Selama beberapa hari di rumah sakit, akhirnya Ririn diperbolehkan pulang. Saat sore hari tiba, Ririn keluar dari kamarnya dan hendak ke kamar Ayahnya. Melihat Ayah dan Ibunya pedang duduk di sofa ruang tamu ia langsung menghampiri mereka.
"Ayah, Ibu boleh Ririn duduk di sebelah kalian?"
Ibunya melihat Ririn sejenak lalu memutar kedua bola matanya malas. Ayahnya langsung bangkit melihat Ririn dan menghampirinya.
"Awas, pelan pelan."
"Ngapain kamu ke sini? Bukannya tiduran di kamar." sinis Ibunya
"Ririn bosan bu di kamar terus lagi pula ada yang mau Ririn omongin."
"Kamu mau ngomong apa?" tanya Ayahnya
"Ririn kan udah pulang jadi, apa boleh Ririn bertemu orangtua kandung Ririn?"
Ayahnya terdiam, jujur ia sangat bingung saat ini. Disatu sisi ia kasihan terhadap Ririn, disisi lain ia belum siap harus mendekam dipenjara karena ia paham akan sifat Danuarta yang tidak segan segan dengan siapa pun yang berani macam macam dengan keluarganya.
"Rin, Rin. Udah deh kamu nyerah aja ketemu orangtua kandung kamu. Siapa sih yang mau terima anak penyakitan kaya kamu?"
"Ibu!"
"Lho, emang bener kan?"
Ririn yang mendengar itu merasa sakit hati dan raut wajahnya menjadi murung. Menyadari perubahan itu, Ayahnya langsung menggenggam tangan Ririn.
"Rin, kamu yang sabar dulu ya. Nanti kalau udah waktunya tiba pasti Ayah bawa kamu ketemu mereka."
Dimas berbicara dengan nada yang sangat lembut hingga membuat Ririn mau tidak mau mengiyakan perkataan Ayahnya.
***
Karena Ririn terus saja meminta ingin bertemu orangtua kandungnya, akhirnya dengan terpaksa Dimas mengantarkan Ririn. 'Aduh, gimana nih, Ririn maksa mulu lagi. Aku sasarin aja apa?' Memikirkan wajah Danuarta yang marah kepadanya saja sudah membuatnya ngeri.
Ririn telah bersiap siap dibantu oleh Ibunya. Sekarang ia telah berpakaian rapih lengkap dengan sebuah koper di sampingnya. Ririn pun duduk di sofa ruang tamu bersama Fahmi dan Angga.
"Kak, jangan lupain Angga ya."
Ririn tersenyum lalu memeluk Angga dengan erat, "Kakak gak bakal lupa kalau punya adik baik kayak kamu."
"Jadi maksudnya, lo mau lupain gue gitu karena sikap gue kurang baik sama lo?"
Ririn pun tersenyum mendengar perkataan Fahmi.
"Ya enggaklah Kak, aku juga gak akan lupain Kakak kok."
"Cie.... Ada yang cemburu nih." celetuk Angga iseng
Mendengar itu Fahmi menjadi malu dan menyenggol badan Angga pelan. Melihat hal itu membuat Ririn tertawa geli. Selama 15 tahun ia hidup baru kali ini ia bisa bercengkrama dengan Kakak dan Adiknya.
Dimas yang baru keluar dari kamar, melihat itu pun hatinya langsung berdesir sekaligus merasa iba. 'Baru kali ini aku melihat Ririn tertawa selepas itu. Selama ini aku, istriku, dan anakku selalu menyiksanya. Sudah sepantasnya Ririn bertemu orangtua kandungnya. Ia pantas bahagia.' Lalu perlahan ia pun menghampiri Ririn untuk mengajaknya untuk segera berangkat.
Dalam perjalanan menuju rumah Danuarta, Dimas terlihat gugup. Ia terus memegangi tangannya sendiri dan menghela nafas berkali kali. Melihat hal itupun Ririn menjadi iba. Ia pun memegang tangan Ayahnya lalu tersenyum kepadanya. Seolah olah berkata 'jangan kuatir' dan hal itu dapat meredakan suasana hati Dimas yang gugup.
***
Sampailah mereka di depan sebuah komplexs perumahan.Ririn mengenali perumahan ini. Sungguh demi apa pun ia takut untuk masuk, dalam hati ia terus berkata kalau mereka tidak akan pergi ke rumah itu. Langkah beratnya terus mengikuti Dimas.
"Rin, kamu kenapa?"
"..."
"Ayo kita masuk. Orangtua kamu pasti lagi nungguin kamu."
Ririn ditarik masuk begitu saja oleh Dimas. Setelah sampai di depan pintu rumah, Dimas mengetuk pintu dan di bukakan oleh seorang pelayan.
"Saya mau bertemu sama Pak Danu, ada?"
"Oh silahkan masuk pak. Sebentar saya panggilkan."
Dimas dan Ririn pun masuk ke dalam rumah itu duduk di ruang tamu dan menunggu.
"Rin, sebenarnya kamu sudah pernah bertemu orangtua kamu."
"Benaran?"
Dimas mengangguk. "Ingat waktu ambil rapot? Orang yang mewakili kamu sebenarnya adalah orangtua kandung kamu."
Ririn yang mendengarnya pun syok. Tepat pada saat itu Danuarta dan istrinya Ratih datang. Dimas pun langsung berdiri begitu melihat mereka. Setelah mereka semua
duduk, Dimas membuka pembicaran.
"Maksud dan tujuan saya datang kesini adalah..."
Dimas menarik nafas sejenak, Ririn melihat Dimas dengan tatapan yang nanar tapi Dimas kurang peka untuk menyadari itu.
"Saya tau, saya bersalah tapi tolong kalian maafkan saya."
Danuarta dan Ratih bertambah bingung dengan omongan Dimas yang terkesan berbelit belit.
"Saya tau dimana anak Bapak dan Ibu."
Ratih yang mendengar itu pun kaget bercampur senang. Bayangkan saja, selama 15 tahun tidak bertemu anaknya dan sekang tiba tiba ada orang yang berkata kalau ada orang yang mengetahui keberadaan anaknya.
" lKamu serius?! Kamu tidak bercandakan?! Siapa yang sudah menculik anak saya. Siapa?! " Ratih mulai mengeluarkan emosi yang sudah lama dipendamnya.
Tiba tiba Ririn yang duduk di sebelah Dimas memanggil Ratih, "Ibu..."
Ratih melihat kearah Ririn dengan heran. Entah mengapa Ratih sangat merindukan panggilan ini. Danuarta juga merasa heran dan mulai bertanya.
"Apa dia betul betul anak kami?"
Dimas melihat kearah Danuarta dengan wajah yang serius. Rasanya Dimas ingin menghilang dari muka bumi saat ini juga. Akan tetapi ia teringat akan penderitaan yang Ririn alami selama ini, ia merasa tidak enak. Ia sudah membulatkan tekad untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Seberanya, anak yang ada di sebelah saya ini adalah anak kalian. Saya yang telah menculiknya saat masih bayi. Maafkan saya Pak, Bu."
Ririn menatap Ratih dengan pandangan nanar begitupun sebaliknya. Akhirnya Ririn berlari kearah Ratih dan memeluknya erat. Danuarta ikut memeluk dan detik berikutnya ia bertanya pada Dimas.
"Apa motivasi kamu menculik anak saya?"
"Bapak ingat waktu saya bapak pecat? Sopir anda datang dan memberitau bahwa anak bapak telah lahir dan saya bapak pecat?"
Jadi itu motivasi kamu? Dimas kamu dengar saya baik baik. Kamu saya pecat karena pekerjaan kamu kurang baik. Bukan karena anak saya lahir."
Dimas hanya dapat menunduk dalam, membiarkan 3 orang itu saling berpelukan melepas rindu.
***