral. Hening untuk sesaat. Hanya semilir angin yang bersuara di antara dua manusia yang memilih diam.

"Pulanglah, Nak. Sebenar lagi malam," tutur Kakek berajak bangkit.

"Ke mana harus pulang? Sedangkan rumah yang ditinggal terasa sepert neraka."

"Tidak boleh berkata seperti itu," ucap Kakek yang sudah beranjak bangkit untuk pulang, "Kakek duluan kamu hati-hati, Nak."

Ndari mengamati kepergian kakek tua yang berjalan pelan. Mengamati Kakek yang sudah mulai mengecil kemudian hilang dipersimpangan. Sepertinya rumah Kakek tak jauh dari makam. Beranjak dirinya bangkit dan melaju menuju rumah.

Asing, baru saja masuk di halaman depan suasana sudah terasa tidak nyaman. Entahlah, sepertinya ada yang tidak beras dan Ndari memilih untuk masuk. Sontak kaget, di dalam sana ada Miko berbincang dengan Ayah.

Tanpa Ndari sadar ternyata memang ada montor Miko di luar. Dirinya sampai tidak fokus. Miko yang awalnya menatap bingung langsung berubah senyum. Mungkin di benaknya menyimpan pertanyaan, dari mana saja jam segini baru pulang? Namun, cukup lama keduanya berpandangan tak ada pertanyaan yang muncul.

Ndari kembali menutup pintu. Ayahnya mengamati dengan tatapan tidak suka. Sebab anaknya tidak mengucap salam, meneggur atau bahkan menyapa sebentar.

"Ndari dari mana?" Pertanyaan Ayah yang mengehentikan langkah kaki.

Dengan berani, Ndari menolak menjawab. Mulutnya masih saja membisu dan kembali melanjutkan langkah kaki. Membuat Atmaji mengepalkan tangan geram. Padahal di sana ada Miko, kekasihnya tetapi juga tidak disambut.

Miko sendiri bingung degan perubahan sikap kekasihnya yang sangat tidak sopan. Atmaji dan pemuda itu saling melempar pandang. Tak mungkin Atmaji marah-marah lagi di saat ada Miko. Nanti malah bisa dicap calon mertua galak.

"E- Om, kenapa sikap Ndari berubah? Bahkan terlihat tidak bahagia."

"Ahh, biasa darah muda. Mungkin juga dia sedang ada tamu jadinya sadis begitu."

"Hehe ... begitu ya, Om."

Miko hanya mengangguk-angguk kepala. Tak ingin memperpanjang masalah. Kehadiran kemari untuk menemui Ndari tetapi kekasihnya itu malah masuk dalam kamar. Entah apa yang dilakukan padahal sangat ingin bicara dengannya.

"Maaf sebelumnya 0m. Bagimana cara merayu Ndari agar saya dapat bicara dengannya."

"Ohhh … sebentar," sahut Atmaji bangkit dan mengetuk pintu kamar anaknya.

Satu, dua, tiga dan diketuk berulang kali Ndari tak juga merspons. Tak ada sahutan dari dalam kamar. Atmaji kembali menemui Miko dan menyuruhnya mengetuk sendiri.

"Ndari … kamu ngapain di dalam. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Ndari …."

"Ndari kamu denger dipanggil Miko tidak. Buka pintunya," teriak Atmaji.

Ndari yang masih kesal dan stres memilih diam, mengabaikan.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C17
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login