Download App
35.71% Pieces of Memories / Chapter 35: Ch 35. Libur Semester (3)

Chapter 35: Ch 35. Libur Semester (3)

"Ayo Kei!" Arwan menarik tanganku.

Aku masih terkejut dengan ajakan Arwan. Aku tidak tahu mengapa ia mengajaku ke sekolahku dulu. Secara tidak sengajakah atau ada maksud lain? Aku sama sekali tidak dapat memikirkannya.

"Bentar, emang ngga apa-apa kita masuk gitu aja?" tanyaku menghentikan langkah Arwan.

"Lho kenapa? Bukannya itu kamu alumninya? Jadi harusnya ngga apa-apa dong," jawab Arwan kembali melanjutkan langkahnya.

"Kok kamu bisa tahu kalau aku alumninya? Perasaan aku ngga ngasih tau deh," balasku menatap Arwan penuh selidik.

"Bilang kok, kamunya aja lupa," Arwan mengusap kepalaku.

"Apa iya?" pikirku.

"Sial, ceroboh banget sih! Untung aja Kei pelupa," gerutu Arwan dalam hati.

Kami memasuki gerbang bersama. Aku tidak ingat apakah ada bangunan atau cat berubah pada sekolahku ini, yang pasti aku merasa familiar. Andaikan saja aku tidak hilang ingatan, pasti aku dapat mengenang langsung masa sekolah putih biruku.

Arwan merasa tidak ada yang berubah sama sekali, kecuali jendela-jendela sekolah telah diperbaharui. Sebelumnya ada beberapa kaca yang pecah. Seketika Arwan mengenang masa sekolahnya.

Aku tampak semangat menelusuri gedung sekolah. Aku anggap ini sebagai kesempatan untukku mendapat ingatan kembali.

"Ciee yang seneng hahaha ..." ejek Arwan.

"Hehehe ... iya dong! Ayo lanjutin lagi," kali ini aku yang menarik tangan Arwan.

Setelah puas berkeliling, kami memilih untuk duduk di kantin terlebih dahulu.

"Tadinya sih aku kesal karena kamu tiba-tiba mengajakku kesini, namun sekarang aku senang. Makasih ya ..." ucapku memperlihat senyum.

"Cantik," celetuk Arwan.

"Hah?" responku terhadap ucapan Arwan.

"Iya kamu cantik hehehe ... terdengar gombal ya?" ucap Arwan sedikit canggung.

"Hahaha ... makasih lho ya, jarang-jarang aku dipuji," balasku mencoba membuat suasana kembali santai.

"Emang ngga salah ajak main kamu hahaha ... habis ini mau kemana lagi?"

"Kalau disini terus aja gimana? Aku hanya ingin lebih lama mengenang masa laluku," kataku melihat sekeliling.

Arwan kembali mengusap kepalaku, "lakukan sesukamu."

"Kalau gitu ayo!" Aku berdiri berjalan duluan disusul Arwan.

Aku tidak menyangka sekolahku dulu seluas ini. Sekarang kami berada di lantai 2, aku dapat melihat lapangan dari sini. Aku membayangkan dulu aku dan teman-teman bermain bola basket disana.

"Haahh ... kapan ya ingatanku kembali?" gumamku yang didengar Arwan, namun Arwan pura-pura tidak mendengarnya.

Aku berbalik memasuki sebuah kelas, aku berjalan ke belakang, berjalan mengelilingi kelas sampai aku tiba di meja guru. Aku berdiri di meja guru menghadap tempat duduk siswa-siswi. Sekilas aku dapat mendapatkan ingatanku.

Farel yang sedang menggoda Nadine sampai Nadine kesal. Devan yang semangat membacakan puisinya padaku dan seorang anak lelaki berkacamata yang tertawa melihat kami.

Aku langsung melihat Arwan begitu mengingat anak laki-laki itu. Apakah mungkin itu dia?

***

Tidak terasa hari sudah sore, saatnya kami pulang. Arwan mengantarkanku sampai rumah dengan selamat. Semenjak aku mendapatkan sedikit ingatanku, aku sedikit canggung padanya. Entah sadar atau tidak, Arwan mencoba bertingkah biasa saja.

"Kei makasih untuk hari ini. Kalau tidak keberatan boleh aku main sama kamu lagi?" kata Arwan menatap lurus mataku.

"Tentu saja! Bukannya kita sudah berteman?" balasku.

"Kalau gitu sana masuk ..." pinta Arwan.

Dengan suara amat sangat pelan aku bertanya pada Arwan, "hmmm ... Arwan sebenarnya kamu siapa?"

Karena lingkungan yang sepi, Arwan dapat mendengar dengan jelas pertanyaanku.

"Nanti juga kamu tau," jawabnya berbalik meninggalkanku.

Aku menatap punggungnya yang menjauh. Semoga perkiraanku salah. Laki-laki berkacamat yang diingatanku denganmu adalah orang yang berbeda.

***

Arwan tidak langsung pulang. Ia mengunjungi makam Devan terlebih dahulu. Sahabat yang gila puisi, tidak ada hari tanpa puisi.

"Hai Devan ... maaf baru datang berkunjung. Hari ini aku main sama Kei, kelihatan sekali ia rindu masa lalunya. Aku juga berharap Kei mendapat ingatannya kembali agar kenangan kita dapat bersamanya. Namun, aku tidak ingin Kei tersakiti. Pasti ia merasa terpukul jika tahu kejadian itu. Hari ini adalah pertama dan terakhir aku membiarkan Kei melihat masa lalunya. Aku harap kamu ngga keberatan ..." Arwan menaruh buket kecil bunga mawar putih.

Saat Arwan hendak pulang, ia bertemu dengan Farel yang sama membawa buket kecil mawar putih.

Farel membelalakan matanya tak percaya. Bagaimana bisa ia ada disini?

"Yo apa kabar?" sapa Arwan.

"Kok bisa ada disini? Sejak kapan?" Farel langsung melontarkan pertanyaan.

"Ets santai dong kawan ... cepat atau lambat nanti juga kamu tau," Arwan menepuk pundak Farel serta meninggalkannya.

Farel memutar badannya guna melihat Arwan. Farel memastikan bahwa itu memang Arwan. Farel berharap Arwan tidak kembali hadir dalam hidupku.

***

Aku merebahkan diriku di kasur setelah mencatat ingatanku yang aku terima di sekolah sebelumnya. Aku tidak menyangka kalau Nadine teman SMP aku. Jadi selama ini Nadine menyembunyikan fakta, tetapi mengingat ingatanku yang hilang dapat mengerti mengapa Nadine merahasiakannya.

Selagi aku berpikir ponselku bergetar menandakan pesan masuk. Aku melihat nama Nadine disana. Nadine mengajakku bermain bersama Mia esok hari. Tentu saja aku langsung menyetujuinya. Aku memutuskan untuk menepiskan segala pikiranku terlebih dahulu.

Tak lama kemudian aku mendapatkan pesan dari Arwan. Ia menyampaikan rasa senangnya, aku membalas hal serupa. Di akhir pesan ia menyebutkan bahwa aku diharapkan tidak terkejut saat bertemu dengannya lagi. Aku tidak mengerti maksudnya, tetapi aku mengiakannya.

Aku menyimpan ponsel dikasur. Lambat laun mataku terpejam.

***

"Ciee Nadine suka sama kakak kelas itu hahaha ... mau aku kenalin ngga? Aku lumayan deket lho hahaha ..." ledek Farel.

"Apaan sih Farel! Yang suka itu teman aku tau!" sanggah Nadine.

"Temen siapa? Temen kamu kan cuma kita aja. Keisha? Mana mungkin Keisha suka hahaha ..." balas Farel tidak ada henti-hentinya menggoda Nadine.

"Tau ah!" Nadine duduk dengan wajah kesal.

Disamping itu Devan sangat semangat menjelaskan puisi buatannya.

"Kei pokoknya kamu harus baca puisi aku!" ucap Devan semangat.

"Iya aku baca, mana sini," balasku.

"Ngga sekarang tapi nanti hehehe ... aku belum siap," kata Devan pelan.

Aku menghela napas, "dasar maniak puisi!"

"Hahaha ... kalian emang lucu ya," tawa Arwan yang sedari tadi hanya memperhatikan kami.

"Berhentilah tertawa atau kamu harus membelikan kita mie ayam!" celetuk Farel.

"Idih apaan? Ngga-ngga," tolak Arwan.

"Ide bagus tuh! Bel masuk juga masih lama, ayo!" Nadine menarik tangan kanan Arwan secara paksa.

"Ayo!" sambungku menarik tangan kiri Arwan.

"Asik makan gratis hahaha ..." sahut Devan.

Mau tidak mau Arwan meneraktir kami, "dasar temen ngga tahu malu!" gerutu Arwan.

Ingatan inilah yang aku dapat. Ternyata aku dulu dekat dengan mereka. Apalagi Farel dan Nadine, tapi sekarang mereka terlihat seperti orang asing serta aku tak tahu dimana Devan berada. Satu-satunya anak laki-laki yang terlihat dalam mimpi burukku.

Puisi yang dia buat menjadi perhatianku. Jika aku dapat bertemu Devan kembali, aku akan meminta Devan untuk membacakan puisi karyanya.

***


CREATORS' THOUGHTS
Clariinnaaa Clariinnaaa

Hai, ada Arwan nih~

Kira-kira hubungan Arwan sama Kei gimana ya? Xixixii

Chapter 36: Ch 36. Libur Semester (4)

Saat ini aku sedang bersiap untuk pergi main bersama Nadine, Mia dan Shella. Awalnya Shella menolak, namun aku sedikit memaksa sampai Shella menerimanya. Untungnya saja Nadine dan Mia tidak mempersalahkannya.

Ting!

Aku mendapatkan pesan dari Nadine yang berisikan kalau dia sudah berangkat. Pas sekali, aku juga sudah siap. Aku segera memesan ojek online dengan tujuan ke Mall X. Mall yang berada di pusat kota.

Butuh sekitar 50 menit untukku sampai Mall X karena perjalanan yang cukup memakan waktu. Aku berjalan masuk, lalu melihat Mia sedang berdiri sambil memegang ponselnya.

"Hai Mia!" sapaku.

"Oh hai Kei ..." balas Mia.

"Udah lama?" tanyaku basa-basi.

"Ngga kok, baru 5 menit. Mau ke toko buku dulu ngga sambil nunggu?" usul Mia.

"Mau banget ... ayo!" balasku semangat.

Kami berjalan beriringan, sesekali kami mengobrol. Begitu kami sampai, kami langsung ke tempat kumpulan novel. Banyak novel bagus disana. Aku melihat dari covernya yang menarik serta sinopsis. Lalu aku melihat Mia, sepertinya Mia tidak jauh beda denganku.

Saat sedang asik melihat-lihat novel, datanglah Nadine beserta Shella. Tak aku sangka mereka akan datang berbarengan.

"Asik banget sih ... lagi lihat apa?" sahut Nadine berdiri diantara aku dan Mia.

"Ini lho novel, kita berdua tertarik buat beli novel ini," ucapku menunjukan novelnya.

"Ngga aku sangka kalian memiliki kesukaan yang sama," ucap Nadine.

"Kami juga baru tau," Mia langsung menanggapinya.

"Kalau gitu aku bayar dulu ya, Mia kamu jadi beli?" ujarku.

"Hmm ... nanti aja deh, lagian aku bisa pinjam punya kamu hehehe ..." balas Mia.

"Hahaha ... ok deh. Kalau gitu, kalian nunggu diluar dulu aja," Aku segera berjalan ke kasir.

"Ngga aku sangka kamu bakal bareng Shella," celetuk Mia ketika aku sudah berjalan ke kasir.

"Aku juga ngga jangka. Sebenarnya sih ngga mau ... ya karena Kei jadinya mau ngga mau," ucap Nadine tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Kalian ngga perlu repot. Aku juga ngga suka kalian. Aku ikut hanya karena Kei," sahut Shella.

Mia tersenyum miring, "baguslah kamu tahu diri. Aku peringatkan ya, jangan sekali-sekali menghalangi kita!"

Shella menunjukkan ekspresi datar tanda ketidakpeduliannya. Tak lama setelah itu aku datang dengan novel yang sudah aku masukan ke dalam tas.

"Yuk! Kita nonton!" ajakku ketika menghampiri mereka.

Kami berjalan dengan Mia dan Nadine yang berada di depanku dan juga Shella.

Aku memperhatikan ekspresi Shella, entah mengapa aku merasa seharusnya Shella tidak ikut main. Aku menjadi merasa bersalah.

"Kenapa?" tanya Shella yang sadar dirinya telah diperhatikan olehku dengan melirikku sekilas.

"Maaf ya ... aku maksa kamu buat ikut," lirihku.

Shella menghela napasnya. Pikir ada masalah serius, namun ternyata hanya prasangka buruk diriku.

"Kamu ngga perlu minta maaf. Setelah aku pikir-pikir ini keputusan yang baik menerima ajakkanmu karena sebetulnya aku butuh hiburan," jelas Shella.

"Beneran?"

"Iya, maka dari itu ngga usah merasa bersalah lagi."

Aku tersenyum menanggapinya.

***

Sesudah kami menonton film bergenre romance dan drama yang diadaptasi dari novel, kamu memutuskan untuk makan di Foodcourt.

Kami telah menemukan tempat duduk, secara bergiliran kami memesan makanan yang diinginkan. Sambil menunggu makanan datang, kami berfoto bersama serta berbincang-bincang.

"Duh bentar lagi pembagiian raport nih," celetuk Nadine.

"Iya bener, aku takut nilaiku turun ..." sahut Mia melirik sebentar ke Shella.

"Bener banget! Kalau Shella pasti ngga usah khawatir, pasti kamu juara umum lagi. Udah langganan juga sih ..." sambung Mia.

"Ngga juga sih ... siapa tau ada juara umum yang baru," balas Shella cuek.

"Sudahlah kalian ... sejelek-jeleknya nilai kalian pasti masuk 5 besar. Daripada aku? Masuk 10 besar aja ngga," keluhku.

"Hahaha ... aku juga kok Kei, jadi kamu ngga usah pesimis gitu. Kali aja semester ini kamu masuk 10 besar," ucap Nadine.

"Aku harap sih gitu, emang Nadine sebelumnya ranking berapa?" tanyaku penasaran.

"Paling rendah sih 7 hehehe ..." jawab Nadine.

Aku memasang wajah datar, "sudahlah tidak udah dibahas lagi."

Tak lama setelah itu makanan kami datang dan kami langsung menyantapnya.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, saatnya kami pulang ke rumah masing-masing. Seperti biasa, aku menaiki ojek online.

Sesampainya di rumah, samar-samar aku melihat Arwan.

"Arwan? Ah mana mungkin malam-malam gini ke rumah," gumamku.

Aku membuka pagar dan sangat terkejut ketika ada yang memanggil namaku.

"Keisha!" panggil Arwan.

Aku menengok ke sumber suara, benar saja itu Arwan. Ternyata mataku tidak salah lihat.

"Bisa ngga udah ngagetin ngga?" omelku.

"Hehehe ... maaf maaf," ucap Arwan memperlihatkan giginya.

Aku menatap Arwan dengan sebal.

"Udah dong keselnya, aku kesini mau ngasih kamu ini," Arwan menunjukkan paperbag berwarna cokelat.

Aku memiringkan kepala, "apaan tuh?"

"Macaroni schotel! Makanan kesukaan kamu," ucap Arwan semangat.

"Hhmmm ..." Aku memicingkan mata karena curiga.

"Curigaan banget sih ... ngga aku racunin kok, nih ambil dijamin enak," Arwan memberikan paperbagnya.

Aku ragu-ragu menerimanya.

Arwan mengusap kepalaku, "dimakan ya," seperti biasa, Arwan memperlihatkan senyumnya. "Sana masuk," Arwan membalikkan badanku, lalu mendorongku masuk.

Aku berbalik mengucapkan terima kasih, dilanjut menutup serta mengunci pagar. Arwan tidak pergi sampai aku sudah masuk rumah dengan lampu yang menyala.

Aku langsung masuk kamar mandi guna membersihkan diri. Setelahnya aku merebahkan diri. Lalu, mataku menangkap paperbag cokelat. Setelah dipikir-pikir bagaimana dia tahu kalau makanan kesukaanku adalah macaroni schotel?

Aku bangun melihat isi dari paperbag tersebut dan benar saja ini macaroni schotel.

"Kayanya enak," gumamku mengambil sendok yang sudah ada dalam paperbag.

Aku berharap ini benar-benar macaroni schotel pada umumnya. Satu sendok macaroni schotel telah masuk dalam mulutku dan benar saja ini enak bahkan lebih enak dari yang biasa aku beli.

"Wow, ngga aku sangka seenak ini," ucapku yang langsung mengambil ponsel untuk mengabari Arwan.

'Arwan maaf tadi aku udah berprasangka buruk sama kamu. Macaroni schotel yang kamu bawa enak banget! Makasih ya. Oh iya, aku boleh tau ngga siapa yang bikin?'

Send! Pesan sudah terkirimkan.

Arwan yang baru saja sampai rumah tersenyum senang ketika membaca pesanku. Arwan langsung membalasnya.

Betapa terkejutnya aku saat mengetahui kalau Arwan yang membuat macaroni schotel.

"Aku harus minta diajarkan cara membuat macaroni schotel sama Arwan!" tekadku menghabiskan macaroni schotel dengan saos sambal yang sudah aku ambil di dapur.

***

Seorang anak laki-laki sedang berdiri menunggu sang penghuni rumah tiba. Ia sengaja tidak mengabari terlebih dahulu karena ia ingin mengejutkanku. Namun, pada akhirnya ia yang dikejutkan karena mendapati rumahku yang gelap menandakan tidak ada orang di rumah.

Sudah 20 menit ia menunggu. Ia menahan diri untuk tidak menghubungiku. Setelah 30 menit berlalu, datanglah orang yang ia tunggu. Tidak sia-sia ia menunggu kedatanganku.

"Keisha!" Arwan memanggilku.

***


CREATORS' THOUGHTS
Clariinnaaa Clariinnaaa

Halo~

Mohon dukungannya ya ^^

Terima kasih ...

Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C35
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank 200+ Power Ranking
    Stone 0 Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login

    tip Paragraph comment

    Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

    Also, you can always turn it off/on in Settings.

    GOT IT