Sore ini Dinda sengaja pergi keluar kos. Dia melihat-lihat komplek seberang sebab kata Nadya ada yang sedang mencari guru les untuk anaknya. Dan benar saja, ada empat anak yang membutuhkan guru les. Mereka enggan mengantarkan anak-anak mereka les di luar, sebab jadwal mereka cukup sibuk. Jadilah mereka mencari guru les yang bisa datang ke rumah mereka. Dan dari empat anak itu, kebetulan rumah mereka bersebelahan. Jadi Dinda memberi saran jika setiap hari keempat anak tersebut les secara bersamaan, dan tempatnya bergantian. Orangtua mereka sangat setuju, terlebih Dinda memasang tarif untuk mengajar les terbilang sangat murah. Jadi untuk hari senin sampai kamis Dinda menjadi guru les mereka. Dinda sengaja meminta bayarannya awal, awalnya para orangtua hendak menolak. Namun setelah ia jelaskan apa alasannya, mereka pun memberikan apa yang Dinda mau dengan senang hati. Setidaknya bagi Dinda, uang itu bisa ia gunakan untuk kebutuhannya selama sebulan. Dan jika ada lebih bisa ia tabung untuk keperluan mendadak lainnya.
Dinda tersenyum tipis, rupanya tinggal di sini tak seberat apa yang ia kira. Bahkan, dia bisa hidup dengan tenang sekarang, tanpa harus melihat orang yang sangat ia benci.
Keesokan harinya, Dinda sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia hendak mengajak berangkat Nadya pun cewek itu masih enggan turun dari ranjang. Katanya, dua malam ini Nadya kurang tidur. Dinda sama sekali tak tahu alasan Nadya kurang tidur itu. Meski kadang-kadang ia berpikir, apakah tangisan tengah malamnya cukup keras dan bisa didengar oleh Nadya? Tapi Dinda rasa bukan itu.
Dinda segera duduk di bangkunya, rupanya Selly sudah ada di sana. Duduk, memandangnya, kemudian tersenyum tipis. Untuk kemudian ia kembali sibuk dengan bukunya. Dinda memandang mejanya, sebuah buku yang masih bersegel ada di sana. Buku yang hendak ia pinjam di perpus kemarin.
"Punya elo?" tanyanya kepada Selly.
Selly menggeleng, dia pun berdiri menyalakan AC ruang kelas. Kemudian mengambil sapu, dan membersihkan ruangan. Dinda yang tahu pun ikut membantu, mengambil kemonceng kemudian membersihkan meja serta kaca kelas.
"Sedari gue dateng itu benda udah ada di situ. Kayaknya buat elo," jawab Selly.
Dinda kembali mendekat ke arah mejanya. Mencoba mencari-cari siapa gerangan yang memberinya buku itu. Tapi, tidak ada kertas atau pun apa pun yang membuatnya tahu siapa yang memberikannya. Tapi, praduganya tertuju kepada satu orang. Ya, siapa lagi kalau bukan Nathan. Cowok yang sedang menandainya, dan dalam seminggu ini mungkin dia akan dihempas dari sekolah ini.
"Dua hari," kata Dinda membuat Selly mengerutkan kening. "Elo bilang kan, siapa aja yang ditandai Nathan bakal keluar dari sekolah ini dalam waktu seminggu. Ini udah hari kedua, jadi lima hari lagi gue bakal dikeluarkan dari sekolah?" ucapnya.
Selly diam tak menjawab ucapan Dinda. Karena sudah ada beberapa anak yang mulai masuk ke dalam kelas.
"Udah cantik, rajin, baik hati, kalem, pinter. Elo istri idaman banget sih, Din. Coba aja elo mau jadi calon istri gue," kata Regar. Cowok berambut klimis itu tersenyum lebar ke arah Dinda. Sementara Dinda menanggapinya tak acuh.
"Din, kriteria cowok elo yang kayak apa sih? Kalau nyari yang setia gue siap jadi barisan pertama. Tapi kalau nyari yang kaya gue mundur deh," Benny menimpali.
Selly terkekeh mendengar ucapan Regar, dan Benny. Tapi, dia tak berani berkata apa pun. Sebab bagi kelas ini, dia adalah cewek paling tidak dianggap di kelas. Meski begitu, Selly cukup bersyukur, setidaknya dia tidak menjadi incaran oleh pilar mana pun.
"Anjir gue geli ama ucapan lo, Anjing!" kata Regar sambil nempeleng kepala Benny.
"Namanya juga usaha, Nyet. Yakali Dinda khilaf, lalu mau ama gue," jawab Benny. Mengelus kepalanya yang mungkin terasa sakit.
Tapi, Regar dan Benny buru-buru diam, saat Nathan datang. Berjalan dengan santainya tanpa peduli siapa pun, kemudian duduk diam di bangkunya.
"Tumben tuh anak masuk pagi, biasnaya mampir-mampir dulu di rumah simpenan," celetuk Regar.
Benny tertawa. "Maklumlah, ada target baru. Genjatan senjata, Nyet!" imbuh Benny.
Dinda sama sekali tak memedulikan ucapan Regar, dan Benny. Setelah ia selesai membersihkan meja, dan jendela kelas. Ia kembali ke mejanya, mengambil buku yang sedari tadi ada di mejanya, kemudian diletakkan dengan sedikit di banting tepat di meja Nathan. Cowok berambut cokelat itu pun mengerutkan keningnya, sampai mata abu-abunya tampak nyata. Tapi, Nathan diam saja. Saat Dinda memandangnya dengan tatapan penuh kejengkelan itu.
"Ini ulah elo, kan?" tanya Dinda. Nathan masih diam. "Nggak usah sok pahlawan deh, gue nggak butuh," lanjutnya. Kembali ke bangkunya kemudian duduk.
Regar, dan Benny saling sikut. Kemudian dia duduk di sisi samping Nathan, dan depan Nathan.
"Anjir, baru kali ini gue liat elo dimarahin cewek dan diem aja, Than. Sehat lo?" kata Regar. Dia memegang kening Nathan, tapi temannya itu diam saja.
"Nggak usah dibalikin, gue yakin pelajaran entar elo butuh," dan masih dengan nada tenang, dan ramahnya Nathan mengembalikan lagi buku yang dikembalikan oleh Dinda.
Dinda hanya melirik, saat buku itu berada lagi di mejanya. Dia benar-benar ingin mengatakan sumpah serapah kepada Nathan. Tapi, selalu ia tahan. Amarahnya yang terlalu meletup-letup selalu ditahan, sebab ia takut jika teman-temannya yang lain mengorek kenapa ia sampai sekesal itu dengan cowok sejenis Nathan.
"Elo nggak ada kewajiban kok bantuin gue. Dan gue nggak butuh sok dibantu ama elo," lagi Dinda mengembalikan buku itu. Lalu dia mengabaikan Nathan begitu saja.
Selly hanya bisa menyikut lengan Dinda, dengan ekspresi takut yang luar biasa. Sementara Nathan, lagi... dia menahan napasnya, menampilan senyum simpulnya.
"Sabar, Than. Ujian, itu tandanya nggak semua cewek bisa lo dapetin dengan mudah. Ada spesies baru sejenis Dinda. Yang gue ama Regar aja tadi abis ditolak mentah-mentah," kini Benny bersuara.
"Payah lo," ledek Nathan.
Regar tertawa. "Ya elah, anjir. Bukannya elo juga ditolak mentah-mentah? Jadi kita imbang nih!" timpal Rega.
Nathan terkekeh mendengar itu. Mereka berbicara dengan suara cukup keras. Seolah tak peduli jika orang yang sedang dibicarakan ada di samping mereka.
"Omong-omong, baru kali ini ya, kita imbang ama Nathan kalau urusan cewek. Kayaknya elo kudu bikin tumpeng deh, Nyet!" seru Benny.
"Tumpeng pala lo gundul, Bangke!"
"Tumpeng sebagai lambang kalau kita ini sama-sama pecundang. Hahaha!"
"Nggak lucu!"
Dan Nathan malah tertawa melihat tingkah kedua temannya itu. Sementara Dinda, sudah tak peduli lagi. Melihat tiga cowok yang rupanya sahabatan itu benar-benar bagai pinang dibelah tiga.
"Lo nggak seharusnya gitu, Din. Jangan judes-judes," bisik Selly.