Malik Estate merupakan salah satu perusahaan Real Estate dan Property terbesar di kota itu. Cabangnya juga sudah ada beberapa yang berdiri di pulau-pulau lain negara ini. Adit membangunnya dengan susah payah, dibantu oleh sahabat karibnya Ajay Nugrah, yang menduduki posisi Wakil Direktur di Malik Estate.
Berlokasi di tengah pusat perkantoran kota. Dengan hunian gedung lima lantai. Kantor pusat Malik Estate ini, sudah menampung ratusan karyawan dalam gedung tersebut.
Putra dan Maya sudah tiba dilokasi tersebut, setelah beberapa jam diajak berputar-putar oleh anaknya, hanya untuk makan sepotong ayam katsu, di sebuah pusat perbelanjaan. Saat memasuki kantor, mereka saling menyapa dengan karyawan yang beberapa sudah mulai berangsur pulang.
"Ayah jadi nggak ya lihat lokasi baru? sudah sore begini."
Maya berjalan sambil menggandeng Putra menuju lift. Ia sempat menengok jam yang tertempel mewah di loby kantor. Sudah pukul lima, rasanya mustahil melihat lokasi pembangunan sore begini.
Putra yang mendengar ibunya bicara sendiri, hanya tersenyum saja. Entahlah… mungkin itu saja yang tak ia ungkapkan.
Saat memasuki ruangan Direktur, Maya terkejut mendapati sudah ada beberapa buket bunga teratai kesukaan Maya, dipadukan dengan bunga-bunga indah lainnya.
"Selamat ulang tahun cinta!"
Adit langsung menyongsong istrinya, memeluk dan menciumi kening sang bidadari hati.
Di sana sudah ada Ajay dan istrinya Arsy, Farah, Hazali dan beberapa karyawan lainnya. Sebuah kue ulang tahun yang manis pun sudah tersedia di atas meja sang Direktur. Tidak ada prosesi tiup lilin.
Meniup lilin, sudah tak ingin lagi Maya lakukan, karena sebuah tragedi, di masa lalu. Saat tanpa sadar, ia menyediakan sebuah kue ulang tahun, untuk merayakan satu tahun kelahiran Mutiara yang tak pernah ada. Hingga ia pun tersadar, kemudian dengan air mata yang terus berjatuhan, lilin itu pun ditiupnya sendiri.
Maya terharu sekali dengan sebuah kejutan sederhana namun sangat manis ini. Adit tak pernah bosan memberikan kejutan pada istrinya, meski pun mereka sudah tak lagi muda. Namun, cinta hendaknya harus selalu disemai, hingga terus mekar dan tak pernah layu.
"Terima kasih, Mas."
Maya mencium tangan suaminya. Memberikan penghormatan dan ungkapan rasa betapa ia benar-benar sangat berterima kasih atas hidup berumah tangga yang begitu membahagiakan ini.
Semua yang berada di sana, ikut hanyut dalam haru.
"Selamat ulang tahun, Ibu Direktur."
Ajay mendekati Maya sambil merangkul istri tercintanya. Dan Arsy langsung memeluk Maya, yang sudah seperti kakak baginya. Memberikan sebuah kado kecil untuk yang sedang ber ulang tahun.
"Makasih Dek."
Maya menerima dengan haru.
Arsy, sosok ini dulu pernah ia selamatkan. Saat derita hidup menimpanya. Saat berusia belasan tahun, Arsy diperkosa oleh seorang pria, kala itu, remaja cantik berwajah timur tengah sedang mencari ayahnya. Ia ditinggalkan begitu saja bersama sang ibu. Lelaki itu pergi dengan wanita lain.
Hidup mereka cukup berada, namun setelah kepergian sang ayah, hidup ibu dan anak itu mulai kesusahan. Hingga sang ibu, yang dipanggil Mami oleh Arsy memutuskan menjadi TKW di luar negeri. Arsy hidup sendiri, ia seperti kehilangan arah. Ingin sekali berjumpa dengan papinya.
Namun tragis, pria yang waktu itu dipercaya karena menjadi kekasihnya, dengan tega melampiaskan hasrat birahinya pada gadis belasan tahun itu.
Arsy hamil, dan terusir. Hidupnya luntang lantung, hingga Maya menemukannya. Maya yang kala itu masih bekerja di Bank Kring, menampung Arsy tinggal di rumah kontrakannya. Mereka hidup harmonis, sampai pada akhirnya, tragedi yang menjatuhkan Maya pun terjadi. Video viral itu tersebar, dan Maya pun menjadi depresi.
Maya membuka bingkisan mungil dari Arsy tersebut, sebuah bros jilbab yang cantik, berbentuk bunga teratai dengan dominan warna hijau dan merah muda. Arsy tahu betul kesukaan Maya. Sekali lagi, Maya memeluk Arsy, yang secara busana mirip dengan dirinya. Bergamis dan berjilbab panjang.
Kemudian, Farah, yang notabene adalah salah satu sahabat dekat Adit dan Ajay semasa kuliah, juga ikut memeluk dan memberikan selamat. Wanita cantik itu juga memberikan sebuah kado, berisikan tiga buah hijab dari produksi artis ternama. Tiga warna yang berbeda, hijau muda, cappuccino dan warna peach. Maya pun kembali memeluk sahabat suaminya tersebut, yang juga pernah menjadi rivalnya saat masih muda dulu.
Farah Kejora, ia sudah mengikhlaskan Adit, semenjak kejadian di telaga kota serambi mekah kala itu. Saat Adit menyatakan cinta sekaligus meminta Maya untuk menjadi istrinya. Farah, melepaskan Adit, karena ia tahu cinta tak meski harus memiliki.
Kini hubungan mereka baik-baik saja. Farah pun bekerja di perusahaan yang Adit pimpin, dengan posisi sebagai kepala Divisi Humas. Sesama teman, harus saling membantu. Begitu lah yang Maya katakan pada Adit, saat Farah meminta untuk bekerja padanya.
Kemudian, beberapa karyawan pun menyalami Maya. Tak terkecuali, dua bujang kesayangannya. Putra dan Hazali.
"Selamat ulang tahun Bunda sayang."
Dua anak itu memeluknya berbarengan.
Di usia yang ke empat puluh tujuh tahun ini. Maya masih merasakan betapa hidupnya sangat sempurna. Tahun berlalu, musim pun terus berganti, dan manusia beregenerasi, yang tua sudah tiada, digantikan oleh yang dulunya muda. Ya, begitulah hidup.
Setelah acara perayaan ulang tahun sederhana Maya selesai, mereka pun bersiap untuk pulang. Ternyata, permintaan Adit untuk menemani melihat lokasi pembangunan baru hanya sebuah alasan saja, agar Maya datang ke kantor.
"Haz, kamu langsung pulang kan?" tanya Maya pada anaknya, sebelum mereka berpisah jalan.
Haz, tidak menggunakan mobil. Ia mengendarai sepeda motor sporty kesayangannya untuk memenuhi panggilan Adit ke kantor. Ia tadinya sedang berkumpul dengan teman-temannya saat usai kuliah.
"Maen bentar Bunda, janji nggak bakal lama."
"Aish anak ini. Nggak boleh pulang malem!" teriak Maya saat Hazali sudah mulai menjauh.
Hazali mengangkat tangannya.
"Kenapa si bungsu kita itu sikapnya tidak seperti abangnya? Nggak ada sopan-sopannya bicara sama bundanya."
Maya gondok sendiri. Adit merangkul dan tersenyum padanya.
"Bunda terlalu manjain dia sih, atau lupa ngedidik saking sayangnya."
Putra yang berjalan di samping ibunya, ikut menggoda. Maya memukul lembut lengan Putra.
"Sudah… sudah…"
Adit tersenyum mencoba melerai candaan pasangan ibu dan anak yang romantis itu.
"Abang langsung pulang kan?" tanya Maya, sebelum memasuki mobil suaminya.
"Lihat dulu, Bund."
Putra nyengir, wajahnya menyiratkan kejahilan yang belum usai.
"Mau kemana?"
"Bunda jangan posesif gitu ah."
Adit menegahi, ia sedikit terganggu dengan sikap posesif istrinya pada anak-anak mereka.
Putra tersenyum mendengar ayahnya bicara.
"Mau cari calon menantu buat Bunda."
Seketika wajah sang bunda ditekuk.
"Sampai ketemu di rumah Bun, Yah."
Putra langsung meraih tangan Maya dan menciumnya, begitu pula pada Adit.
"Kamu itu jangan usil sama bundamu, Bang."
Adit menepuk lembut pundak Putra, yang dibalas senyum lebar sang anak.
"Ah, anak kita sudah memikirkan calon istri aja."
Maya masuk ke dalam mobil, dan menurunkan kaca. Masih ada Putra di sana, menunggu kendaraan orang tuanya berlalu.
Putra masih tersenyum lebar. Ia sangat suka menggoda Maya, yang mudah sekali berubah mood, jika bicara soal gadis lain.
Klakson mobil Audi itu pun terdengar nyaring. Putra pun bergegas menuju kendaraanya.
"Ah, gadis itu.. Kinanti.. Semoga masih bisa menyusulnya."
Walau tahu sudah terlalu telat untuk menyusul ke Bank Kring, Putra tak putus asa. Ia tetap mencoba, setidaknya, ia bisa bertemu dengan gadis itu lagi, di jalan mungkin, lalu membuntutinya.
***
***
Putra tidak masuk ke dalam basemant Gedung, ia hanya memparkir mobil di halaman depan. Karena kondisi kantor Bank tidak lagi ramai. Sudah hampir masuk waktu maghrib daerah setempat.
"Permisi, Pak. Ada yang bisa dibantu?"
Seorang petugas keamanan yang sudah tidak terlalu muda menghampiri mobil Putra. Mungkin merasa heran atau pun curiga. Jam operasional Bank sudah tutup, tetapi masih saja ada yang datang.
Putra pun keluar. Ia berpikir untuk menanyakan saja pada bapak ini, sudah kepalang tanggung.
"Saya nyari Kinan, Pak. Apa dia masih di kantor?"
Beruntung, ia sempat melihat papan nama di loket teller tadi, dan ia langsung mengingatnya.
Petugas keamanan tampak terkejut, seperti ada yang salah saja.
"Pak."
"Mas ini, siapanya Mbak Kinan kalau boleh tahu?"
Dengan sopan, satpam itu pun bertanya.
"Oh, anu… Saya temennya."
Putra berpikir, SOP satpam memang begitu, demi menjaga keselamatan karyawan yang berada di lingkungan kantor.
"Mbak Kinan sudah pulang dari tadi, Mas. Mungkin bisa di susul saja ke rumahnya, atau telepon."
Putra tertegun sejenak. Tentu saja ia akan diarahkan ke sana, karena mengaku teman. Lagi pula, teman pasti tau rumah Kinanti. Tetapi, masalahnya, ia bukan teman Kinan, kenal saja belum.
"Saya telepon kok nggak aktif ya, Pak. Mungkin Bapak ada nomornya yang lain?"
Masih berupaya untuk mencari jalan.
"Mohon maaf, Mas. Untuk nomor karyawan, tidak semua saya tahu. Apalagi selevel Mbak Kinan."
Petugas keamanan tersebut tampak minder.
Ah, tidak bisa dipaksakan. Putra paham posisi bapak satpam ini. Ia kemudian memutuskan untuk pergi saja dan berserah pada alam, jika memang ia ditakdirkan bertemu Kinanti, mereka pasti akan bertemu.
"Saya permisi dulu, Pak. Terima kasih."
Putra pun pamit, dan bergegas melajukan kendaraannya. Semoga alam berpihak padanya kali ini. Walau kebanyakan, alam selalu memihak pada pemuda ganteng ini. Kaum good looking yang selalu mujur.
***
***
Hallo...
Annyeong haseyo...
Namaste...
Selamat membaca...
Mohon berikan kritik dan saran agar author bisa lebih baik lagi dalam menulis...
Gomawo...
Gomapta...
Gomapseumnida...
Kamsahamnida...
Thank you...
Terima kasih...
Bahut...