Zalfa sedang meneguk ludahnya sendiri. Bagaimana dia melihat sesuatu yang lezat ada dihadapannya tapi dengan sayang sekali Zalfa tidak bisa memakannya, dunia menjadi tidak adil, kala dirinya sedang sakit.
"Mau?" Pertanyaan polos itu keluar dari bibir seorang pria yang sedang sibuk memakan makanan yang Zalfa sangat inginkan saat ini. Mungkin, jika dirinya sedang sehat, tanpa perlu ditawari lagi, Zalfa akan mengambil makanan itu. Namun, saat sedang sakit, dan ditawari justru membuatnya merasa sedang diledek.
"Semoga Lo gak keselek." jawab Zalfa sembari cemberut. Dewan tau, maksud sebenarnya Zalfa. Tapi, lelaki itu pura-pura tidak mengerti.
"Uluh... Baik banget sih, sampai doain begitu. Nanti kalau udah sehat, Gue traktir deh," ujar Dewan memakan gigitan terakhir ayam krispi miliknya. Jangan lupakan juga pizza satu box hanya sisa satu yang sebentar lagi mungkin akan dia habiskan sendirian. Ya, walaupun satu box kecil, tapi tetap saja harusnya untuk dua atau tiga orang.
"Berisik." Zalfa memejamkan matanya. Biarlah Dewan berbuat sesuka hatinya, untuk apa juga dia perduli.
Tapi, wangi aroma pizza terasa semakin mengguncang batinnya yang berteriak, bahwa dia harus bisa makan itu sekarang. Tak terasa, Zalfa menelan ludahnya sendiri, lagi.
"Buka mulutnya," ucap seseorang yang terasa dekat.
Zalfa melihat satu potong pizza ada di hadapannya. Dewan tersenyum dan memberikan kode seakan mempersilahkan agar Zalfa segera memakan pizza tersebut.
"Gak deh, makasih. Nanti dimarahin dokter."
"Gak akan, kan cuma satu, lagian gue gak akan bilangin kok tenang aja. Kalau gak, nanti gue bilang aja, Lo gak tau kalau Lo gak boleh makan pizza."
"Bener?" Tanya Zalfa mulai tergiur dengan negosiasi Dewan.
"Cepet. Keburu datang lagi nih dokternya."
Tanpa menjawab, Zalfa memakan pizza yang berada di tangan Dewan. Pokonya jika dokter marah, dia akan bilang Dewan memaksanya.
Dewan senyum melihat gemasnya perempuan yang dia sayangi itu. Zalfa itu cantik, hanya kurang rawat saja. Mungkin, karena orangnya memang cuek, atau terlalu sibuk memikirkan Figo serta sibuk memikirkan bagaimana caranya agar Figo jatuh cinta padanya. Tenang saja, sebelum memberikan pizza pada Zalfa, dia sudah bertanya pada dokter, dan jawabannya boleh, asal jangan banyak-banyak. Lagian, dia tida mungkin ingin menyelakai Zalfa.
Figo masih di kantor, dia sudah mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi bayangan Zalfa yang sedang diinfus membuatnya tidak nyaman. Seandainya malam itu, Figo tidak meninggalkan Zalfa sendirian dalam keadaan hujan. Mungkin saja, Zalfa sangat ketakutan, tapi baiknya dia malah membiarkan Figo untuk tetap pergi. Harusnya Zalfa menahannya. Seandainya Zalfa tau yang sebenarnya terjadi, pasti Zalfa akan menahannya untuk pergi.
Figo, marah pada Dewan karena lelaki itu terlalu lancang, ikut campur sangat jauh. Selalu memintanya untuk berhenti menyakiti Zalfa, padahal kuncinya hanya satu. Zalfa, harus berhenti mengejarnya, dasar wanita keras kepala itu selalu merasa bisa.
"Kamu sudah sadar? Menyakiti perempuan itu bukan tugas laki-laki."
Delvis datang, dengan pakaian yang masih sama. Lelaki itu mengerjakan pekerjaannya di sebuah cafe. Dan dia berniat untuk menyelesaikan semuanya di kantor. Tak disangkanya, ternyata ada Figo yang sedang melamun menatap meja Zalfa, dan lelaki itu menggerakkan pensilnya dengan asal di atas kertas karton berwarna putih.
"Saya sedang sibuk. Kalau mau marahin atau ceramahin nanti saja. Percuma, saat ini gak akan saya dengar."
Figo tidak menunjukan dirinya terkejut Karena ada Delvis yang datang dengan tiba-tiba. Bukan tiba-tiba, hanya dianya saja yang tidak sadar, seseorang masuk ke dalam ruangan.
Dewan membuka jasnya, dia membuka kerah paling atas dan juga kancing bagian tangannya. Setengah lengan dia naikkan. Sembari duduk di kursi kebanggaannya Delvis merasa sangat menang sekarang.
"Sibuk menggambar wajah Zalfa?" tanya Delvis dengan sombongnya. Dia merasa bisa membuat Figo malu, adalah sebuah hal yang sangat jarang bisa dia lakukan. Semua itu, hanya terjadi jika sesuatu berhubungan dengan Zalfa.
Sampai saat ini, Delvis selalu ikut campur. Dia tidak ingin wanita sebaik Zalfa harus terus terluka oleh lelaki yang bilangnya tidak suka, tapi selalu memikirkan, tidak perduli tapi selalu jadi orang yang mencari Zalfa. Apapun yang dikatakan lelaki itu adalah berkebalikannya jika itu tentang Zalfa. Kenapa Delvis tau? Karena sebelum Dewan menjaga Zalfa, jelas Delvis sudah melakukannya lebih dulu.
Semata-mata dia hanya ingin, keduanya tidak merasakan sakit hati di kemudian hari. Karena ulah mereka saat ini, dan segala main-main yang sedang mereka lakukan. Jika dikatakan cinta, mungkin Delvis lebih ingin melindungi tanpa harus memiliki, tidak ada yang salah dengan Zalfa, tapi dia tau, perempuan yang bernama Zalfa akan sulit untuk jatuh cinta.
Figo segera menutupnya dengan sebuah buku, dia tidak tau harus mengatakan apa, setelah tertangkap basah seperti ini. Jelas, Figo saat ini berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi, mukanya sangat datar. Delvis sudah biasa dengan sikap Figo yang seperti itu.
"Karena waktu tidak bisa diulang, tapi kenangan bisa diciptakan, Kamu masih punya waktu, sebelum semuanya benar-benar terlambat. Saya gak tau harus gimana lagi, ini lebih dari sekedar lelah," ujar Delvis lalu lelaki itu sibuk dengan pekerjaannya.
"Kalian terlalu menjaga Zalfa, padahal sebenarnya bukan cuma dia yang terluka."
"Konspirasi apalagi Figo? Kamu mau nyalahin Zalfa atas hubungan kamu dan Ervina yang-"
"Pak Delvis yang terhormat, anda tidak bisa seenaknya bicara, hubungan saya dan Ervina itu urusan kami. Lagipula, Seandainya Zalfa tidak bekerja di sini, semua tidak akan terjadi. Dan sepertinya, seharusnya saya menyalahkan anda untuk semua ini."
Suasana menjadi panas, karena Figo membawa Delvis ke dalam masalahnya.
"Saya tidak ada di pihak kamu, jadi untuk apa? Saya harus mengeluarkan Zalfa demi kamu yang tidak becus kerja, mana pekerjaan kamu yang benar-benar beres tanpa dibantu Dewan? Tidak ada kan?"
Figo sadar, selama ini dia tidak terlalu fokus dalam bekerja, dia bukan tidak bisa, hanya tidak fokus saja. Dan itu semua karena Zalfa selalu mengganggunya.
"Kami yang seharusnya saya keluarkan dari sini sejak dulu, andai saja Zalfa tidak merengek agar kamu tidak dikeluarkan."
Delvis benar-benar marah kali ini, dia sudah ada di titik terlelahnya. Karena pada akhirnya, jika pekerjaan mereka tidak lancar, maka dialah orang pertama yang dimarahi para atasan.
"Kenapa diam? Kamu sudah merasa Zalfa pahlawan kah? Saya tau, kamu tidak mungkin membiarkan Zalfa sendirian di sini ditambah Dewan selalu mencoba menggoyahkan perasaannya terhadap kamu."
"Saya tidak perduli. Saya tau, Zalfa tidak benar-benar mencintai Saya."
"Rasa bencinya bahkan kalah oleh egonya sendiri, dia orang pertama yang akan memaafkan kamu yang sudah melukainya bertubi-tubi. Kamu pikir saya dan Dewan diam itu karena siapa? Ervinalah yang justru tidak perduli sama kamu."
Figo mengeraskan rahangnya, Delvis tidak pernah mengotori tangannya hanya karena dia terlalu emosi. Mungkin suatu saat akan. Mungkin saat Zalfa lah yang memintanya.
chapter selanjutnya flashback yang teman-teman, jadi yang masih merasa bingung, ada apa sih sebenarnya?kalian bisa tunggu kelanjutannya ya.. sehat-sehat semuanya.