Pradita mendorong tangan Bara. "Jangan harep ya!"
"Loh, aku kan pacar kamu sekarang," ucap Bara enteng. Namun, terdengar berat di kuping Pradita.
"Lu gak usah ngaku-ngaku ya." Pradita mulai menunjukkan tanduknya lagi sambil menunjuk Bara ke hidungnya yang mancung bak artis … bagai paruh burung gagak.
Bara menurunkan tangannya dengan lembut. "Ya udah. Lain kali aku boleh mampir lagi ya. Salam buat mama papa kamu."
Tangan Pradita bagaikan terkena sengatan listrik, tapi ia tidak berani menunjukkan jika sentuhan Bara itu benar-benar telah membuatnya 'sesuatu'. Pradita diam saja dan kemudian bingung harus bagaimana. Jadi, ia membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil.
Sebelah kakinya masih agak sakit saat dipakai berjalan. Namun, untuk mempertahankan gengsinya, Pradita tetap saja berjalan biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Bara menurunkan jendela mobilnya. Pradita melihatnya. "Udah gih sana pulang."
"Bilang terima kasih dong, Yang."
"Yang yang yang digoyang?!" Pradita nyaris mengeluarkan sendalnya dari tas untuk menggeplak kepala Bara.
Bara si cowok menyebalkan itu malah terkekeh. "Ya udah. Kamu masuk ya. Aku tungguin sampai kamu masuk ke dalem."
Pradita mendesah. "Ya udah. Lu sana pulang. Bay."
"Babay, Sayang."
Pradita membuat gerakan seperti yang sedang tercekik lalu muntah-muntah. "Gak usah pake sayang sayangan kenapa sih?"
"Dadah, Pacarku."
Pradita mengertakkan giginya sambil menyedot liurnya di antara giginya yang terkatup seperti suara orang kepedesan. Bara tertawa-tawa.
Daripada Pradita lama-lama diabetes karena sikap Bara yang kemanisan, ia buru-buru masuk ke dalam rumahnya.
"Dita! Dita!" panggil Bara.
Pradita membeku di tengah jalan dan kemudian berbalik. "Apaan lagi sih lu?"
"Kamu mau pinjam kaset Dewatno aku gak?" Bara mengeluarkan kasetnya dari tape dan kemudian mengangkatnya di tangannya. "Ini?"
Pradita melebarkan matanya. Lalu ia berjalan cepat menghampiri Bara sambil tersenyum tipis. "Mau."
Pradita mengambil kaset itu, tapi Bara menahannya. Ia langsung membelalak pada si cowok menyebalkan itu.
"Janji, nanti besok jangan galak-galak lagi sama aku ya, Dit," ucap Bara sambil menatapnya seolah menusuk tepat ke matanya.
"O-oke," ucap Pradita gugup. Lah kenapa Pradita malah jadi gugup? Ia jadi kesal pada dirinya sendiri.
Bara melepaskan pegangan di kasetnya itu dan Pradita buru-buru mengantongi kaset itu ke saku celana jeans-nya.
"Aku pulang dulu ya."
Bara memutar balik mobilnya dan kemudian melambaikan tangannya. Pradita hanya bisa menatap kepergian Bara. Ia memegang dadanya yang sepertinya masih bergemuruh tiada henti.
Pradita masuk ke dalam rumahnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba sebuah tangan memegang dahi Pradita hingga membuatnya terkejut dan langkahnya terhenti.
"Wooy!! Kakak ngapain sih?!" teriak Pradita sambil menurunkan tangan kakaknya dari dahinya.
Pralinka terkekeh. "Kamu sakit kayaknya ya. Lama banget sih berenangnya?"
"Aku gak sakit kok. Kakak ini aneh-aneh aja sih?"
Pralinka mencebik. "Siapa tuh cowok yang nganterin kamu pulang?"
Wah. Ngeri nih kalau sampai Pralinka tahu siapa itu Bara. Pradita jadi ragu apa ia harus jujur dan menceritakan segalanya pada kakaknya atau tidak usah? Masalahnya Pradita adalah anak polos yang selalu berkata jujur apa adanya.
"Siapa? Gak ada."
"Ah kamu tuh, memangnya Kakak gak liat tadi kamu turun dari mobil?" Pralinka mengangkat sebelah alisnya sambil melipat tangannya di dada. "Kamu udah punya pacar ya? Ngakunya berenang sama Alisha, padahal kamu mau pacaran kan."
Pradita melebarkan matanya. "GAAAK! Ih Kakak mah! Aku gak punya pacar! Kakak jangan ngada-ngada deh."
Pralinka terkekeh. "Idih, biarin atuh. Ceritain sama Kakak. Siapa cowok itu?"
"Apaan sih?"
"Ada apa?!" teriak ibunya dari dapur. "Dita, kamu udah pulang?"
"Ya, Ma!" seru Pradita.
"Cepetan mandi terus makan!"
"Aku udah mandi tadi di tempat renang."
Pradita memilih untuk kabur ke kamarnya dan mengeluarkan isi tasnya yang jadi tambah berat karena handuknya basah. Sesuatu mengganjal di bokongnya saat ia berjongkok, ternyata ada kaset Dewatno milik Bara di sana.
Pradita terkesiap. Ia segera mengeluarkan kaset itu dan menaruhnya di meja belajar. Malam ini ia akan mendengarkan lagu itu pakai walkman milik kakaknya. Semoga saja Pralinka mau meminjamkannya untuknya.
Pradita berjalan ke kamar mandi. Ia memasukkan baju renang, handuk, dan baju dalamnya yang basah ke dalam ember.
"Nanti maleman cerita ya sama Kakak," ucap kakaknya yang membuat Pradita terkejut.
Ia sedang berjongkok di kamar mandi sambil menaburkan detergen bubuk ke dalam ember. "Kakak ngagetin aja sih?"
"Yah yah yah. Awas kamu kalo ga cerita! Nanti aku bakalan sebarin gosip ke mama sama papa," ancam Pralinka.
"Gosip apa?" tanya sang ibu sambil menghampiri kedua putrinya.
"Gosip itu, Ma…."
"Bukan!" teriak Pradita. "Bukan! Gak ada gosip! Udah Mama masak aja sana. Aku mau makan, udah laper banget."
"Yee, maen nyuruh orang tua kamu," gerutu ibunya sambil kembali ke dapur.
Pradita mendesah lega. Lalu ia melayangkan tatapan sinis pada kakaknya yang menyebalkan. Pralika sudah pergi dari sana. Jadi ia segera membereskan cuciannya dan kemudian duduk di meja makan.
Ayahnya baru saja pulang. Pradita menyapanya, "Papa abis dari mana?"
"Tadi abis ngerokok dulu di warung," ucap ayahnya yang badannya jadi bau tembakau.
Ibunya langsung mendengus. "Bau banget sih! Mandi sana! Gosok gigi, gosok lidah. Jorok banget sih?"
"Iya, iya." Ayahnya kemudian mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
Pradita mendesah. Ibunya memang galak sekali pada ayahnya. Orang tuanya itu sering sekali bertengkar. Kuping Pradita sudah kebal mendengar teriakan ibunya.
Setidaknya ia bisa makan dengan tenang malam ini. Selesai makan, Pradita harus membereskan tasnya untuk besok Senin sekolah. Seperti biasa senin adalah waktunya untuk praktikum resep.
Praktikum lagi. Jurnal lagi. Siapkan lagi alat praktek. Pradita mendesah. Badannya terasa pegal karena sehabis berenang tadi. Kakinya yang terkilir masih terasa sakit. Jadi ia mengambil balsam dari laci di ruang tamu.
"Dit, ayo jadi cerita gak?" tanya Pralinka.
"Hmmm."
Pradita duduk di sofa dan mengoleskan balsam itu ke pergelangan kakinya.
"Kaki kamu kenapa?"
"Keseleo waktu di sekolah," ujar Pradita singkat.
Selesai mengoles balsam, Pralinka menariknya ke kamarnya.
"Ih Kakak ngapain sih?" protes Pradita. Sebenarnya tidak usah ditanya lagi. Ia sudah tahu kalau kakaknya itu ingin supaya ia menceritakan tentang Bara.
"Ayo cepet ceritain sama Kakak siapa pacar kamu itu?"
"Idih Kakak penasaran amat sih?"
"Iya lah. Kamu kan cewek tomboy, gak tau cara dandan. Kakak ampe mikir kamu ini normal apa gak gitu. Eh taunya masih normal." Pralinka terkekeh mendengar ucapannya sendiri.
"Ya iya lah aku normal."
"Tadi itu bukan Danu kan?"
"Bukan."
"Nah. Jadi kamu sama Danu itu mah cuman temenan doang kan ya. Iya lah kamu gak usah pacaran sama sohib sendiri, entar kamu nyesel loh. Gak enak pas putusnya."
Pradita mengernyit. "Lah memangnya pacaran itu buat putus apa?"
"Iya. Ngapain masih muda pacaran ampe taunan? Kecuali kalau kamu emang tipe yang setia banget ya. Tapi umumnya, anak SMA gitu mah masih labil. Gak mungkin pacaran ampe lama banget."
"Ih, Kakak. Gimana orangnya juga kali," protes Pradita.