Download App
18.18% Dzikir Cinta

Chapter 4: Menata hati

Sore itu Arif termenung, duduk sendiri di halaman rumput belakang rumahnya. Ia sangat mencintai negeri ini, Indonesia. Semua kekayaan dan potensi alamnya seakan tak pernah habis menyihir matanya mejadi berbinar dan menyulap suasana hati yang duka menjadi bahagia.

Langit menjadi temannya, gerakan awan perlahan seakan memberi senyum kepadanya. Burung-burung kecil yang berterbangan seakan sedang berdzikir kepada Tuhannya. Ya, Tuhan. Maha pencipta segala sesuatu hal, segala hal.

Ia merebahkan tubuhnya, seakan mengadu pilu kepada tanah yang mana memang asal muasal manusia diciptakan. Ia bercerita parau tentang kisahnya yang sedang menggebu ingin menikah tetapi malah dihadapkan dengan kertas-kertas yang berisi susunan kata yang tertata. Ia merasa seperti lelaki yang telah jauh mengelana tapi masih primitive dalam urusan cinta. Ia mengadu seraya banyak beristigfar semoga Allah memberinya jalan.

Pikirannya hanyut, jauh terbang melayang ke negri seberang. Mesir, tempat jutaan umat berdzikir, berharap belas kasih dan jalan keluar. Tempat Universitas tertua di Dunia yang hampir seluruh orang ingin berangkat kesana tetapi hanya sedikit yang diterima, tempat memiliki banyak cerita diusia muda dan produktifnya dalam menimba ilmu, tempat berbagai kisah perjalanan hidup mulai dari bahagia hingga sedih nestapa. Tempat pertama dan terakhir Arif menemuinya, Khaulah, gadis bermata indah keturunan Mesir dan Polandia.

Hari itu adalah hari penting baginya, hari diundangnya Syeikh kibar dari Madinah untuk mengajar dikelasnya. Ia sangat bersemangat sehingga hampir semua buku dibawanya tak terkecuali Kitab jami' Duruts karangan Syeikh Mustafa al ghalayaini juga dibawanya. Kalau-kalau nanti diperlukan pada saat pertemuan.

Masih jam delapan pagi pikirnya. Ia menyempatkan melaksanakan sholat Dhuha, awalnya hanya berniat 2 rakaat saja, namun gerakan demi gerakan tersebut bukannya membuat badannya letih tapi malah tambah bersemangat. Arif menambah 2 rakaat lagi, 2 rakaat lagi dan 2 rakaat lagi stelah sholat ia mulai menangis, rindu Umi, rindu Abi rindu kampung halaman, Bogor.

Ia terus saja dengan khidmat mendoakan kebaikan kedua orang tuanya, saudara-saudaranya, kaum muslimin dan dirinya sendiri. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 9 pagi, ia terhenyak saat menengadah ke dinding tempat jam digantungkan. Sesegera mungkin ia bersiap, merapikan pakaian yang dipakainya, memasukkan hp kedalam tas serta memasukan dompet kedalam saku celana dasar hitam yang ia kenakan.

Ia menarik dan menyandang ransel tempat buku-buku tersimpan 'sudah aman' pikirnya cepat. Lalu dengan sigap tangannya mengunci kamar flat dan bergegas ke halte bus untuk menuju ke kampus yang sudah tidak muda lagi itu. sudah 5 bus yang lewat dan semuanya penuh sesak, tak ada satupun bus yang menyisahkan barang sedikit tempat untuknya berdiri.

Arif masih tegas berdiri, meski terik matahari negeri yang dikepung oleh padang pasir itu serasa menampar wajahnya berulang kali. Jantungnya berdegup, takut-takut kalau ia terlambat dan tidak diijinkan masuk kedalam kelas karena dosen pengajarnya hari ini terkenal dengan kedisiplinannya. Bus tua yang dinanti tiba, entah memang belum rejeki sang sopir atau memang rezeki untuknya, bus itu terlihat lengang, tak ada yang berdiri. Malah masih menyisakan tempat untuk lelaki beransel coklat itu duduk.

'Alhamdulillah' lirihnya ketika masuk kedalam bus dengan tujuan kampusnya tersebut. Ia menoleh, ke kiri dan ke kanan. Semua bangku berisi, hanya tersisa 1 bangku saja yang kosong dengan seorang perempuan bercadar disebelahnya. Ia bingung, harus duduk disana atau memilih berdiri, tetapi, berpikir dengan kakinya yang sudah cukup letih dari tadi berdiri menunggu bus serta cuaca panas yang pasti berdampak dengan pengeluaran energy lebih banyak jika ia berdiri, maka Arif memilih alangkah baiknya jika ia duduk saja. Sekalian menghemat tenaga karena hari ini ia akan sampai sore berada di kampus.

'Bismillah' Arif melangkah pasti, duduk perlahan disamping gadis bercadar. Ia merasa sedikit lega, urat-urat di kakinya yang tegang perlahan mulai kendur. Ia merebahkan punggungnya di punggung kursi bus, merasakan aliran darah yang sudah berjalan nyaman dan lancar. Tidak berburu seperti saat menanti bus. Matanya ia pejamkan, untuk sekedar merilekskannnya yang sedari tadi sudah lelah dihantam debu.

Ia memejamkannya, 15-20 detik. Tiba-tiba ia terhenyak, Ia tak karuan, membuka ranselnya seperti kilat, ia membukanya, mencari dan mencari. Mengubek-ubek isi dalam tas tetapi tak jua ditemukan apa yang ia cari. Ia ulang lagi lebih pelan, dari kantung paling besar ke kantung sedang. Dari yang paling kecil sampai sisi kiri dan kanan ransel, tetapi tetap tidak ada.

"Astagfirullah, Al-Qur'an" ucapnya seraya menyentuhkan kening ke sandaran kursi depan. Ia tampak kacau, bingung dan kecewa terhadap kecerobohan dirinya sendiri. Tak biasanya dia seperti ini, tak biasanya ia lupa akan hal yang paling penting apalagi dihari sepenting ini. Tetapi, barang sudah terjadi. Ia beristigfar sebanyak-banyaknya.

Muhasabah diri dan mengakuin sejatinya ia hanyalah manusia lemah yang punya khilaf dan lupa. Ia berdoa lirih semoga di Kampus nanti ia menemukan mahasiswa Indonesia yang membawa Mushaf dan mau meminjamkannya karena sedang tidak digunakan. Ia tetap diam, menundukkan kepala menghadap kearah lantai bus yang sudah berkarat dan penuh debu.

"Assalamu'alaikum" tiba-tiba suara jernih menyapanya. Ia sempat berpikir suara siapakah itu? apakah ia mengenalnya? Atau mungkin dia teman dari Indonesia juga?

"Wa'alaikum sallam" Arif menjawabnya seraya menegakkan dagu

"Anda mahasiswa?" gadis bercadar disebelahnya menyapa dengan ramah dengan bahasa halus khas orang Mesir asli

"Na'am Saya mahasiswa, ada apa ya?"

"Saya melihat Anda begitu gusar, apa dompet anda tertinggal?"

"La, bukan dompet yang tertinggal"

"Oh, Alhamdulillah kalau begitu, lalu kalau boleh tau apa penyebab anda terlihat begitu panik?"

Arif berpikir sejenak, apakah ia perlu bercerita hal ini dengan gadis itu? Apakah ia bisa membantu? Ah, tak ada salahnya bercerita, terlepas dia bisa membantu ataupun tidak setidaknya Arif sudah bersikap ramah dengan membalas pertanyaanya seperti ia yang bersikap ramah menegurnya saat ia kesusahan.

"Jadi, begini, hari ini ada kelas dari dosen favoritku, dia juga membawa seorang sahabat jauh dari Madinah untuk mengajar di kelas, aku merasa sangat bersemangat untuk masuk kedalam kelasnya hari ini,tetapi, Qadarullah aku melupakan hal yang paling penting"

"Apa itu?"

"Al-Qur'an. Aku lupa membawa Al-Qur'an padahal itu penting. Aku takut aka nada ujian mendadak hari ini, jika aku tidak memilikinya maka aku takut nilaiku akan gagal"

"Ini, aku bawa Al-Qur'an. Simpan dan bawalah untukmu. Aku memberikannya sebagai hadiah"

"Benarkah? Lalu, untukmu?"

"Aku tidak membutuhkannya hari ini, untuk besok, Aku memiliki beberapa dirumah. Ambilah, Aku ikhlas"

"Jazakillahu khoir"

"Waiyyak"

"Kalau boleh tau siapa namamu?"

"Khaullah"

"Kenalkan, Aku Arif dari Indonesia"

"Ah, Indonesia. Negri Islam. Semoga Allah melimpahkan berkah untuk negrimu"

"Kau sendiri darimana?"

"Aku Mesir, Mesir dan Polandia"

Bus tua itu berhenti ditempat seharusnya, setelah mengucap salam Arif turun dari alat transportasi tua tersebut. Ia tak menyangka betapa baiknya Allah kepadanya. Allah sepertinya selalu menaungi Arif dengan rahmat dan kasih sayang yang berlimpah. Seperti hari ini, ia mendapat rezeki al-qur'an dari orang yang bahkan sebelumnya belum ia kenal. Ia tak henti-hentinya mengucap syukur seraya berlari kecil menuju ruang kelas.

^^^

Arif masih ditempat yang sama, tidur beralaskan rerumputan hijau dengan langit biru teduh sebagai atapnya. Ia tersenyum sendirian, mengingat kisah dan mata bulat besar dengan bulu mata yang panjang. Ia sangat menikmati sore itu, menciumi aroma rerumputan dengan udara sejuk yang menyapu-nyapu hidung mancungnya lembut. Matanya menutup seraya sungging senyum di bibirnya.

"Rif, kenapa senyum-senyum sendiri"

Arif terhenyak, seketika ia membuka mata dan mendapati ibunya dengan gamis dan jilbab merah haati sudah duduk disebelahnya.

"Ah, Umi. Eh, gak apa-apa kok,Mi"

"Hayo, lagi mikirin apa? Jangan-jangan lagi mikirin gadis Makassar yang ngasih kamu sajadah itu ya?"

"Ah, Umi ada-ada saja. Tapi, Umi tau darimana cerita sajadah itu"

"Tetehmu yang cerita"

"Ah teteh tak bisa jaga rahasia" pikirnya dalam hati

"Ini, Umi bawakan pisang rebus. Ayo dimakan!"

Arif melirik piring putih itu, terlihat pisang kapok kuning rapih berbaris lengkap dengan kepulan asap yang sudah condong tak karuan tertiup angin. Mereka berdua duduk mesra, menikmati alam yang secara gratis Allah suguhkan ditemani dengan pisang rebus hasil tanaman sendiri.

"Rif, kalau Umi carikan jodoh lagi, mau?" tanya Umi perlahan

"Emang sudah ada,Mi?"

"Yaa, dicari dulu"

"Sepertinya belum dulu kalau sekarang-sekarang ini,Mi"

"Kamu masih kepikiran yang kemarin"

"Enggak,Mi. Cuma, takut saja kalau nanti bertemu yang seperti itu lagi"

"Oh, Umi paham. Yang perjanjian-perjanjian itu kan? Ya sudah, Umi doakan semoga Allah segera mengirimkan jodoh yang baik untuk kamu. Jodoh itu bisa datang dengan jalan yang sudah Allah tetapkan loh, buktinya Umi dan Abi, hanya gara-gara bersin kita menikah. Itu tandanya memang jalan yang Allah tetapkan untuk segala sesuatu itu terkadang itu tak disangka-sangka"

"Iya,Umi"

"Abi mana, Mi?"

"Ke kandang, kata Mang Udih, sapi Abi ada yang melahirkan"

"Masyaallah, Alhamdulillah"

"Alhamdulillah"

Sore itu mereka duduk mesra, membaur dengan alam, melihat langit berubah dari biru menuju jingga. Senyum manis tersungging di bibir merah keduanya, guratan-guratan di wajah Ibunda Nampak jelas seperti memberi kabar perihal angka-angka usianya, namun tetap terlihat bekas bahwa dulunya Ibunya pernah sangat jelita.

^^^

"Halo, Umi, sudah ada perkembangan?" Tanya Fatma

"Belum!" Jawabnya singkat

......

Apa sih kesan pertama dan terakhir kamu baca novel ini?

yuk,

Jangan lupa review ya

Review Review

Support IG penulis di @ririn.p.abdullah

bantu follow ya

yg mau ikut charity boleh DM

"Sedekah tidak akan membuatmu miskin"


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C4
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login