Malam itu penuh dengan kegugupan. Dari dulu Gin adalah seorang anak yang selalu ingin membuat keluarganya atau orang di sekitarnya merasa bahagia ketika di dekatnya. Dalam pikiran Gin sekarang Dia menginginkan istrinya bahagia pula, namun dengan kepolosannya saat ini Gin malah mengacaukan hati dan pikirannya sendiri.
"Ini hanya sampo dari Tuan Jiro, ini sedikit wangi. Kurasa. Apa aneh? Kau tidak suka?", mata Gin melirik bahu kirinya yang baru saja di cium oleh Mio.
Mio menahan tawa, melihat Gin yang tersipu-sipu membuat Mio semakin ingin menggodanya. Tetapi itu semua di urungkannya. Dalam hati Mio merasa Gin adalah seorang anak yang begitu lugu dan sangat polos. Dan Mio tidak ingin merusaknya di usia muda Gin saat ini.
"Aku kurang suka bau yang menyengat, mungkin karena Aku sudah tua atau mungkin karena Aku memang tidak suka wewangian", jawab Mio membantah hatinya sendiri.
"Maaf", wajah Gin berubah kecewa.
Gin mengerti, pernikahan mereka tidaklah karena mereka saling suka atau saling cinta. Tetapi ini semua demi keluarga Gin yang telah tiada. Memang sangat perlu kecocokan dalam membina rumah tangga, namun dengan umur Gin saat ini memang sangat dini untuk memikirkan sampai ke situ.
"Kita tidak akan tidur bersama, mungkin untuk beberapa tahun ke depan. Apa Kau keberatan, Suamiku?", tanya Mio tersenyum.
"Kenapa? Kau jijik tidur dengan suamimu sendiri bukan.", ucap Gin semakin sedih.
"Tidak, bukan seperti itu", kata Mio beranjak dari ranjang tempatnya duduk. "Aku tidak ingin ditangkap karena meniduri bocah di bawah umur", senyum Mio mengembang tepat di depan wajah Gin.
Jadi karena itu, aku masih terlalu kecil? Tetapi meskipun kecil bukankah masih tetap terasa laki-laki!
Dalam hati Gin sangat kecewa, padahal sedari tadi Dia sudah menyiapkan hatinya dan dirinya untuk berusaha sekuat mungkin melakukan hubungan intim dengan istrinya. Tetapi semua itu tidak akan terjadi, Gin malah salah memahami Mio. Dia pikir Mio menganggapnya anak kecil jadi tidak dapat membuat Mio tertarik kepadanya. Malam pertama pernikahan mereka tidak terjadi sesuatu apapun yang mendebarkan jantung mereka.
"Aku telah mengurus surat pindah untukmu, besok Kau sudah dapat masuk ke sekolah", ucap Mio ke luar dari kamar.
Gin yang di ambang pintu itu terkejut, karena Dia telah lama sekali meninggalkan pelajaran di sekolah. Dia pasti akan merasa senang jika itu bukan tentang sekolah. Gin berpikir untuk tidak lagi bersekolah sejak setahun yang lalu. Baginya sudah tidak ada gunanya lagi bersekolah karena kakak, ibu serta ayahnya tidak dapat lagi melihat dan membanggakan prestasinya di sekolah.
"Aku tidak mau", tolak Gin menutup pintu kamar.
"Aku tidak sedang meminta, mau atau tidak mau ini adalah perintah. Kau harus tetap masuk sekolah, jika tidak mau Kau akan tahu resikonya bocah manis", rayu Mio dari luar kamar.
Gin tidak menjawab sepatah kata pun. Gin malah membenamkan dirinya di kasur yang empuk itu. Dia kesal tidak tidur bersama istrinya, di tambah besok Dia harus bersekolah. Seharian Dia di sibukkan dengan membersihkan tubuhnya, tetapi pada akhirnya tak mendapat apapun dari istrinya.