Sudah sebulan aku menjalani hubungan dengan Fikri, bukan hubungan spesial. Ya, sampai saat ini kami masih belum punya status yang jelas. Hanya sebatas teman dekat, kalau ada istilah teman tapi mesra, sepertinya kami berdua sedang dalam situasi itu.
Jadi aku dapat kecupan di kening terus dong?
Tidak juga, kecupan malam itu, saat kami berdua di taman adalah moment paling dekat secara fisik antara aku dan Fikri. Kami tidak pernah melakukannya lagi, tepatnya Dia tidak pernah mengecup keningku lagi, meski kadang aku berharap dia mencobanya, bahkan dalam hayalanku sedikit lebih nakal.
Sebenarnya bukan karena Fikri menggantung hubungan kami, justru akunya yang belum siap. Kadang aku memahami maksud Fikri untuk menjalani hubungan yang lebih serius, "pacaran". Namun, terus terang aku belum siap untuk itu. Pacaran artinya seutuhnya atau bisa dikatakan "all out", dan jujur saja aku belum ingin memulai hal seperti itu sekarang, aku baru 15 tahun.
"Rick, perasaan kamu sebenarnya gimana?" tanya Fikri saat kami sedang istirahat sekolah. Aku tatap wajah Fikri yang cute, tidak ada senyuman, sepertinya dia serius bertanya.
"Aku senang sudah mengenal kamu, dan kita bisa dekat seperti sekarang. Terus terang saja hari-hariku di sini terasa lebih baik" jawabku santai.
Fikri tidak begitu antusias dengan jawabanku itu, mungkin bukan hal yang ingin dia dengar. Hemmmmm, tapi jujur kok, itulah yang sebenarnya.
"Maksudku, lebih khusus. Kalau dibilang senang aku juga sangat senang kita bisa dekat dan akrab. Aku hanya ingin memastikan, karena aku tidak mau cuma menduga saja" timpal cowok di sampingku ini. Tak tampak wajah canggung atau kikuk, Fikri menatapku penuh arti, tergambar harapan dalam tatapannya itu.
Aku susah untuk menjawab, sejenak aku diam mecari kata-kata yang pas untuk diucapkan. Kalau ditanya perasaanku, jawabannya sudah sangat jelas, aku menyukainya, aku mencintainya. Memang awal pertemuan kami ketika MOS adalah saat pertama kali rasa suka itu tumbuh, seiring aku mengenalnya, cinta itu berkembang semakin subur, ya Fikri tidak hanya tampan, tapi dia benar-benar bikin aku nyaman. Senyumannya, pelukannya, bahkan kecupan di kening waktu itu, meski cuma satu kali, cukup jadi alasanku untuk mencintainya.
Tapi kalau masalah status hubungan? Aku juga bingung, terus terang saja pacaran tidak semudah mengucapkannya, ada konsekuensi yang harus aku dan dia tanggung, dan aku belum siap untuk itu.
"Hemmmmm, kalau lebih khusus, tentang hubungan yang serius, aku nggak bisa jawab sekarang, jujur aku nggak ngerti dengan perasaan yang ada dalam diriku." jawabku.
Fikri menarik nafas, pandangannya lurus menghadap bukit-bukit yang mengelilingi kampus ini. Aku tak tau apa yang ada dalam benaknya, hanya saja aku belum dapat mengartikan perasaanku sendiri. Mungkin dia kecewa dengan jawabanku, tapi aku harap dia dapat mengerti, kami hanyalah anak-anak kecil, di dunia luar cinta anak-anak seumuranku masih disebut cinta monyet.
Memang satu setengah tahun lalu aku benar-benar jatuh hati pada anak ini, bahkan saat ini rasa itu sudah bertambah berkali-kali lipat. Ingin aku katakan padanya, jangan meragukan cintaku, tapi bagaimana? Mengungkapkannya saja belum. Kami berdua hanya saling menduga, membaca simbol dan rasa di antara kami. Seperti kendaraan di traffic light, ketika lampu merah menyala, kendaraan berhenti dan bila lampu hijau menyala maka kendaraan itupun berjalan kembali, tidak ada pemberitahuan, tidak ada pengumuman, hanya simbol yang umum, ya begitulah kami, membaca sikap kami masing-masing.
"Aku ingin jadi pacarmu Vick, karena aku benar-benar menyayangimu, tapi semakin aku jalani dan melangkah ke dalam realita ini aku semakin takut dan tak berdaya. Aku tidak pernah pacaran sebelumnya, aku akui waktu SD aku pernah suka sama cewek sekelasku yang bernama Apriyani, dia selalu ranking satu saat itu. Tapi itu hanya cinta monyet, cinta yang aku sendiri tidak tau artinya. Aku tidak tau rasa sukaku karena dia cantik atau pintar, sampai saat ini pun tidak dapat aku bedakan."
Ingin aku ungkapkan isi hatiku itu padanya, tapi aku tak tahan melihat dia kecewa. Aku belum siap pacaran, apalagi pacaran sama seorang cowok. Entahlah, memang benar awalnya aku ingin dekat dan mengenal Fikri lebih jauh, bahkan jujur saja aku menghayalkan kami pacaran, bersenang-senang dan hal-hal lainnya, bahkan sampe yang mesum pun juga muncul dalam bayanganku.
Sekarang, setelah semua yang aku alami, proses panjang mendekati cowok idamanku sampai pada tahap ini, justru aku bingung. Aku tidak yakin untuk menjalani hubungan serius sesama cowok, ketakutan mulai muncul di dalam hatiku, bagaimana kalau orang tua ku tau? Apa yang akan mereka rasakan? Apakah ini jati diriku? Sudah benarkah pilihanku?
Entahlah, aku tak tau jawabannya dan tak ingin tau.
"Kok kamu diam?" tanya Fikri dengan senyumannya yang ramah.
Aku hanya membalas dengan senyum getir, pikiranku masih kalut. Ada perasaan tak enak, rasa bersalah karena mengecewakannya, bahkan ada rasa takut seandainya Fikri mencari pacar lain. Aku belum bisa menerima itu, aku ingin memilikinya, tapi kelihatannya aku belum ikhlas dia memilikiku, egois memang.
"Mukamu kok jadi serius gitu?" tiba-tiba Fikri bercanda seolah-olah apa yang ditanyakannya barusan tidak perlu dibahas lebih lanjut.
"Habis pertanyaanmu bikin aku harus banyak mikir" jawabku pelan
Dia meletakkan tangannya di pundakku, aku tak menepisnya karena berasa nyaman begitu. Kusandarkan kepalaku di lengannya, aroma tubuh Fikri begitu segar, bikin aku tambah nempel, hehehe. Jujur saja, aku enggan beranjak dari posisi ini. Entah sudah berapa kali aku menghayal memeluk peri tampan ini, kadang juga sampe kebawa mimpi.
"Mungkin beberapa hari ke depan kita akan jarang bertemu" ucap Fikri tiba-tiba, suaranya terdengar kurang bersemangat.
Aku meluruskan tubuhku dan menatap wajah Fikri, wajah yang serius dan terlihat murung. Dia tidak sedang bercanda.
"Apa maksudmu? Apa masalah "hubungan serius" tadi?" tanyaku penasaran.
Dia menggeleng dan tersenyum saja, meski senyumnya berbeda, dalam senyum itu tersimpan rasa yang aku tak pahami. Ada apa sebenarnya?
"Nggak lama lagi ujian nasional, wali kelasku sudah menjadwalkan belajar malam hampir setiap hari, jadi kita akan jarang bertemu" Fikri memberi jawaban atas kegundahanku.
Aku sedikit lega, syukurlah kalau cuma masalah itu, artinya hubungan kami akan tetap berjalan, meski hanya sebatas teman dekat. Tapi kalau dipikir-pikir masa wajahnya sampe sebegitu sedih sih, kan cuma nggak ketemu beberapa hari, bukan perpisahan selama-lamanya.
"Tapi kan siang ada waktu. kamu juga nggak belajar melulu kan?" sindirku manja.
"Hahahaha, kamu ini nggak ndukung aku sukses ya?" ucap Fikri sambil nyengir, sekarang mukanya sudah di depan mukaku, ingin rasanya aku cium bibirnya yang merah itu. Ah, aku nakal, hahahaha.
"Ngapain juga aku dukung, kamu kan bukan pacarku" timpalku pura-pura ketus.
"Nah kalau aku bukan pacarmu, kenapa kamu berharap waktu siang buat ketemu" balas Fikri dengan senyum puas. Aku manyun saja, anak ini benar-benar jago mematahkan alasanku, huft, meski itu salah satu faktor bikin aku tambah suka.
"Oke, kalau siang kamu juga nggak ada waktu, kan masih ada Kevin" balasku nggak mau kalah.
Muka Fikri berubah 360 derajat, sepertinya kata-kataku tadi benar-benar menusuk ke hati, hahaha.
"Oh itu jadi alasanmu nggak mau hubungan kita lebih khusus, aku mengerti sekarang" kata-kata Fikri terlihat kecewa.
Oh my god, dia beneran marah? Aku tadi kok ngomong gitu sih, padahal maksudku cuma becanda. Nggak mungkinlah aku sama Kevin "pacaran", ya meskipun aku tidak menolak berciuman atau lainnya dari Kevin, secara dia juga cakep, apalagi cuma pake celana renang, ih kok malah ngeres, huft. Maksudku, aku nggak ada perasaan spesial sama Kevin saat ini.
"Sorry, aku becanda, Kevin itu cuma temanku kok" ucapku lesu. Kadang memang niat bercanda malah dipahaminya salah.
Fikri hanya diam saja, dia tidak memandangku. Rasanya benar-benar nggak nyaman, kok jadi gini.
"Hahahahaha, lucu liat muka kamu gitu" sambil tertawa Fikri memelukku dari samping.
Huh! Dasar Fikri, aku sudah menyalahkan diriku sendiri, dan jadi salah tingkah begini, ternyata dia cuma main-main saja. Awas!
"Hey, kamu ngerjain aku ya" ku tepis tangan Fikri dan melepaskan pelukannya. Dia malah tambah asik tertawa.
"Kita bukan muhrim, jangan peluk-peluk" balasku jengkel. Aku masih kesal dibuatnya, ku kira tadi dia benar-benar kecewa, habis tampangnya sangat meyakinkan.
"Masa nggak boleh meluk sih" Fikri merengek seperti anak kecil. Sekarang giliranku yang jutek.
"Oke lah kalau nggak boleh meluk, aku cium aja ya, di bibir boleh?" bisiknya dengan muka sejengkal dari mukakku, terang aja bikin aku kaget dan gugup, jantungku juga dag dig dug.
"Nggak boleh, aku bukan cowokmu" spontan aku memalingkan mukaku ke depan.
Fikri malah tertawa lebar, kelihatannya anak ini seneng banget bikin aku sebel.
"Tapi kenapa kamu harus marah kalau beneran aku mau jalan sama Kevin? Kitakan tidak sedang pacaran" sindirku dengan senyum puas.
Fikri tidak menggubris pertanyaanku, malah dia cuma nyanyi-nyanyi sendiri. Dasar Fikri, pasti nggak bisa jawab tuh.
Kebersamaan kami hari itu berakhir setelah bel masuk kelas berbunyi. Tidak banyak pertemuan setelah itu sampai hari ini, aku maklum karena menjelang ujian nasional begini seluruh siswa kelas 3 SMP dan SMA sudah sibuk mempersiapkan diri. Hemmmmm, tahun depan aku akan menghadapi hal yang serupa, semoga saja.
Kalau sudah jarang ketemu begini bawaannya kangen, mau ke asramanya juga jadi serba salah. Fikri selalu pulang lewat jam 10 malam, sedangkan jam segitu absen malam di asrama. Seluruh siswa tidak diperkenankan keluar lebih dari jam 10, kecuali yang dapat panggilan pengurus OSIS atau guru. Kalau ada keperluan mendadak bisa izin ke pengurus asrama, masalahnya mau ketemuan sama Fikri lewat jam malam, tidak termasuk kategori urusan penting menurut pengurus asrama, huft.
Meski sebenarnya saat siang Fikri bisa saja menemuiku, karena tidak ada jam belajar, tapi anehnya dia tidak melakukannya. Menurutku tidak ada masalah saat kami terakhir ketemu, meski Dion beranggapan bahwa Fikri sebenarnya pengen nembak waktu itu dan aku justru menolak sebelum dia menyatakan perasaanya.
Padahal bagiku, saat itu Fikri hanya menanyakan perasaanku, tidak ada indikasi dia mau nembak, dan aku juga belum siap pacaran. Jadi itu bukan alasan dia menghindar atau menjauhiku seperti pendapat Dion. Aku sih tetap yakin dia hanya sibuk saja, karena ujian nasional semakin dekat.
Aku sempat cerita sama Reno dan Idris, kedua sahabatku itu juga bingung mau ngasih saran, menurut mereka berdua, semua tergantung aku, karena Fikri sudah jelas punya perasaan dan ingin kami pacaran, sedangkan aku juga punya rasa yang sama, hanya saja aku belum siap untuk pacaran.
"Jadi intinya tergantung kamu Rick, ucapan Fikri itu sudah mengisyaratkan dia nembak kamu"
Begitu kira-kira pekiraan Reno. Tapi dia hanya bertanya tentang perasaanku, bukan nembak? Meskipun menurut Reno ada perbedaan nembak sesama cowok dengan nembak cewek. Kalau nembak cewek tinggal ungkapin saja, masalah ditolak urusan belakangan.
Namun untuk urusan nembak sesama cowok, setidaknya punya keyakinan tujuh puluh persen dulu kalau dia punya perasaan sama, baru berani eksekusi. Jadi wajar kalau Fikri perlu signal yang lebih meyakinkan dariku. Artinya Reno sependapat dengan Dion.
Sedangkan Idris tidak banyak saran, yang ada dia malah balik nanya tentang apa saja yang sudah kami lakukan dan ujung-ujungnya otaknya ngeres, jadi malas ngebahas masalahku sama anak itu.
Yang bikin tambah bete malah si Dion, bukannya cari solusi anak itu sekarang justru mendukung agar aku jaga jarak dulu sama Fikri. Aneh, kemaren nyuruh nerima dan menafsirkan kata-kata Fikri, hari ini sudah beda lagi pendapatnya.
"Fikri sedang mempersiapkan diri untuk ujian nasional, jadi kamu harus memahaminya. Lagian kamu harus fokus ke pelajaran kita juga, sebentar lagi ujian kenaikan kelas, jangan mentang-mentang kamu kelas A sudah yakin naik. Memang sih, bisa dipastikan semua teman sekelas kita akan naik, masalahnya naik kelas 3 apa dulu? Sudah siap kamu kalau naik ke kelas 3H?"
Ucap Dion dengan ritme begitu cepat saat aku curhat sama dia, bukannya ngasih pencerahan malah ngasih petuah, dasar Dion!
Semua hal-hal kecil bercampur aduk dengan ketakutan, kelemahan dan ketidakberdayaan sehingga aku merasa seakan-akan punya beban yang begitu besar. Tapi omongan Reno ada benarnya, akulah kunci semuanya. Ambil sikap yang tegas, kemudian enjoy saja. Hemmmm, Mudah sekali diucapkan, tapi nggak tau cara menerapkannya. Huft.
Entah sudah berapa lama aku duduk di ruang rekreasi, memikirkan hal-hal yang terjadi selama ini. Dion belum sampai juga, padahal janjinya mau ngajak ke bagian tamu. Ya, meski sudah lebih satu setengah tahun aku dan Dion bersahabat, aku belum pernah bertemu orang tuanya, dan kebetulan hari ini mereka berkunjung, jadi dia akan ngajak kami ke bagian tamu, sayangnya Idris latihan teater dan Reno latihan bola sama klubnya, alhasil cuma aku saja yang ada waktu luang.
Akhirnya Dion muncul juga, sudah lumayan lama aku duduk sendirian di ruanganan ini, maklum saja jam sore begini semua siswa banyak yang ikut eskul, olahraga, ke kantin dan pacaran, makanya ruang rekreasi jadi kosong, mungkin kalau aku sedang pacaran sama Fikri, entah sedang dimana kami sekarang.
"Udah lama nunggu? Sorry ya tadi aku ada tugas dikit. Lagian kamu aku suruh ke asramaku malah nggak mau" ucap Dion masam. Aku tidak menjawabnya, males banget, nanti malah lain lagi yang dibahas.
Kami berdua segera berangkat ke bagian tamu buat ketemu sama ortunya, bukan hanya sebatas kenalan tapi juga makan-makan, kalau sedang ada kunjungan orang tua sudah jadi tradisi banyak jajanan yang dibawa masuk ke kampus, ada buah-buahan, camilan khas dan banyak lagi. By the way aku juga nggak tau apa camilan khas dari Malang selain buah apel, hehehe.
"Asramaku lebih dekat ke bagian tamu ketimbang asramamu, jadi mending aku nunggu di asramaku saja" jawabku seadanya sambil berjalan. Aduh, kok aku malah jawab sih pertanyaan Dion tadi. Mana pake ngarang alasan lagi, Shit!
"Iya, aku percaya," timpal Dion dengan nada jelas-jelas tidak yakin. Dasar anak ini, analisisnya terlalu dalam.
"Kenapa nadanya begitu?' tanyaku kesal.
"Sudahlah nggak usah bohong, kamu nggak mau ke asramaku kan karena males ketemu sama Fikri?" tuduh Dion, huft! Meski benar tapi aku enggan mengakuinya.
"Nggak, ngapain juga aku males ketemu dia, kami sudah dekat kok, dan juga nggak ada masalah di antara kami" balasku masam.
"Emang terakhir kamu ketemu dia kapan?" tanya Dion dengan tatapan tajamnya.
Akhirnya kesini lagi bahasannya, ngapain sih tadi aku pake jawab segala. Tapi kok Dion sekarang jadi aneh gitu, bukannya dia setuju agar aku menjaga jarak sama Fikri, supaya kami bisa fokus ke pelajaran masing-masing.
"Kok diam? Sudah lupa ya pertemuan terakhir kalian" Dion kembali mengulang celutukkan yang sama, bikin nggak enak saja.
"2 minggu yang lalu," jawabku lesu, ya memang sudah cukup lama, kadang aku ragu hubunganku dengan Fikri baik-baik saja, walaupun hal biasa bila teman tidak saling ketemu dalam 2 minggu, tapi aku dan Fikri setidaknya lebih dari teman, meski tidak pernah kami ucapkan.
"Waktu istirahat sekolah itu?" tanya Dion sambil sesekali melirik ke arahku.
"Iya," jawabku tanpa menatap wajahnya, anak itu diam saja. Kelihatannya dia juga tidak ingin membahas lagi masalah ini dan akupun sama.
Kami berjalan menyusuri lapangan bola, sengaja aku tak memandang Dion. Gedung-gedung asrama terlihat berbaris di seberang lapangan. Di sebelah barat tampak gedung asrama dengan arsitektur unik. Aku ingat Dion pernah menjelaskan kalau dulunya itu untuk perpustakaan, tapi akhirnya dijadikan asrama, dan salah seorang teman kami sekarang tinggal di asrama itu, ya Kevin.
Rasanya kangen sama Kevin, semenjak aku dekat dengan Fikri, Kevin jarang nyamperin aku lagi, padahal kadang aku membutuhkannya, menurutku dia salah seorang teman yang baik untuk diminta pendapat, meskipun dia suka ceplas ceplos. Apalagi aku mulai cemas, bagaimana kalau Fikri melupakanku? Kalau ada Kevin, setidaknya dia bisa memberi masukan tentang hubunganku dengan Fikri, apalagi anak itu sudah kelas 1 SMA mau naik kelas 2, jadi dia sudah paham dengan pacaran sesama cowok di sekolah ini. Aku benar-benar bingung.
Jujur saja, aku sangat rindu sama Fikri, walau kami satu sekolah, hampir dua minggu ini aku tidak melihat batang hidungnya, di ruang makan dan di taman juga tidak kelihatan, meskipun hampir semua kelas 3 SMP juga begitu. Sekolah ini memang sudah punya reputasi soal tingkat kelulusan Ujian Nasional, aku pernah ke ruang kepala sekolah dan ada cukup banyak lemari berisi piala-piala kaki empat dan piagam-piagam yang tersusun begitu dempet di dinding, nyaris membuat tembok di ruangan itu tak nampak lagi.
Tentu saja semua itu simbol prestasi yang diraih sekolah ini, ya sekolah ini selalu mengikuti even-even lokal, nasional bahkan internasional. Seperti saat ini, Jambore Dunia di Jepang kami mengutus satu kontingen, teman sekelasku Arthur jadi pesertanya. Sebenarnya tidak ada persaingan ketat untuk mengikuti jambore, toh akhir tahun ini akan ada dua jambore lagi, yaitu jambore Asia Pasific di Seoul, Korea Selatan dan Jambore Pemuda di Amsterdam, Belanda. Hanya saja untuk ongkos dan akomodasi bayar masing-masing, lumayan mahal biayanya, setara dengan satu mobil bekas tahun 90 an lah.
Si Arthur malah sudah daftar dua-duanya. Dia anak yang cakep dengan warna kulit sawo matang. Aku tidak akrab sama anak itu, dia dari Jakarta tapi aslinya Magelang. Ayahnya di Mabes TNI, konon di pundaknya ada bintang tiga biji, aku nggak ngerti setinggi apa pangkatnya dan apa jabatannnya, mungkin saja dengan bintang tiga buah itu gajinya selangit, makanya anaknya bisa pergi keliling dunia begitu, hehehe.
Dengan reputasi sekolah yang sudah bagus dan berprestasi tentu saja pihak sekolah akan mempertahankannya atau bahkan berusaha lebih hebat lagi, akibatnya semua siswa kelas 3 SMP dan SMA harus belajar, belajar dan belajar. Hemmmmmmm, akhirnya aku mengerti kenapa Fikri bilang akan sulit ketemu, maka aku tetap yakin kalau dia tidak menjauhiku, karena anak kelas 3 SMP benar-benar sibuk. Tapi kenapa siang waktu istirahat dia tidak menemuiku?
Entahlah...
"Aku kangen banget sama kamu Vick, aku nggak bakal menepis tanganmu lagi kalau kamu mau memelukku". Ouch! Nggak boleh mikirin itu, aku belum siap pacaran.
"Kamu mikirin apa sih?" tanya Dion sambil menepuk pundakku, ternyata kami sudah sampe di Gedung Bagian Tamu.
"Nggak mikirin apa-apa, kita langsung ke kamar tamu?" tanyaku sekalian mengalihkan pertanyaan Dion.
"Iya, tapi ke kantor Bagian Tamu dulu buat mendaftarkan nama" ucap Dion sambil mengajakku berjalan ke ujung teras gedung.
"Perasaan tahun lalu waktu papa dan mamaku kesini nggak pake daftar dulu deh,"
Mendengar ucapanku itu Dion berhenti sejenak. Dia menatapku seakan-akan aku bersalah, mulai lagi nih sok taunya.
"Tahun lalu kita anak baru, jadi kalau kesini langsung saja ke kamar tamu. Untuk anak lama seperti kita sekarang, harus lapor ke Bagian Tamu dulu." ucap Dion.
"Anak lama wajib lapor untuk antisipasi supaya nggak ngumpet di sini." Dion menambahkan melihat gelagatku yang ingin bertanya lebih lanjut hahaha, tau aja anak ini.
"Ngapain ngumpet di sini? Emang takut sama apa?" tanyaku berlagak polos, tapi malah kelihatan tolol. Dion hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, hahahaha aku jadi kelihatan bener-bener tolol nih.
"Supaya anak lama nggak ngumpet di sini waktu lari pagi, waktu latihan pidato, waktu pramuka bahkan sengaja bolos saat jam sekolah dan menjadikan kamar tamu tempat ngumpet" ucap Dion cepat seperti komentator bola, dan aku cukup mengangguk saja pertanda sudah paham.
Kami berdiri di depan kantor Bagian Tamu, pintunya terbuka, tapi tidak ada orangya. Ruangan kantor ini tidak terlalu luas dengan satu set sofa dan meja yang lumayan besar, ada komputer dan tumpukan buku di sampingnya, mungkin data seluruh siswa di sini. Di dinding terpampang foto-foto lumayan besar dalam figura berwarna hitam. Di setiap bingkat terdapat foto enam orang siswa kelas 3 SMA berpakaian formal dengan menggunakan jas dan dasi, sepertinya itu adalah foto-foto para pengurus Bagian Tamu dari periode ke periode, karena di sudut bawah ada tahun yang menandakan angkatan masing-masing.
Aku tertegun melihat orang-orang yang ada dalam foto-foto itu, semuanya sama, "CAKEP". Terus terang saja, aku jarang sekali melihat cowok-cowok cakep kumpul dan berfoto bareng begitu, kecuali boyband-boyband di televisi, itupun cakepnya karena sudah ditambal sana sini. Tapi foto-foto anak SMA ini benar-benar natural, tidak ada editan, posturnya hampir sama semua, dengan pose semi formal dan sambil tersenyum, aduhhhh pokoknya cakep.
"Kenapa ngelihat foto-foto itu kamu kok jadi ngelamun?' ucap Dion, hahaha aku sampe lupa kalau ada anak ini di sampingku, padahal aku kesini kan ikut dia. Habisnya yang dalam foto-foto itu cakep-cakep banget.
"Ini pengurus Bagian Tamu ya?" tanyaku pura-pura ke Dion, meski aku sudah bisa menebaknya.
"Ya, bagian dengan kriteria khusus, dan semuanya ada di kamu" jawab Dion asal saja.
"Aku serius" balasku.
"Beneran. Bagian tamu adalah bagian yang sangat penting di sini, bisa dikatakan wajah sekolah ini ada di bagian tamu." Dion menambahkan, aku malah jadi nggak ngerti. Aneh.
"Karena siapapun yang berkunjung kesini mesti lewat bagian tamu, kalau bagian tamunya nggak ramah, nggak enak dipandang mata, satu sekolah akan dianggap jelek. Makanya bagian tamu itu disebut wajah kampus ini"
"Oh begitu,"
"Yang namanya wajah harus enak dipandang, meskipun orang punya muka jelek tetap saja dia berusaha membuatnya enak dilihat, mungkin pake pemutih, pake bedak, pake obat atau oplas seperti artis-artis korea itu"
"Apa hubungannya?" tanyaku.
"Tentu saja ada hubungannya. Syarat jadi bagian tamu itu aku sebutin ya, pertama harus cakep, jadi kalau tidak cakep langsung gugur. Kedua harus ramah dan sopan, ketiga mengerti seluk beluk kampus ini, karena bila ada yang study banding kesini, bagian tamu yang jadi guidenya, jadi harus mampu menejelaskan dengan benar."
Ya, masuk akal juga kalau harus mengusai seluk beluk kampus, tapi urusan cakep tadi tetap saja aku nggak sependapat. Paling itu juga karangan Dion saja.
Tapi ada benernya juga kalau lihat kakak-kakak yang di foto-foto itu cakep-cakep orangnya, entahlah, bisa juga Dion benar.
"Selain itu juga harus tau tata krama meja makan, soalnya kalau ada tamu-tamu VVIP, taukan?' tanya Dion sekilas, aku menggangguk saja.
"bagian tamu akan menjadi penanggung jawab urusan makan, mulai dari hidangan pembuka sampe hidangan penutup, termasuk penataan meja prasmanan, menu yang disajikan dan asisten yang bertugas di setiap ruang dan meja" tambah Dion.
Kelihatannya bagian tamu ini benar-benar orang penting, memang nggak segalak keamanan, tapi kesannya eksklusif banget.
"Apalagi masalah makananan, bagian tamu itu paling enak, setiap ada wali murid yang berkunjung, mereka sering dapat oleh-oleh makanan, pokoknya asik lah" tambah Dion. Anak ini dapat info darimana saja sih, kok tau semuanya.
"Cari siapa?' tiba-tiba anak SMA keluar dari gorden di sudut ruangan. Aku sempat kaget, kukira itu tadi jendela, ternyata di sudut ruangan tempat kakak itu muncul ada pintu, habisnya tertutup gorden. By the way kakak ini cakep banget.
"Mau daftar kak, ada kunjungan keluarga" jawab Dion sopan.
Kakak bagian tamu itu menatapku sesaat, kemudian menunduk sambil tersenyum sendiri. Dia duduk di atas kursi yang ada meja nya dan mengambil buku tebal berwarna biru muda.
"Daftar Pengunjung" judul buku yang ia serahkan ke Dion.
"Apa hubungan sama pengunjungnya?" tanya kakak itu lagi.
"Orang tua kak?' jawab Dion yang nampaknya sudah mengisi tanda tangan di kolom yang sudah diisi oleh orang tuanya saat mendaftar tadi siang.
"Loh, kamu adiknya Rifki ya?" tiba-tiba kakak itu berbicara sangat ramah sama Dion.
"Ya kak" jawab Dion malu.
"Aku Yoga, teman sekelas kakakmu, tadi kakakmu barusan ke sini. Ini siapa?' tanya kakak itu sambil melirik ke arahku. Aku baru ingat kakaknya Dion sekarang kelas 3 SMA, bagian pramuka. Habisnya setiap ngumpul selalu ngebahas aku dan Fikri, jadi lupa sama kakaknya Dion yang seangkatan sama semua pengurus OSIS.
Ternyata kakak cakep ini temannya kak Rifki, boleh juga tuh koneksi kakaknya Dion, buat selingan hahahaha.
"Teman kak." jawab Dion sopan. Kakak itu mengangkat kedua alisnya, dan sedikit tersenyum.
Dion sekarang kok sopan banget, tadi bicaranya ceplas ceplos, mungkin juga kakak ini mendengar penjelasan Dion, apalagi berkaitan dengan bagian mereka, makanya Dion jadi rada sungkan hahahaha.
Ketika Dion menyerahkan buku biru itu, dua orang siswa SMA masuk, kelihatannya juga bagian tamu, posturnya sama tinggi dengan kakak yang melayani kami, dan tentu saja tidak kalah cakepnya. mereka berdua senyum sekilas dan berjalan menuju pintu di balik gorden tadi, mungkin di belakang pintu itu kamar bagian tamu.
Tiba-tiba salah seorang dari dua kakak itu berhenti lalu temannya ikut berhenti, mereka menatapku lalu saling lirik sama kakak yang bernama Yoga tadi.
"Ga, calon tuh" clutuk kakak itu.
Anak yang bernama Yoga tadi hanya tersenyum, aku dan Dion diam saja. Lalu kami keluar dari kantor itu untuk menuju kamar tamu.
"Eh tunggu," tiba-tiba kakak yang baru datang tadi memanggil kami yang sudah di luar pintu, aku dan Dion menoleh.
"Nama kamu siapa?" tanyanya menatap ke arahku.
"Ricko kak," jawabku gugup.
"Oh, kamu ya yang namanya Ricko, dari Lampungkan?" Kakak itu saling pandang sama teman-temannya dan tersenyum.
"Ya kak, ada apa ya?" tanyaku penasaran.
"Nggak apa-apa, cuma nanya saja. Yaudah lanjut saja ke kamar tamu" ucap kakak itu, dan mereka masuk sambil cekikikan.
"Ngapain mereka senyum-senyum begitu, aneh!" gumamku sambil berjalan ke kamar tamu. Dion tidak menggubris, kelihatannya dia sedang asik sendiri, orang tuanya kan lagi di sini.
Kami mengucapkan salam dan masuk ke kamar tamu wanita yang tidak ditutup pintunya. Kamar ini berukuran lumayan luas, ada karpet merah dan beberapa kasur busa yang disusun rapi di sudut ruangan. Ibu Dion sedang ngobrol sama ibu-ibu, yang aku nggak tau ibunya siapa. Ayahnya nggak kelihatan, mungkin ada di kamar tamu pria.
"Ini nak Ricko ya? Mari duduk sini" ajak ibu Dion ramah.
"Ya bu," jawabku sambil duduk di samping Dion. Ibu Dion sepertinya berusia empat puluh tahunan, seumuran mamaku di rumah.
Kami ngobrol panjang lebar sore itu, ternyata ibu Dion bukan saja ramah tapi juga sangat baik. Kami juga makan banyak makanan dan camilan yang dibawa dari Malang, Ibu Dion juga bertanya tentang keluargaku, ya aku jawab saja apa adanya.
Hampir satu jam kami di kamar tamu, dan setelah selesai ngobrol aku dan Dion pamit, karena waktu sudah sore. Orang tua Dion masih akan menginap malam ini, dan pulang besok siang, jadi Dion nanti malam pasti akan ke bagian tamu lagi.
Hemmmm, di perjalanan pulang ke asrama aku dan Dion ngobrol lagi tentang bagian tamu tadi, ya masalah sepele sih, tapi bikin aku penasaran.
"Aku masih penasaran sama kakak-kakak tadi" ucapku pelan.
"Mungkin kamu nanti akan jadi bagian tamu saat kelas 3 SMA" celetuk Dion sambil tersenyum.
"Hemmmmm, kalau dipikir-pikir sih lumayan enak jadi bagian tamu." ucapku asal saja.
"Bukan lumayan, tapi sangat enak. Berapa banyak yang antri jadi bagian tamu. Apalagi kalau sedang ada tamu rombongan dari sekolah khusus putri, kan bagian tamu yang jadi tour guidenya" terang Dion sambil tersenyum tipis.
"Apa istimewanya itu?' tanyaku ketus.
"Ouch, aku lupa kamu kan nggak suka cewek" canda Dion sambil menjaga jarak, takut aku timpuk kayaknya.
Pengen banget nimpuk anak ini, enak aja ngomong begitu. Memang aku sedang dekat dan suka sama cowok yang namanya Fikri itu, bukan berarti aku nggak suka cewek.
"Nggak usah jutek gitu, kan juga ada tamu rombongan dari sekolah khusus cowok, kali aja banyak yang cakep" sekali lagi Dion bikin aku tambah kesal saja.
"Sudah puas sekarang?" timpalku masam.
Dion malah tertawa terpingkal-pingkal ngeliat tampangku, aku juga jadi ikut tertawa. Dion ini benar-benar anak yang nyebelin banget.
"Tapi bener kok, kalau aku jadi ketua OSIS, kamu akan aku pilih jadi pengurus bagian tamu" ucap Dion masih sambil tertawa.
"Boleh, kalau begitu aku akan pilih kamu deh jadi ketua OSIS" balasku. Dion tersenyum, kelihatannya geer juga tuh anak. hehehehe.
"Kakak-kakak bagian tamu tadi cakep-cakep ya, dan ramah-ramah juga" ucapku.
"Semua bagian tamu itu saat masih junior adalah "seleb" nya kampus"
Aku berhenti mendengar ucapan Dion barusan. Seleb kampus? Apa siswa-siswa "populer" maksud Dion?
"Mereka siswa-siswa yang dikenal luas karena tampangnya yang cakep, aku tau sama kakak yang tadi melayani kita," celetuk Dion, dasar dukun tau aja pertanyaanku selanjutnya.
"Kak Yoga tadi maksudmu? Tau apanya?" tanyaku serius.
"Kakakku suka ngomongin dia waktu aku masih SD, malah dia punya fotonya. Waktu liburan kenaikan kelas kakakku pernah menunjukkan fotonya, meminta pendapatku. Tentu saja aku nggak bisa menilai, aku kan masih kecil" sambung Dion. Aku hanya menatapnya, bingung mau koment apa, ternyata kakaknya Dion doyan cowok juga hahahaha.
"Sekarang aku sudah paham, kelihatannya kakakku mengagumi kak Yoga itu, aku sih nggak pernah ngebahas, heran juga tadi dia nyinggung-nyinggung kakakku."
Ya, aku kira kak Yoga tadi teman sekelas Rifki saja, ternyata kakakknya Dion itu juga pengagum cowok cakep, jangan-jangan Yoga itu...
"Hey, apa mungkin kak Yoga tadi calon kakak iparmu? Jadi ayah dan ibumu kesini mau ngelamar buat jadi istri kakakmu" candaku, muka Dion jadi ungu sangking kesalnya hahahahahaha. Gantian sekarang aku yang ngerjain.
"Sembarangan aja, kakakku sekarang sudah punya cewek di Malang, cantik tau" kilah Dion jutek.
"Bisa aja dia punya cowok juga, si Idris contohnya suka cewek, tapi pikirannya selalu membayangkan cowok bugil" ucapku spontan. Aku dan Dion tertawa dan melanjutkan omongan kami, terutama tentang Idris, sampai kami pisah arah karena asramaku di selatan sedang Dion di Timur.
********
Sudah lama kami berempat tidak kumpul di pondok jerami, dulu waktu kelas satu kami hampir setiap hari ke sini. Dion, Idris dan Reno tampak semakin besar saja posturnya, ya karena kami sudah beranjak remaja.
Siswa kelas 3 SMP dalam hitungan hari akan melaksanakan ujian nasional, tentu saja Fikri akan sangat sibuk hari-hari ini. Aku sudah lupa berapa lama tidak bertemu dengannya. Memang jadi masalah karena kami tidak punya status, jadi nggak ada yang salah kalau tidak berkomunikasi.
Kalau anak kelas 3 SMP sudah mendekati ujian nasional artinya giliran kami yang harus siap-siap UAS, aku dan ketiga temanku ini tidak terlalu cemas dengan ujian kenaikan kelas, dengan nilai semester I yang lumayan, sepertinya kami akan mulus saja naik ke kelas 3 beberapa bulan lagi. Tapi kami harus tetap belajar, jangan sampe kelas 3 nanti masuk lokal H, malu juga rasanya.
"Kamu semakin jauh aja sama Fikri" celetuk Reno di tengah-tengah kesibukan kami membaca pelajaran. Sedang Dion diam saja sambil menatap bukunya, meski aku yakin dia ikut menunggu jawabanku.
"Dia akan menghadapi ujian nasional, jadi biar bisa fokus belajar. Aku juga harus belajar kan? sebentar lagi UAS" jawabku datar.
Idris menutup bukunya, sepertinya dia sekarang benar-benar ingin membahas masalah Fikri.
"Sebenarnya kamu itu cinta nggak sama Fikri?' tanya Idris tanpa basa basi lagi. Aku terperangah mendengar ucapannya, Dion dan Reno tak peduli, justru kedua temanku itu ikut menatapku.
"Ya, aku menyukainya. Aku mencintainya, hanya saja aku belum siap pacaran" jawabku pelan.
"Rick, Fikri itu juga suka sama kamu. Menurutku masalahmu itu bukan takut pacaran, emang apa yang bikin kamu belum siap?" tanya Reno lagi.
"Aku belum siap berhubungan serius, semua kebebasanku akan terkekang. Aku masih ingin menikmati hidupku saja." jawabku getir.
"Gini, sebenarnya pacaran bukan berarti tidak bebas. Kamu jangan beraggapan pacaran itu terlalu mengekang kebebasan, itu semua tergantung pada bagaimana kita menjalaninya. Menurutku pacaran itu adalah ikatan. Tentang bagaimana menjalaninya, semua kembali kepada diri kita masing-masing, mau berduaan setiap saat, atau mau menjalankan kegiatan sendiri-sendiri, itu semua pilihan" timpal Dion.
"Jadi semua akan tetap berjalan pada jalannya masing-masing, namun ikatan tadilah yang menyatukan. Kenapa memperhatikan seseorang? Kenapa mesti peduli padanya? Jawabnya simple kan, karena dia pacarnya" jelas Dion lagi.
"Ya, bener yang Dion bilang. Kalau kamu selalu saja berharap sama Fikri, dan dia sudah jelas-jelas menyukaimu, apa susahnya kamu menerima dia jadi pacarmu. Masalah bagaimana menjalaninya, kalian kompromikan saja, bagaimana enaknya. Yang penting status kalian jelas, setidaknya itu akan membuat Fikri berpikir ulang untuk memutuskan" ucap Reno.
"Memutuskan apa?" tanyaku penasaran.
"Kamu nggak tau?" aku hanya menggeleng, begitupun Dion. Kelihatannya ada informasi yang belum kami dengar.
"Fikri akan menghadapi ujian nasional, setelah itu dia akan tamat, lalu pulang" ucap Reno santai.
"Kita juga akan pulang saat liburan kenaikan kelas," ucapku sedikit lega. ternyata cuma itu.
"Kamu belum paham maksud Reno, Fikri akan pulang selamanya dan melanjutkan SMA di Bekasi" Idris menjelaskan omongan Reno tadi.
"Hah? Tapi kan dia belum tamat, masih tiga tahun lagi?" perasaanku mulai tidak enak,
"Kita tidak harus enam tahun di sini, bila sudah tamat SMP bebas saja mau melanjutkan kemana. Aturan sekolah ini hanya menegaskan siswa SMA di sekolah ini harus lulusan SMP ini juga, namun bagi siswa yang sudah lulus SMP punya hak untuk melanjutkan ke sekolah mana saja yang dia inginkan" Dion sepertinya sudah mengerti apa yang dimaksud Reno dan Idris.
"Temanku yang bilang kalau Fikri akan melanjutkan sekolah di Bekasi, dia sama-sama satu klub bulu tangkis" ucap Reno.
Aku tertunduk, panik, cemas, takut, malu, semua bercampur. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana kalau itu cuma berita bohong? Bukankah gosip yang beredar biasanya banyak bohongnya. Tapi informasi tadi, dari teman Reno yang satu club dengan Fikri, nggak mungkin juga dia bohong. Selama beberapa bulan ini aku tidak banyak berinteraksi dengan Fikri, itu saja sudah bikin aku nggak nyenyak tidur, apalagi kalau harus benar-benar berpisah.
Seandainya sekarang aku mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, apakah dia akan berubah pikiran? Bagaimana kalau itu adalah permintaan orang tuanya, tentu Fikri akan menurut. Aku benar-benar buntu, nggak tau harus bagaimana lagi.
"Kamu ungkapkan saja perasaanmu" ucap Reno penuh harap.
"Ya Rick, nggak usah berharap untuk dia tetap melanjutkan di sini. Tapi setidaknya, dengan mengungkapkan perasaanmu, kamu akan merasa lebih plong saja." Tambah Dion.
Idris juga memberikan saran yang sama, tapi bagaimana? Anak kelas 3 sekarang sedang sangat sibuk. Selain itu bila aku mengungkapkan perasaanku, apakah tidak mengganggu konsentrasinya dalam ujian nanti?
"Entahlah, aku akan pikirkan dulu. Maaf semua, kelihatannya aku ingin istirahat dulu di asrama" ucapku lesu, meskipun hari ini masih sore.
"Ya, ambil keputusan, agar kamu bisa fokus ke pelajaran yang sudah menanti" ucap Dion tersenyum, Idris dan Reno juga tersenyum, mereka sahabat-sahabat yang baik.
Aku meninggalkan teman-temanku di pondok jerami, pikiranku tambah kacau saja, di kejauhan lapangan bola kosong, padahal hari-hari biasa banyak siswa yang berolahraga, namun menjelang masa-masa ujian begini semua kegiatan olahraga divakumkan sementara, agar para siswa fokus dengan pelajaran.
Kalau seandainya Fikri benar memutuskan untuk melanjutkan sekolah di luar, aku harus bagaimana? Aku tak tau jawabannya. Sebulan ini aku cemas bahwa hubunganku sama Fikri semakin renggang, tapi hari ini kecemasanku berubah jadi ketakutan, bukan hanya renggang, kami akan berpisah selamanya.
Aku tak tau pikiranku sedang dimana, langkahku juga tidak jelas kemana, saat tersadar aku sudah ada di depan asrama Kevin, aku tida ada rencana kesini. Selain anak itu aku tidak banyak kenal siswa-siswa yang tinggal di asrama ini. Beberapa siswa duduk di bangku taman sambil membaca buku pelajaran, jadi ragu mau masuk, atau aku ke kolam renang saja, setidaknya di sana lumayan sepi, mengingat semua siswa juga tidak boleh berenang masa-masa ujian ini.
Pintu gerbang gedung kolam ini tidak terkunci, aku masuk dan melihat di lobi tidak ada petugas jaga, hanya ada petugas kebersihan. Aku tidak masuk ruang ganti karena aku bukan mau berenang, hanya ingin menyendiri saja di pinggir kolam.
Aku duduk di bangku panjang dekat kolam renang yang berukuran sedang, hanya ada satu anak yang sedang berenang di kolam yang besar, padahal sudah jelas-jelas dilarang karena sekarang masa-masa ujian. Tetap saja ada anak bandel yang tidak taat aturan.
Ku perhatikan anak itu lebih dekat. Aku terkejut, benar-benar terkejut, sampe buku yang aku pegang jatuh. Aku kenal dia, siapa lagi kalau bukan Fikri. Kok bisa ketemu di sini? Kenapa dia berenang padahal jelas-jelas dilarang?
Sepertinya Fikri menyadari keberadaanku, dia keluar dari kolam renang dan berjalan ke arahku dengan hanya menggunakan celana renang basah dan ketat. Semakin dekat semakin aku menahan ludah, memandang tubuh mulusnya yang putih, dada yang sudah mulai membidang, wajar saja bodynya atletis gitu, dia suka renang, selain itu dia adalah atlet badminton.
Fikri terseyum dan semakin dekat, mukanya yang masih basah tampak begitu mempesona, ingin rasanya aku berdiri dan berlari lalu memeluknya, menumpahkan semua yang ada dalam hatiku. Aku sudah muak dengan rasa takut dan ragu yang ada, aku akan menghadapi resiko apapun.
"Siapa yang bilang ke kamu kalau aku di sini?' tanya Fikri begitu sudah dekat, dia berdiri menatapku dengan senyumnya yang ramah.
Aku tidak menjawab pertanyaannya, jantungku berdegup begitu kencang, memompa darah dan adrenalinku pun bangkit, tak ada rencana, tak ada ketakutan dan tak ada pikiran yang panjang.
Aku berdiri dan memeluknya, lalu mencium bibirnya yang merah, aku tidak bernafsu untuk melakukan tindakan yang tidak senonoh, meskipun dia cuma pake celana renang yang ketat. Aku hanya merindukannya, benar-benar merindukannya.
Fikri membalas ciumanku, beberapa detik kami melakukannya, kemudian aku dan Fikri berhenti, aku kembali duduk, Fikri tetap berdiri di tempatnya, masih bengong dengan adegan barusan, aku juga malu dengan adegan itu.
"Aku berharap kamu masuk SMA di sini, aku tidak sanggup pacaran jarak jauh" ucapku lirih.
"Jadi kita pacaran nih?" tanya Fikri dengan senyum yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
"Kan sudah ciuman di bibir" jawabku polos.
"Petugas kebersihan tadi mana? Jangan-jangan dia lihat kita ciuman tadi" celetuk Fikri tiba-tiba.
"Mungkin saja" jawabku asal, aku tidak peduli kalau dia lihat, lagian petugas itu tidak kenal kami.
"Cium dikit lagi boleh?" canda Fikri manja,
"Pake baju dulu, malu tau" kilahku berlaga jutek.
"Nggak apa-apalah, mendingan kamu saja yang ganti pake celana renang"
"Ihh, pikirannya ngeres" bantahku.
"Tapi kok kamu berenang sih? Kan sekarang masa-masa ujian nggak boleh berenang?' aku baru ingat, padahal ini yang mau aku tanyakan dari tadi.
"Hari ini hari tenang, kami sudah belajar 1 bulan lebih, 2 hari lagi ujian nasional, jadi supaya tidak tertekan semua anak kelas 3 bebas dari kegiatan apapun, dan boleh berbuat apa saja, asal jangan melanggar aturan, buat penyegaran" jawab pacar baruku ini.
"Kenapa kamu milih kolam renang?" tanyaku.
"Aku suka berenang, bikin pikiranku lebih segar aja. Kamu sendiri tau aku di sini nanya sama siapa?"
"Ih... kamu geer banget, aku kesini bukan nyari kamu, aku pengen menyendiri saja, sedang banyak pikiran, jadi aku kesini, kan lumayan sepi, nggak taunya malah ada kamu" kilahku.
"Alesan! ngaku aja kamu kangen? Terus nyari aku sampe kesini." ucap Fikri cengengesan.
"Kegeeran kamu itu, aku sedang banyak pikiran, tadi Reno ngasih info kalau kamu mau masuk SMA di Bekasi" gumamku. Ouch, kok aku keceplosan.
Kulirik Fikri yang sedang berdiri di depanku, dia tersenyum penuh kemenangan. Huft! Dia tau dong masalah apa yang bikin aku begini.
"Rick," bisik Fikri pelan. Aku mentapnya.
"I Love You" ucap Fikri, hatiku terasa aneh mendengar ucapan itu, rada norak menurutku hahahaha, tapi aku senang dia mengucapkannya, dia lebih tua dariku, jadi memang dia seharusnya yang duluan ngungkapin.
Sedang aku malu untuk mengucapkan kata-kata yang sama, masih belum pede. Biasanya cuma artis sinetron yang mengungkapkan cinta dengan kata-kata begitu. Aku berdiri dan memberi jawaban versiku sendiri, seperti kebanyakan di film-film Hollywood, hanya satu jawaban
CIUMAN DI BIBIR
Ternyata menumpahkan segalanya dengan satu ciuman lebih mudah dari pada menceritakan semua unek-unek dan isi kepalaku ini, aku juga masih malu untuk mengungkapkan kata I Love You, tapi setidaknya saat ini aku sudah berani bertindak, dan sepertinya Fikri lebih suka ciumanku ketimbang ucapanku hahahaha....
Setelah ciuman kedua itu, aku dan Fikri duduk di bangku samping kolam, tidak lama petugas kebersihan tadi muncul dari dalam gedung, kelihatannya dia cuek saja.
"By the way petugas kebersihan tadi nggak ngelihat kan?" tanyaku rada malu.
"Kelihatannya belum, sini aku cium lagi biar dia lihat" canda Fikri tiba-tiba.
"Idih, doyan banget ya, males" elakku.
BERSAMBUNG