"Erza, kamu sudah kembali? Nona tampak sedikit marah dan bahkan tidak mau makan." Setelah Erza kembali ke rumah, Bu Siska tampak sangat panik.
"Aku akan naik dan berbicara dengannya." Erza menggelengkan kepalanya dan berjalan dengan semangkuk mie. Awalnya, hubungan antara dirinya dan Lana telah membaik, jadi dia tidak berharap untuk membuat Lana marah lagi kali ini.
"Apa kamu tidak tahu cara mengetuk pintu?" Setelah Erza membuka pintu ruang kerja Lana, Lana mengerutkan kening.
"Lana, apa kamu masih marah? Tadi terjadi sesuatu, jadi aku keluar. Aku mendengar dari Bu Siska bahwa kamu belum makan. Ini, aku bawakan mie. Makanlah." Saat berbicara, Erza meletakkan mie di atas meja Lana.
"Apakah aku makan atau tidak, itu tidak ada hubungannya denganmu," jawab Lana ketus.
"Kamu adalah istriku, tentu ada hubungannya denganku." Erza merasa terkadang wanita ini sangat menjengkelkan.
"Apakah kamu masih ingat bahwa aku istrimu?" tanya Lana.
"Tentu saja. Jika aku tidak menganggapmu sebagai istriku, aku tidak akan ke sini walaupun aku mendengar kamu belum makan," jawab Erza panjang lebar.
"Lalu apa yang baru saja kamu lakukan tadi?" Meski masih sangat marah, Lana merasa jauh lebih nyaman dengan kata-kata Erza.
"Aku pergi untuk mencari informasi tentang orangtuaku." Erza menarik napas dalam. Dia merasa bahwa ada beberapa hal yang lebih baik untuk dibicarakan dengan Lana. Bagaimanapun, ini bukan rahasia, dan dia harus menghindari kesalahpahaman yang tidak perlu di masa depan.
"Mencari orangtuamu?" tanya Lana.
"Ya, ketika aku berumur delapan tahun, orangtuaku tiba-tiba menghilang dengan aneh. Pihak polisi tidak bisa menemukan mereka. Terakhir kali aku menelepon dan mereka berkata bahwa orangtuaku telah meninggal." Erza berkata dengan mata yang sedikit suram.
"Apakah itu benar?" tanya Lana mulai khawatir.
"Itu juga dimuat di koran saat itu." Saat berbicara, Erza juga mengeluarkan koran delapan tahun lalu dari sakunya. Lana mengambil koran itu dan membacanya.
"Erza, maaf, kenapa kamu tidak memberitahuku?" Setelah membaca koran itu, Lana kehilangan semua amarahnya. Dia tidak menyangka kisah hidup Erza sangat menyedihkan. Dia merasa bersalah telah memperlakukan Erza dengan sangat cuek selama ini.
"Tidak apa, tapi kamu harus makan," pungkas Erza.
"Baiklah." Lana memandang Erza, lalu mengambil mie dan mulai makan. Ketika melihat ini, Erza juga diam-diam menghela napas lega.
"Lalu, apa ada kabar dari orangtuamu?" tanya Lana.
"Aku hanya mengetahui bahwa ibuku adalah anak dari pemilik Perusahaan KGN," jelas Erza.
"Perusahaan KGN? Itu perusahaan besar! Haruskan aku menyelidiki masalah ini?" Lana sangat terkejut ketika mendengar tentang Perusahaan KGN. Dia tahu persis betapa kuatnya perusahaan itu.
"Entahlah. Aku tidak tahu kenapa, tapi ibuku diusir oleh keluarganya saat itu." Erza menjelaskan dengan kepala menunduk.
"Erza, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" tanya Lana.
"Aku harus pergi ke Jakarta untuk mencari tahu." Erza memutuskan untuk pergi ke Jakarta untuk menyelidiki beberapa hal setelah cederanya pulih. Dia harus menemukan informasi lebih lanjut tentang orangtuanya kali ini.
"Kalau begitu aku akan menemanimu." Lana tersenyum tipis. Saat dia tersenyum, hal itu itu mengejutkan Erza.
"Apa yang kamu lakukan dengan ekspresi itu?" tanya Erza heran.
"Hanya melihatmu aku tiba-tiba ingin tersenyum," kata Lana.
"Lalu, apakah kamu ingin aku tertawa?" Erza tidak tahu mengapa, tapi dia ingin menggoda Lana. Kemudian, dia melanjutkan, "Tentu saja aku menyukai senyumanmu, tapi aku lebih menyukai…" Erza tidak menyelesaikan kalimatnya. Tubuhnya terasa panas.
"Apa yang lebih kamu sukai?" tanya Lana menunggu.
"Aku lebih suka yang di Malang," jawab Erza dengan senyum lebar.
"Menjengkelkan." Wajah Lana menjadi lebih kemerahan, dan bahkan dia sangat malu. Melihat Lana tidak marah, Erza semakin tidak tahan. Lana memiliki kecantikan yang luar biasa. Sangat wajah jika Erza memiliki dorongan untuk menyerang wanita itu. Terlebih, dia adalah istrinya sendiri.
Erza menyentuh wajah Lana, dan tangan satunya dengan lembut memeluk Lana. Saat dipeluk oleh Erza, tiba-tiba tubuh Lana bergetar. Ada rasa hangat di sekujur tubuhnya. Perasaan itu sangat nyaman baginya. Di saat yang sama, detak jantungnya juga semakin cepat, dan wajahnya menjadi panas.
Kini dia melihat wajah Erza perlahan mendekatiny. Lana bahkan lebih gugup, meskipun sudah jelas bahwa dia harus mendorong Erza menjauh. Tapi tidak tahu kenapa, tangan Lana sepertinya tidak bisa dikendalikan. Dia tidak bisa bergerak. Tangan Erza juga mulai turun perlahan.
"Kak Erza!" Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Wina yang awalnya bersemangat, langsung tercengang setelah melihat pemandangan seperti itu. Lana juga langsung mendorong Erza menjauh. Hati Erza hancur.
"Wina, ada apa?" tanya Erza sedikit kesal.
"Oh, Kak Erza. Aku… b-barusan aku tidak melihat apa-apa." Wina berkata dengan gagap. Lana hanya menunduk malu.
"Apa yang terjadi?" Erza juga sedikit salah tingkah.
"Kak Farina menelepon dan berkata bahwa dia sudah mendaftarkanku ke SMAN 3 Semarang." Wajah Wina sangat gembira. Ketika dia mengatakan ini, dia sepertinya baru saja lupa telah melihat sesuatu.
"Bagus! Itu adalah kabar baik. Sekarang kamu keluar dulu. Lana dan aku masih ingin berbicara tentang sesuatu." Erza juga sangat bahagia di hatinya, tetapi Erza merasa dia harus melanjutkan aktivitasnya dengan Lana.
"Oh, oh, oke." Wina sangat peka, jadi dia lari meninggalkan ruang kerja Lana.
"Lana, kita belum selesai," ucap Erza.
"Erza, jangan lakukan itu. Aku malu, mari kita lakukan di hari lain." Lana merasa tidak nyaman.
"Baiklah." Erza hanya bisa menghela napas.
"Ayo pergi. Aku akan meminta Bu Siska untuk membuat sesuatu yang enak untuk merayakan Wina yang akan kembali bersekolah." Melihat Erza sedikit tidak senang, Lana mengubah topik pembicaraan. Mereka pun turun ke lantai bawah.
Saat melihat keduanya bersama, Bu Siska tidak bisa mengatakan betapa bahagianya dia. Di malam hari, Erza, Lana dan Wina juga banyak minum anggur. Awalnya Erza ingin pergi ke kamar Lana, tapi Lana menolak. Hal ini membuat Erza sedikit tidak berdaya. Dia pun tidur di kamarnya sendiri.
Keesokan paginya, karena dia takut Lana dalam bahaya lagi, Erza mengantar Lana langsung ke kantor. Tentu saja, Erza menyuruh Lana turun dari mobil terlebih dahulu. Lagipula, jika hubungannya dengan Lana diumumkan, itu tidak akan bagus untuk Lana.
Hari ini Erza memutuskan untuk menangani kasus penculikan itu. Dia ingin memastikan apakah itu ulah Pak Juri atau bukan. Ini demi istrinya. Sejak kecil, Erza telah kehilangan orangtuanya dan rekan-rekan seperjuangannya. Erza tidak ingin kehilangan orang-orang di sekitarnya lagi. Dia harus menyelesaikan masalah ini agar Lana tidak lagi dalam bahaya.
"Erza, kenapa kamu linglung di sini sendirian?" Suara Alina tiba-tiba terdengar.
"Alina, kebetulan sekali," sahut Erza.
"Ada apa denganmu akhir-akhir ini?" Alina sangat curiga melihat penampilan Erza.
"Kamu tidak akan memercayainya." Erza tidak tahu bagaimana menjelaskannya pada Alina.
"Kamu sebaiknya lebih berhati-hati hari ini. Kemarin aku mendengar banyak orang akan bersatu untuk menuntutmu untuk meninggalkan perusahaan." Alina juga memasang ekspresi cemas di wajahnya.
"Jangan khawatir, tidak akan terjadi apa-apa." Erza mengangkat bahu.
"Kenapa kamu begitu percaya diri?" Alina sedikit khawatir di dalam hatinya.
"Apa kamu belum pernah mendengarnya? Aku telah menyelamatkan nyawa Bu Lana." Erza menatap Alina untuk menenangkannya.
"Erza, kenapa kamu masih bercanda?" Alina menghentakkan kakinya.
"Alina, jangan khawatir. Aku yakin Bu Lana bukanlah orang yang tidak pengertian," kata Erza.
"Itu benar. Tapi bagaimanapun, kamu harus berhati-hati saat masuk nanti." Alina masih menatap Erza dengan cemas.
"Tidak masalah, percayalah." Erza menepuk pundah Alina. Dia tahu bahwa istrinya tidak akan memecat dirinya. Itu sama sekali tidak mungkin. Terlebih lagi, hubungan antara dirinya dan Lana lebih baik sekarang. Erza sama sekali tidak peduli dengan hal-hal ini.