Download App
65% Ex-Bangsat Boys / Chapter 26: Just Wanna be With You

Chapter 26: Just Wanna be With You

Jeka mengkomandoi Jimi dan Victor untuk mengemasi barang-barang mereka sekaligus barang miliknya. Mereka memutuskan untuk pulang lebih dulu karena butuh perawatan medis. Jeka juga meminta agar para peserta ospek dipulangkan besok pagi, ia tidak mau ambil resiko kalau seandainya Guan mengirim kelompok bersenjata lagi. Villa sudah tidak aman. Bahkan jika memungkinkan, mereka akan dipulangkan sekarang. Tapi tidak mungkin kan meminta sopir Bus datang tengah malam begini?

Sementara itu Jeka melangkah ke dapur untuk membuat jus yang Unaya minta. Meski kesakitan tapi Jeka semangat melakukannya, ia bahkan sudah tidak sabar untuk menemui Unaya. Namun ketika ia memotong buah apel, setetes darah mengenai apel itu. Semakin lama semakin banyak hingga Jeka harus mendongakkan kepalanya agar darah di dahinya tidak menetes kebawah. Kalau seperti ini, bagaimana bisa membuatkan jus untuk Unaya? Masa jus apel campur darah, itu mengerikan.

"Sini biar aku yang buatin". Juwi mengambil alih pisau dari tangan Jeka kemudian memotong setengah buah apel yang masih bersih itu. Jeka tertegun namun sedetik kemudian mengulas senyum manis. Untung ada Juwi, gadis itu selalu datang tepat waktu disaat ia membutuhkan.

"Gak usah pakai gula, Unaya lagi diet". Kata Jeka. Sebagai manager, Jeka memang bertanggung jawab penuh atas Unaya. Bahkan sampai menjaga pola makan serta pantangan yang harus dilakukan gadis itu.

Juwi tidak menyahuti namun melakukan perintah Jeka. Diam-diam gadis itu menangis karena khawatir Jeka kenapa-napa. Mereka sudah berteman baik sejak jadi maba, sudah pasti Juwi menganggap Jeka seperti keluarganya sendiri. Kalau saja Jeka tadi tumbang, sudah pasti ia akan merasa sangat kehilangan.

"Hiks... hikss". Isakan Juwi membuat Jeka menarik sebelah alisnya keatas. Padahal Juwi sudah sengaja menyalakan blender agar suara tangisnya tidak terdengar.

"Aku gak apa-apa Wi. Aku gak akan mati secepat itu kalau belum dapetin apa yang aku pingin. Tinggal selangkah lagi aku bakal hidup bahagia sama Unaya". Ujar Jeka yang sukses membuat Juwi terenyuh. Juwi mematikan blender kemudian berbalik sambil membawa kain. Tanpa bicara apapun, gadis itu mengikatkan kain itu ke kepala Jeka agar darah di dahi pemuda itu tertahan. Jeka juga tidak banyak berkomentar, pemuda itu hanya bisa menatap wajah cantik Juwi dari bawah. Andai Unaya tidak memenuhi seluruh ruang dihatinya, ia pasti akan jatuh cinta pada gadis didepannya ini. Tapi sayangnya hatinya sudah ada yang punya. Juwi hanyalah sosok penjaganya saat Unaya tidak ada.

"Biar gak mengenaskan kalau ketemu Unaya". Juwi beralih mengusap wajah penuh darah Jeka dengan lap basah. Perhatian gadis itu tolong jangan dianggap berlebihan. Juwi murni melakukan ini karena peduli pada sesama manusia. Kalau ada orang lain yang terluka, ia juga pasti akan dengan senang hati menolongnya kok. Julukannya di kampus aja malaikat tak bersayap :')

Jeka menghentikan gerakan tangan Juwi hingga mata mereka bersiborok. Pemuda itu tersenyum lembut kemudian mengambil alih lap basah dari tangan Juwi.

"Thanks ya Wi. Kamu cewek baik, andai aku ketemu kamu jauh lebih dulu dari Unaya. Mungkin posisi kita sekarang beda. Tapi sayang, aku udah terlanjur jatuh cinta gak ada obat ke dia". Canda Jeka yang membuat Juwi terkekeh. Gadis itu geleng-geleng kepala kemudian menuangkan jus apel yang tadi ia buat kedalam gelas.

"Jangan kepedean! Kamu bukan tipe aku kaliiiiii. Buruan samperin tuh Tuan putrinya yang daritadi udah nungguin pangeran pulang dari medan perang". Juwi mengulurkan segelas jus apel kearah Jeka yang diterima dengan senang hati. Memang tidak ada yang namanya pertemanan diantara laki-laki dan perempuan, tapi semua itu tergantung dari bagaimana kita memberikan sebuah batasan. Juwi dan Jeka memang dekat, namun Jeka memberikan batasan setinggi mungkin diantara mereka. Seperti tembok tak kasat mata, karena pada dasarnya Jeka sudah menemukan kepemilikannya.

***

Unaya bertopang dagu sembari menatap kearah jendela kamar. Kamar kelompoknya ada dilantai satu. Gadis itu menunggu kedatangan Jeka sambil melamun. Ia tadi sempat ketakutan saat mendengar suara tembakan dari dalam hutan. Membayangkan betapa sulitnya keluar dari sana dalam keadaan selamat. Air matanya menetes lagi, ia memikirkan pesan dari Guan sampai kepalanya pusing.

Kalau mundur sekarang, kasihan Jeka sudah berjuang sampai mempertaruhkan nyawanya. Tapi kalau tetap egois pada pendiriannya, bukan hanya nyawa Jeka saja yang terancam tapi juga keluarganya. Kenapa sih ia hidup didunia ini tapi justru menyusahkan banyak orang. Dulu sakit-sakitan, sekarang punya mantan psikopat gila.

"Ya Tuhan kalau memang engkau mengadakan seleksi alam, tolong ambil aku saja". Gumam Unaya. Kalau ia yang mati, semua kelar kan? Toh semua masalah berpusat pada dirinya. Tapi sayangnya Unaya tidak berpikir sependek itu untuk bunuh diri. Ia tahu di dalam agamanya tidak diajarkan untuk mendahului kehendak Tuhan. Ia masih diberikan nyawa, maka artinya masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi.

"Kak Unaya ada good news!!!". Teriak Zara yang baru saja dari lantai bawah. Ia tadi tidak sengaja bertemu Jimi dan Victor.

"Udah ada kabar soal mereka?". Tanya Unaya tidak sabar. Zara dengan wajah sumringahnya mengangguk dengan semangat.

"Gue barusan ketemu Kak Jimi sama Kak Victor di lantai bawah. Besok kita semua dipulangin karena keadaan vila bahaya. Tapi mereka selamat Kak". Zara loncat-loncat saking bahagianya.

"Terus Jeka...". Unaya mengalihkan tatapannya kembali ke jendela vila. Ia melihat sosok Jeka berjalan menuju vila sambil membawa jus pesanannya. Jeka menepati janjinya pada Unaya. Unaya membekap mulutnya dengan mata berkaca-kaca kemudian bergegas turun kebawah untuk menyambut pangerannya.

"Dia selamat Ra, dia nepatin janji". Kata Unaya sebelum benar-benar pergi. Zara tersenyum getir, gadis itu menatap Jeka dari jendela.

"Kalau soal menganggumi, aku nomor satu. Tapi kalau soal memiliki, aku sadar diri deh Kak". Gumamnya sembari menarik nafas panjang. Udah punya Angga tapi masih ngarep ke Jeka, haduhhh bersyukur aja deh Ra. Kan Angga juga udah kek Kim Taehyung KW.

Unaya langsung menghambur kepelukan Jeka, ia peluk erat-erat pemuda kesayangannya itu. Bahkan sampai tubuh Jeka terhuyung kebelakang. Pemuda itu terkekeh, ia merengkuh tubuh Unaya dengan sebelah tangannya. Ia kecup dahi Unaya sedikit lebih lama. Keduanya menangis namun ini tangisan haru. Berat sekali rasanya untuk mereka akhir-akhir ini. Banyak hal yang tak terduga terjadi, cobaan bertubi-tubi datang hingga mereka dipaksa kuat. Ketakutan akan kehilangan satu sama lain setiap hari menghantui. Sudah cukup Tuhan, mereka tidak sanggup lagi. Tolong persatukan dan buatlah mudah hubungan mereka.

"Aku berhasil". Kata Jeka dengan suara serak. Unaya tidak menyahuti dan justru memeluk Jeka lebih erat lagi. Takut banget kehilangan pemuda ini, jangan sampai kehilangan untuk yang kesekian kalinya.

"Ini jusnya gimana?!". Unaya mendongak untuk menatap wajah lelah Jeka kemudian melempar jus yang dibawa pemuda itu kesembarang arah.

"Aku gak mau jus yang ini, maunya Just wanna be with you... forever!". Katanya dengan wajah basah oleh air mata. Jeka mengusap wajah Unaya yang basah kemudian menangkup wajah gadis itu. Di ciumnya bibir sang gadis kemudian dikulum agak kasar, sumpah ia lelah... lelah sekali. Takdir cinta seakan mempermainkan mereka. Kalau memang tidak jodoh, sudah biarkan mereka saling melupakan. Tapi kenapa tiba-tiba mereka kembali dipertemukan dalam keadaan masih saling cinta? Unaya juga membalasnya tak kalah kasar, ciuman mereka sarat akan emosi. Setelahnya terdengar suara isak tangis yang keluar dari mulut mereka. Saliva sudah menyatu dengan air mata.

Perlahan Jeka menarik ciuman mereka hingga benang saliva menyambung dari bibir masing-masing. Ia usap bibir Unaya yang basah. Unaya dengan wajah merahnya perlahan membuka mata.

"Aku lega banget, akhirnya bisa meluk kamu kayak gini. Aku yakin tinggal selangkah lagi menuju happy ending". Jeka mengusap rambut Unaya lembut. Unaya mengangguk, gadis itu berjinjit untuk mengecup bibir Jeka sebelum berujar.

"Aku benci ending yang menggantung, apalagi sad ending".

"Maunya happily ever after". Tambah Jeka. Pemuda itu menyatukan dahinya ke dahi Unaya. Mereka saling memandang dengan penuh damba, berharap bisa seperti ini terus, selamanya. Memang seharusnya ending kisah pangeran dan tuan putri happily ever after kan?

***

Pagi ini Sonia super heboh. Ya gimana enggak heboh kalau pagi-pagi sudah dapat kabar kalau Jeka masuk rumah sakit karena ditembak. Jun juga jadi ikutan heboh karena Sonia ceritanya setengah-setengah, maksudnya gak dijelasin secara detail keadaan Jeka. Ia berfikir Jeka kritis karena kena tembak, padahal keadaan pemuda itu baik-baik saja hanya perlu di jahit dahinya.

"Mama kok bisa sih Bang Jeka ditembak kelompok bersenjata? Bukannya kelompok bersenjata itu adanya di pelosok ya?". Tanya Yeri yang saat ini sedang dibantu menyisir rambut oleh Sonia. Ini masih pagi sekitar pukul lima, jadi mereka buru-buru sekali bahkan mandi pun secepat kilat.

"Berasa Bang Jeka masuk kedalam film gak sih Yer? Kok bisa ya Bang Jeka ngelawan kelompok bersenjata yang bawa pistol gitu?". Komentar Jeni sambil bergedik ngeri. Sonia menghembuskan nafas panjang, ini lagi dalam keadaan darurat tapi anak-anaknya kok masih sempet-sempetnya tercengang.

"Udah yuk! Let's Go! Let's Go! Kita kerumah sakit sekarang, jangan lupa ucapkan bissmilah". Komando Jun yang langsung sigap menarik tangan Yeri dan Jeni. Maklum masih bocil jadinya suka gak paham situasi. Udah tahu mamanya stress dan panik gitu malah pada bahas hal-hal random.

"Bissmilahirohmanirokhim...". Ucap mereka serentak kemudian bergegas keluar dari rumah. Baru juga mereka hendak masuk ke dalam mobil, Irene keluar dari taksi sambil membawa koper. Wanita itu langsung mendekati Sonia dan bertanya kenapa buru-buru sekali.

"Mbak Sonia...". Panggil Irene. Sonia yang kalang kabut pun menoleh. Wanita itu terkejut dengan kedatangan Irene yang tiba-tiba.

"Ya ampun Mbak Irene? Kapan pulang? Sama siapa?".

"Mamaaaaa....". Teriak Jeni dan langsung menghambur kepelukan Irene. Irene membalas pelukan Jeni dan mengecup pucuk kepala gadis itu.

"Barusan aja nyampe. Mau kemana buru-buru banget?".

"Ini lho Jeka tuh masuk rumah sakit, kena tembak".

"Hah?". Sontak saja Irene membulatkan matanya. Ini lho kena tembak pistol beneran bukan mainan, ya siapa yang gak kaget.

"Ceritanya panjang, ikut aja yuk!". Ajak Sonia. Dan akhirnya mereka semua meluncur kerumah sakit untuk melihat keadaan Jeka.

Sementara itu dirumah sakit, Unaya justru menangis tersedu-sedu saat menemani Jeka di ruang rawat. Yang dijahit Jeka, yang nangis Unaya. Bahkan yang teriak 'aduh! Sakit!' Juga Unaya. Jeka malah cekikikan melihat tingkah Unaya, dokter yang sedari tadi menjahit luka di dahi Jeka juga jadi tidak konsen.

"Lucu ya Mas, pacarnya". Kata dokter itu yang membuat Jeka terkekeh. Unaya menatap luka Jeka yang baru dijahit dengan harap-harap cemas. Ini tuh mirip kayak anak kecil yang nangis karena mainannya rusak terus nungguin karena lagi dibenerin ayahnya.

"Kalau gak lucu bukan pacar saya Dok". Sahut Jeka.

"Udah dong yang nangisnya. Kasihan nih lho dokternya gak konsen". Unaya menarik ingusnya kemudian mendekat kearah dokter.

"Dokter, pelan-pelan aja ya jahitnya. Jangan sampai jarumnya ketinggalan didalem. Semangat!". Kata Unaya pelan. Dokter itu terkekeh begitu juga dengan Jeka.

"Udah sini kamu duduk aja, yang anteng. Pegang tangan aku biar batre-nya full". Pinta Jeka. Pemuda itu meraih tangan Unaya kemudian digenggam erat. Unayapun menurut, gadis itu membalas genggaman tangan Jeka tak kalah erat sambil diusap punggung tangannya.

"Aku tidur bentar ya, capek banget". Pamit Jeka. Sumpah tenaganya terkuras habis, capek mental sih lebih tepatnya.

"Sleep well". Unaya mengelus-elus punggung tangan Jeka hingga pemuda itu terlelap. Tak lama kemudian dokter selesai menjahit luka Jeka, namun ternyata pekerjaan dokter itu belum selesai. Tiba-tiba dokter menyingkap hoodie yang dikenakan Jeka hingga Unaya bisa melihat luka bekas tusukan disana.

"Dokter, itu luka tusukan atau apa?". Tanya Unaya memastikan. Gadis itu membekap mulutnya, kok bisa Jeka kena luka kayak gitu dan dia enggak tahu?

"Ini kena goresan pisau Mbak, udah mulai kering makannya mau saya kasih salep lagi". Sahut dokter itu. Kemudian Unaya mulai menerka-nerka darimana Jeka bisa mendapatkan luka goresan seperti itu. Apa mungkin ajudan yang diutus Guan untuk menguntit Jeka? Dan jeka sengaja tidak menceritakan padanya.

Sumpah Unaya tidak menyangka kalau Guan akan melakukan tindakan senekat itu. Pokoknya dalam waktu dekat Unaya akan menemui pemuda itu. Ia tidak mau hanya diam ditempat sambil menyaksikan Jeka yang setiap saat dalam bahaya. Unaya yakin Guan tidak akan menyakitinya, karena pemuda itu mencintainya bahkan sampai jadi psikopat.

"Unaya, gimana keadaan Jeka?". Sonia dan yang lain masuk dengan tergesa-gesa. Mereka tidak sabar melihat kondisi Jeka.

"Bang Jeka!!! Huweeeee...". Rengek Yeri dan Jeni sambil nangis-nangis disamping ranjang Jeka seakan-akan pemuda itu sudah mati.

"Jeka habis dijahit Ma, dia...".

"Hah! Bang Jeka kok gak napas?! Abang lo gak mati kan?!". Teriak Yeri heboh. Belum juga Unaya selesai menjelaskan, Yeri sudah asal menyimpulkan saja.

"Jangan bercanda dong Yer! Masa sih si Jeka mati?! Innalillahi". Komentar Jun yang ikut mengecek kondisi Jeka.

"Jeni cepet ambil Alquran, kita harus doain Bang Jeka biar dosa-dosanya diampuni!". Perintah Yeri.

"Unaya emang Jeka?". Tanya Sonia menggantung, yang dibalas gelengan Unaya. Sonia bernafas lega, untung Jeka baik-baik saja dan masih hidup.

"Yaaasiiiinnnnnn... walquranil hakim...".

"Anjrit berisik banget sih! Gue ngantuk nih!". Jeka mencak-mencak. Gimana gak sebel kalau lagi tidur malah dikira mati?

"Jekaaaaa enggak mati". Teriak Jun heboh kemudian memeluk Jeka diikuti Yeri dan Jeni. Unaya, Sonia, dan Irene hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka.

"Unaya, mama mau bicara sebentar". Bisik Irene. Wanita itu menggandeng tangan Unaya untuk keluar dari kamar rawat, mereka hendak bicara dari hati ke hati.

Mama dan anak itu duduk dibangku depan kamar rawat Jeka. Awalnya berbasa-basi hingga obrolan serius itu dimulai.

"Mama mau cerai sama Papa kamu". Kata Irene hati-hati. Jujur Unaya kaget sekali, kenapa? Kok setiba-tiba itu? Padahal Mama Irene dan Papa akur-akur saja selama ini.

"Kenapa?". Unaya menatap tepat di mata Irene. Ia menangkap kesedihan disana. Dibalik senyum bahagia wanita itu, apa ada sesuatu yang tidak ia ketahui?

"Udah gak cocok aja, udah beda pendapat. Apalagi Mama gak suka cara papa kamu berfikir, terlalu gegabah dan buru-buru. Otak udah bekerja gak sesuai hati nurani lagi, Mama gak bisa hidup sama lelaki seperti itu. Maafin Mama ya". Isak Irene. Unaya menggenggam tangan Irene lembut. Jujur ia tidak ingin Irene berpisah dari Papanya, tapi kalau wanita itu tidak bahagia Unaya juga tidak bisa memaksa. Ia pun tahu bagaimana rasanya pura-pura bahagia di depan banyak orang. Tahu bagaimana rasanya tertekan karena bersanding dengan pemuda yang tak ia cintai.

"Mama yakin sama keputusan Mama?". Tanya Unaya memastikan.

"Ya, sangat yakin". Unaya menghela nafas panjang. Kalau Irene saja sudah seyakin ini, maka tidak ada alasan untuk menahan wanita yang selama ini menjadi Mama sambungnya itu.

"Tapi Unaya boleh minta satu hal?". Tanya Unaya serius.

"Apa sayang?".

"Kedepannya Papa pasti akan menghadapi masa-masa sulit karena Mas Guan. Unaya harap Mama bertahan disisi Papa sampai masa sulit itu berakhir. Unaya janji gak akan lama Ma, sebentar lagi Unaya akan selesaiin masalah ini. Setelah itu, Unaya gak akan halangin langkah Mama lagi...". Irene sedikit menimang permintaan Unaya. Bisakah ia bertahan sebentar lagi? Namun ia tidak bisa menolak permohonan Unaya yang begitu sederhana.

"Unaya mohon, Ma...". Ujar Unaya sekali lagi. Irene akhirnya mengangguk, setidaknya ia akan meninggalkan Suryo dengan cara yang baik dan dalam keadaan yang baik juga. Meski sebaik-baiknya cara berpamitan, perpisahan tetaplah menyakitkan.

"Makasih Mama, Unaya bersyukur pernah memiliki Mama seperti ini. Unaya gak pernah menyesal. Mama Irene memang pantas bahagia". Ujar Unaya tulus sembari memeluk Irene erat. Sebentar lagi ia tidak akan bisa memeluk Irene seperti ini lagi. Mereka akan hidup terpisah, berjarak seperti waktu-waktu yang lalu.

--Ex-Bangsat Boys--


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C26
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login