"Dari mana saja kau?" Teguran itu Sohyun dapatkan sesaat setelah masuk ke ruang latihan.
Perempuan berwajah sangar dengan polesan lipstik berwarna merah menyala itu telah melipat ke dua tangannya di depan dada. Menatap dirinya dengan tak bersahabat. "Aku tahu kau ace di sekolah ini. Tapi bukan berarti kau bisa seenak jidatmu keluar masuk kelasku."
"Maaf ssaem," ucap Sohyun seraya membungkuk.
"Kau bisa lihat ke sana," tunjuk perempuan itu ke atas panggung. Ternyata masih tak terima
dengan permintaan maafnya. "Contohlah Eunha! Meski dia anak petinggi sekolah, dia selalu rajin menghadiri latihan. Kalau kau tak serius bermain piano, bukan tidak mungkin Eunha akan melampaui kemampuanmu."
Sekilas pandangan Sohyun terkunci pada Jung Eunha—siswi beramput sebahu dengan potongan poni rapi yang kini berada di depan grand piano—tengah menatap dirinya dengan senyuman mengejek. Tak ambil pusing, sekali lagi Sohyun meminta maaf lalu berjalan meninggalkan perempuan yang akan
mengamuk lagi itu.
Hidupnya bukan hanya tentang piano. Sejujurnya, dia masuk jurusan musik
spesifiknya piano itu juga berdasarkan rekomendasi ibunya—yang merupakan seorang pianis ternama. Meski ibunya seorang pianis, Sohyun sama sekali tak mewarisi bakatnya. Saat kelas enam, Sohyun baru serius menekuni piano. Berkat kerja kerasnya, dalam waktu yang relatif singkat, dia telah memenangkan kompetisi di tingkat internasional dan nasional beberapa kali. Begitulah akhirnya dia masuk ke BigHit tiga bulan yang lalu karena ibunya memilih kembali ke negera asalnya setelah bertahun-tahun menetap di Amerika.
"Bagus sekali Eunha! Permainanmu sungguh meningkat daripada latihan terakhir kali. Beri
tepuk tangan!" Perempuan itu—Bae Irene berdiri—guru piano sekaligus pendamping anak-anak yang akan mengikuti kompetisi piano baik di tingkat nasional maupun internasional. Dia menghampiri Eunha
dan menepuk pundaknya. Merasa bangga.
"Sohyun!" Teriak Irine. "Giliranmu." Sama sekali tak ada ramah tamah, bahkan sekedar
senyuman untuk Sohyun.
Siswi bernama lengkap Kim Sohyun itu berdiri. Tak lupa membawa beberapa lembar partitur yang akan dimainkannya. Dia tak pernah ambil hati atas sikap Irene padanya. Dia sadar bahwa Irene sudah tak menyukainya sejak ia masuk ke sekolah ini. Bahkan Irene pernah terang-terangan menentang keputusan kepala sekolah yang menjadikan dirinya—siswa pindahan—mewakili sekolah dalam sebuah
kompetisi internasional daripada anak didiknya yang telah ia latih dengan intens selama beberapa bulan.
Walaupun akhirnya Sohyun membawa pulang kemenangan, Irene tetap tak mau mengakui
kemampuannya—alih-laih bersumpah akan menjadikan salah satu anak didiknya melampaui dirinya.
Bukankah itu lebih baik? Jadi tak perlu dirinya yang harus kesana kemari demi mengais piagam penghargaan.
Symphony No. 9 in D Minor Op. 125
Nada yang kuat dan mantab di awal terdengar begitu Kim Sohyun memejamkan matanya. Menikmati bait demi bait yang selalu membuat takjub siapapun yang mendengarnya, tak terkecuali
Irene. Guru berumur dua puluh lima tahun itu cukup terkejut, kemampuan siswi itu ternyata lebih baik daripada terakhir kali.
Sialan! Kalau begini, Eunha tetap akan kalah darinya.
Permainan Sohyun hampir memasuki klimaks. Matanya kini memandang lurus ke arah partitur, tanpa berkedip.
"Apa yang dia lakukan? Bukankah seharusnya dia sudah membalik halaman selanjutnya," celetuk seorang siswa. Menyadari gelagat aneh dari gadis itu.
"Cih! Apa dia mau pamer kemampuan barunya," desis Eunha. Membalas perkataan siswa sebelumnya. Siswa itu hanya balas menatapnya sebelum kembali fokus pada permainan Sohyun. "Ini aneh," gumamnya.
Dan benar saja… Sohyun kehilangan ritmenya. Parahnya beberapa kali dia salah nada. Membuat beberapa orang terkejut. Namun tidak dengan Irene dan Eunha yang tersenyum lebar.
Ini dia… yang mereka tunggu-tunggu. Kejatuhan seorang Kim Sohyun.
"Hentikan Kim Sohyun!" Irene menginterupsi.
Sohyun kemudian berhenti, lalu menoleh. Sepertinya tidak sadar dengan yang terjadi.
"Kau mau main piano atau membuat kami tuli sih? Jelek sekali." Lagi, Irene menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkan mental Sohyun.
Namun bukannya mati kutu atau menangis, seperti yang Irene harapkan, Sohyun hanya meminta maaf lalu berdiri. "Aku sedang tak enak badan ssaem," katanya.
"Lain kali saya akan lebih fokus dan serius." Sohyun kemudian memberi hormat, lalu pergi.
Membuat leher Irene tegang dan mengepalkan tangannya.
Setelah menutup pintu, Sohyun memukul kepalanya sendiri. "Dasar! Apa sih yang kau pikirkan," gumamnya. Rautnya menunjukkan kekhawatiran. Sebuah ekspresi yang sebenarnya jarang ia tunjukkan kepada orang lain.
"Kim Sohyun," panggil seseorang. Yang memanggil—siswa itu berlari, menyusul langkahnya.
"Apa terjadi sesuatu?" Todongnya setelah melihat permainan Sohyun yang hancur tadi. Dia Shin Jaeha, temannya.
"Tidak ada," jawab Sohyun tanpa menghentikan langkahnya.
Jaeha hanya bisa menghela napasnya. Benar. Kim Sohyun tetaplah Kim Sohyun. Dia tak akan begitu saja mengatakan pikiran dan isi
hatinya.
Langkah keduanya terhenti kala menyaksikan keributan. Sekumpulan siswa nampak beradu mulut bahkan saling dorong.
Melihat itu, Jaeha hanya menggeleng sambil berdecak, "Kekanak-kanakan sekali. Mana yang katanya punya jiwa sportifitas."
"Kau tahu mereka?" Tanya Sohyun.
Jaeha menatap heran Sohyun. "Kau tidak tahu? Semua orang di sekolah ini bahkan daerah ini juga kenal mereka, Hyun. Mereka kan tim sepak bola yang tahun lalu jadi runner-ul turnamen tingkat nasional. Katanya sih, tahun ini juga lolos lagi ke turnamen nasional. Merekan bintangnya jurusan olahraga."
Sohyun mengangguk cuek.
"Kalau yang satunya, tim baseball. Dulunya juga hebat, tapi katanya mau dibubarkan."
Baseball? Ah, Sohyun ingat. Mereka kan sekumpulan pria payah yang tadi di temuinya di koridor sekolah. Rupanya tak hanya payah, tapi juga tak ada harapan. Ck!