"Aku sudah siap-siap tapi lemah sekali kan—haha... Maafkan aku, Ren. Semuanya benar-benar kacau karena aku."
"Hm, sudah. Bukankah kita sepakat tidak apa-apa?"
"Iya, tapi kan ... Astaga aku sudah tidak tahu lagi."
Renji berdecih.
"Slot taksinya benar-benar kosong..."
Jam tangan menunjukkan pukul setengah 11 siang. Itu berarti sinar mentari sudah terik. Panas. Dan pelipis Ginnan mulai berkeringat karena cuaca dan emosi.
"Hm, aku hanya memperhitungkan hotel tapi tidak untuk taksinya," kata Renji. Lalu mengusap pucuk kepala Ginnan pelan. "Maaf, oke? Kita akan berdiri di sini sampai slot-nya ada yang kosong."
Ginnan tidak menjawab. Dia hanya tetap di sana, terus menggenggam tangan kiri Renji dengan dua tangan. Merasakan basahnya keringat dingin di sana hingga ada satu suara terdengar.
"GINNAN!"
DEG
"Ginnan Takahashi! Itu namamu kan?!"
DEG DEG
Ginnan pun langsung tersentak dan menoleh ke arah sana meski masih mengucek matanya.
Novel ini beda dari novelku yang lain. Menulisnya butuh perenungan yang dalam. Itu membuatku jatuh cinta kepada Renji dan Ginnan setiap hari! Memang dikunci. Itu berarti dikontrak. Namun tidak terlalu bisa menghasilkan uang setelah sebulan (karena aku tak mau buru-buru menulisnya.
Dan tak peduli sebagus apa novel lain, Renji dan Ginnan adalah masterpiece versiku sendiri)
Mereka terlalu indah + novel ini dipersembahkan untuk seseorang yang sangat berharga: Regina Firdaus Raja. Ginnan versiku sendiri.