Suasana di rumah Radiz kini sangat panas, dimana mamanya tiba-tiba datang bersama seorang anak laki-laki yang umurnya sama dengan Radiz. Anak itu adalah anak hasil dari pernikahan mamanya dan papa tirinya.
"Ngapain Anda kesini? Ada penting apa anda sampai harus datang ke rumah saya?" Tanya Radiz dengan nada bicara sedikit keras.
"Kamu tidak tau sopan santun, ini contoh kakak kamu, dia lebih baik daripada kamu. Dan saya tidak pernah menyesal telah meninggalkan anak tak tau diuntung seperti kamu". Kesal mamanya Radiz.
"Kalau Anda kesini cuma mau membandingkan saya dengan anak haram Anda ini, lebih baik kamu pergi dari rumah saya, saya tidak mau rumah saya ternodai oleh orang-orang seperti anda". Kesabaran Radiz sudah diambang batas.
"Harusnya saya yang berbicara seperti itu bukannya kamu anak laknat". Plakk.. satu tamparan mendarat di pipi sebelah kanan Radiz.
"Jika memang saya adalah anak laknat anak haram, mengapa Anda membuat saya harus hidup di dunia ini, dalam masalah ini. Disini anda yang membuat saya seperti ini, tetapi Anda malah menyalahkan saya atas perilaku saya pada Anda". Radi menggertak mamanya, sungguh saat ini Radiz tengah menjaga emosional nya.
"Saya menyesal telah melahirkan anak seperti kamu". Kemarahan mamanya sungguh di luar batas kewajaran saat ini.
"Terserah anda, saya tidak pernah diminta untuk dilahirkan, dan saya tidak pernah menyuruh anda untuk mengubah diri saya seperti ini. Jadi saya mohon kalian angkat kaki dari rumah saya, karena Anda tidak punya hak untuk menginjakkan kaki di rumah saya". Radiz mengusir mereka dari kediamannya.
Setelah mereka pergi, Radiz tak henti-hentinya menangis. Ia sangat sakit hati atas apa yang diucapkan oleh mamanya. Bagaimana tidak, seorang ibu kandungnya mengucapkan hal seperti itu tepat di depan anaknya.
Jika memang Radis anak haram, mengapa dulu mamanya melahirkan dia di dunia ini dan mengapa ibunya harus membawanya ke dalam masalah seperti ini. Ia sungguh sangat merindukan kasih sayang orang tuanya seperti halnya mereka di luar sana yang mendapatkan dukungan dan kasih sayang.
Dalam lelapnya ia selalu berharap agar Tuhan memberikan dia kekuatan dan kesabaran. Ia juga berharap untuk membukakan pintu hati mamanya.
************
Matahari telah menembus korden putih kamarnya. Sinar itu menancap pada kedua kelopak matanya, ia segera bangun dan bersiap-siap untuk segera berangkat sekolah. Setelah selesai ia turun untuk sarapan dan berangkat.
Hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk Radiz bersiap dan sarapan, setelah itu dia berpamitan kepada 'ibunya'. Ia segera mengendarai mobilnya membelah keramaian kota Jakarta. Ia masih terfokus pada masalah kemarin. Sungguh saat ini dia sangat kecewa pada mamanya. Is sengaja melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. 15 menit sudah mobilnya telah sampai dan terparkir rapi.
Ia menyusuri koridor sekolah dengan menatap kosong ke arah depan. Terdengar sayup-sayup gosip bahwa dua ternyata anak haram. Kejadian yang sangat ditakuti oleh Radiz kini kembali lagi. Setelah sekian tahun tidak ada suara-suara itu, kini suara itu kembali muncul di telinga Radiz.
Radiz segera mempercepat langkahnya menuju kelasnya, ia tak mau jika harus mendengarkan omongan dari mereka. Ia tak mampu untuk menerima ini kembali.
"Diz, Lo Kenapa,kok nangis. Kalau ada masalah coba deh Lo cerita sama gue, siapa tau gue ada jalan keluar". Cecil menenangkan Radiz yang tengah menangis.
"Cil, apa gue seburuk itu ya, apa emang gue nggak diinginkan di dunia ini?" Tanya Radiz menahan tangisnya agar tidak semakin keras.
"Lo bilang pa sih diz, Lo nggak buruk kok, dan lagian juga banyak orang yang sayang Lo, jadi Lo nggak boleh bicara gitu". Cecil menjawab pertanyaan Radiz sembari mengelus lembut pundak Radiz.
Tangis Radiz semakin menjadi-jadi ketika banyak siswa yang sedang membicarakan dirinya. Gosip-gosip ada kini semakin memanas dan semakin tersebar bahwa sesungguhnya Radi adalah anak haram.
Cecil mengajak Radiz ke kantin, ia tak ingin Radiz terus menerus seperti ini, ia tahu bagaimana perasaan sahabatnya saat ini. Jika dia diposisi Radiz, mungkin dia tidak akan bisa sekuat dan setegar Radiz.
"Lo mau pesen apa biar gue pesenin aja, Lo tunggu sini". Tanya Cecil dengan nada lembut.
"Gue nggak nafsu makan, Lo aja yang pesen". Wajah lesu Radiz kini sangat terlihat. Tak seperti biasanya yang selalu terlihat ramah dan murah senyum, kini Radiz menjadi sosok yang dingin dan sering murung.
"Yaudah Lo tunggu sini ya". Cecil pergi untuk memesan makanan. Sedangkan Radiz hanya membalas dengan anggukan.
Tiba-tiba saja teriakan dari para siswa-siswi terdengar di telinga Radiz. Ia tahu apa yang terjadi saat ini. Para siswa tengah berdemo untuk Radiz agar dikeluarkan dari sekolah ini. Dengan langkah cepat Radiz segera menuju ke lapangan, sudah banyak siswa yang tenag berkumpul.
"Heh anak haram, Lo tuh ya udah songong, ganjen lagi".
"Dasar anak haram".
"Mama lo jalang ya sampe bisa ngasilin anak haram kayak Lo". Suara tawa menggelar di semua sekolah.
"BUBAR SEMUA.....LO SEMUA NGGAK PUNYA HATI BANGET YA, LO SEMUA MANUSIA APA HEWAN. HEWAN AJA BISA NGERTI MANA YANG BENER DAN YANG SALAH, TAPI KALIAN NGGAK SAMA SEKALI.. BUBARRRRRRR SEMUAAA". Teriak Sean amarah, yang tiba-tiba saja suara Sean terdengar dari kerumunan siswa. Ia melewati kerumunan siswa begitu saja karena tidak sengaja melihat suara yang menyebut nama Radiz.
"Nggak usah dipikirkan, mereka emang nggak punya hati". Sean mencoba mengerti apa yang tengah dirasakan gadisnya itu.
"Apa gue emang nggak diinginkan di dunia ini dan kenapa gue harus lahir di situasi seperti ini". Suara Radiz melemah dibarengi suara Isak tangis darinya.
Sean memeluk tubuh mungil itu dalam dekapannya, ia mencoba mengerti apa yang terjadi pada Radiz. Nasib yang sama seperti dirinya. Tangis Radiz semakin lemah, rasa nyaman yang ditimbulkan oleh laki-laki itu dan rasa sayang yang tidak pernah ia terima selama ini.
Setelah kejadian tadi pagi di lapangan sekolah, Sean mengantarkan Radiz pulang dengan mobil milik Radiz, ia membiarkan motornya di parkiran belakang sekolah. Ia khawatir akan keadaan Radiz yang seperti ini. Ia takut jika gadisnya ini merasakan hal yang sama seperti apa yang ia rasakan.
Rasa rapuh dan sakit kini kembali Radiz alami, kejadian yang Radiz sangat takuti kini menjadi kenyataan. Dimana kejadian dulu waktu smp kini harua terulang lagi di masa putih abu-abu nya. Ia benar-benar hancur dan rapuh saat ini, dimana dia harus menerima ini sendiri tanpa seorang ayah ataupun ibu.
— New chapter is coming soon — Write a review