Hari minggu terakhir di bulan agustus sekaligus tepat hari kesepuluh puasa di tahun itu, dan baru kali itu aku lihat Bimo marah besar padaku. Tidak pernah dia sampai seperti ini sebelumnya. Bukan perkara dia cemburu atau curiga aku main serong, bukan pula perkara aku tak begitu memperhatikannya belakangan ini. Jika dibandingkan dengan marahnya dia saat peristiwa dengan Rangga waktu itu, hal tersebut tidaklah ada apa-apanya.
Yang tadinya ku ingin menjawab tegurannya jadi kuurungkan sebab aku jadi takut. Dia menatapku dengan tatapan muak nya, seolah aku ini orang lain yang tidak ada artinya. Jujur saja aku merasa sangat perih diperlakukan begitu olehnya.