Saat ini Rio sedang duduk di kantin seorang diri. Ia menghela nafasnya lelah. Jujur saat ini ia sangat lelah bahkan untuk sekedar mengangkat sendok untuk mengisi perutnya saja ia tidak mampu. Ia terus saja mengaduk aduk semangkok bakso yang tadi dipesannya.
"Jangan cuma diaduk aduk doang. Itu bakso gak bakal berubah jadi muka Ririn."
Perkataan orang itu membuat Rio mendongak. 'Ternyata Tere.' Ia tersenyum tipis dan menunduk kembali seolah perkataan Tere itu benar.
"Lagi mikir apa sih lo?"
"Ririn."
Mendengar nama sahabatnya, ia pun tersedak makanan yang baru dimasukkan ke mulutnya. Tere meminum es tehnya,"Dasar bucin lo."
"Biarin aja."
Tere menghela nafas lelah. Lelah melihat Rio yang seperti ini. Sebenarnya orangtuanya tadi pagi juga heran melihat reaksi Rio yang tidak biasanya namun orangtuanya bisa memakluminya setelah bertanya kepada keponakan mereka yang satu sekolahan bersama Rio.
"Gimana nanti pas pulang sekolah kita jenguk Ririn di rumahnya. Gue denger dia udah pulang."
Perkataan Tere barusan berhasil membuat Rio menegakkan kepalanya.
"Serius, Re?"
Tere mengangguk. 'Giliran urusan Ririn cepet deh. Bener bener.'
"Kapan? Pulang sekolah aja ya?"
"Hmm."
Setelah itu Rio makan dengan lahapnya membuat Tere yang duduk disebrangnya tercengang akan perilaku Rio.
***
Setelah bel pulang sekolah berdering, Rio dan Tere sedang berjalan menuju rumah Ririn. Sesampainya di depan rumah Ririn, Fahmi yang membukakan pintu.
"Kak, Ririnnya ada kan? Kita mau jenguk Ririn."
"Ririn udah pulang ke rumah orangtua kandungnya."
"Hah? Tunggu. Jadi, kalian bukan keluarga Ririn yang sebenarnya?"
Fahmi menggelengkan kepalanya.
"Terus, alamat orangtua Ririn dimana?" tanya Rio yang mulai histeris sambil mencengkram kerah baju yang Fahmi pakai.
"Gue gak tau Rio."
Melihat Rio yang mulai emosi, Tere mulai melerai mereka berdua.
"Argh." Rio berteriak seperti orang kesetanan lalu ia duduk di lantai teras Ririn dan mulai menangis disana.
Tere segera berpamitan ke Fahmi dan segera menghampiri Rio dan merangkulnya. Dirangkul oleh Tere membuat Rio merasa lebih tenang. Sungguh ia tidak tau harus pergi kemana lagi untuk mencari pujaan hatinya itu.
"Yo, besok kita cari Ririn lagi ya. Sekarang kita pulang dulu, udah sore."
Rio tidak menjawab, ia melepas pelukan Tere dan berjalan sambil melamun. Melihat kondisi Rio sekarang mebuat Tere tidak tenang untuk meninggalkan Rio sendirian. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti Rio sampai ke rumahnya.
Begitu mereka sampai di depan pintu rumah Rio, Tere langsung pamit pulang karena harus menjaga adiknya yang sedang sakit. Rio menutup pintu, melempar tasnya, dan duduk di sofa depan sambil menutup kedua matanya menggunakan sebelah tangannya. Terdengar langkah orang berjalan menuju ke arahnya.
"Hai Ibu. Ibu aku lagi pusing banget ini, Bu. Tanyain akunya aja ya." masih dengan tangan yang menutupi matanya.
"Rio..."
Suara yang sangat lembut pun menyapa Rio.
'Tunggu, suara ini!?' Buru buru ia menyingkirkan tangannya yang menutupi kedua matanya dan menengok.
Dilihatnya Ririn sedang berdiri di sampingnya dan di belakangnya terdapat orangtuanya dengan raut wajah serba salah. Tapi saat ini fokusnya hanya pada perempuan di depannya ini.
"Ririn, kamu di sini? Aku sama Tere ke rumah kamu tapi..."
Tiba tiba Rio menyadari sesuatu, ia langsung bertanya kepada Ayah dan Ibunya sambil berharap ini tidak seperti apa yang ia pikirkan.
"Ayah, Ibu tolong bilang sama aku ini gak bener. Ini bercandakan."
"Gak, Rio. Ini beneran. Ririn sebenarnya adalah Violet, anak kami."
Rio yang tidak percaya langsung histeris dan berlari menuju kamarnya mengurung dirinya di sana. Ratih memeluk tubuh Ririn untuk menguatkan Ririn.
"Kamu yang kuat ya. Mungkin Rio hanya belum bisa terima kentataan ini."
***
Sebenarnya Rio akan memberitahu Ritrn kalau ia bukanlah anak kandung dari orangtuanya yang sekarang. Tapi begitu melihat ekspresi Ririn yang sendu, terlintas di otaknya untuk sedikit mengerjai Ririn. Jadi, waktu pertama kali bertemu dengan Ririn yang sudah menjadi Violet sebenarnya Rio hanya pura pura terkejut dan tidak menyangka saja.
Tapi hal itu berimbas sampai sekarang. Tiap kali hendak makan malam bersama, Ririn selalu saja makan di dalam kamarnya dengan alasan yang beragam. Rio sendiri pun merasa tidak enak jika harus mengganggu Violet di kamarnya.Lama lama Rio merasa risih dengan keadaan ini. Akhirnya Rio membuat satu keputusan yang lumayan berat untuk ia jalani.
Minggu pagi, Danuarta, Ratih, dan Rio sedang makan bersama di meja makan. Seperti biasa Ririn makan sendirian dalam kamar. Mereka semua makan dalam kesunyian. Lalu Rio berdehem untuk mencairkan susana yang canggung.
"Ayah, Ibu. Rio boleh gak minta sesuatu ke kalian?"
"Kamu mau minta apa?"
"Begini, kan anak kandung kalian sudah ketemu. Rio boleh kan keluar dari rumah ini?"
Parkataan Rio barusan membuat Danuarta dan Ratih terdiam saling menatap satu sama lain.
"Kamu mau tingalin Ibu, nak?"
"Bukan begitu maksud Rio. Tapi-"
Rio terlihat putus asa, Danuarta melihat ada sebuah tekad yang sangat kuat dalam diri Rio yang tidak bisa dibantah siapa pun.
"Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusan kamu nak."
"Terimakasih Ayah."
Ratih yang tidak terima akan keputusan suaminya pun pergi meninggalkan meja makan.
"Kapan kamu akan pergi, nak?"
"Setelah makan siang aku akan pergi. Aku sudah mencari tempat untuk ngekos."
'Jadi Rio ingin pergi?! Kenapa? Apa dia tidak nyaman akan keberadaan ku?'
Tanpa Rio sadari, Violet mendengar semua pembicaraan mereka dan berlari memasuki kamarnya dan menangis di sana.
Tidak lama kemudian, Rio telah selesai beres beres. Ia telah siap dengan 2 buah koper miliknya. Rio keluar kamar dan melewati kamar Ririn. Untuk sejenak ia memandangi pintu kamar berwarna putih tersebut. Diangkatnya sebelah tangannya, tapi detik selanjutnya ia segera menurunkan tanggannya.
'Selamat tinggal Violet. Aku pergi semoga kamu bahagia selalu.'
Kemudian Rio pun segera menuruni
tangga dan berpamitan dengan Ayah dan Ibu yang telah mengangkat anak dirinya setelah itu ia pun pergi. Tanpa Rio sadari Violet sedang menangis mengantar kepergiannya dari jendela kamarnya.
***