Download App
28.57% Like i Need

Chapter 4: Rest In Love

00.05 PM

Suara Ambulan menggema memecah lobby rumah sakit, terlihat kesibukan dan wajah tegang sirat kepanikan dari perawat-perawat itu. Kereta pasien bergerak dengan cepat dari Ambulans menuju salah satu ruang perawatan.

"Ini sangat Buruk" ucap salah salah satu perawat.

Dokter bergegas masuk, sorot mata terkejut tidak bisa disembunyikan. Sosok dengan hampir 60% dari tubuhnya terdapat luka bakar baru, bahkan terlihat pakaiannya sudah melekat bersatu dengan kulit.

luar biasa jika ia masih hidup. itu yang ada dalam pikiran seluruh orang yang berada dalam ruangan. daging di tubuhnya terlihat jelas walau dengan mata telanjang, aroma seperti daging panggang pun tercium jelas.

"Detak jantungnya masih ada Dok!" ucap perawat lain yang tengah sibuk memasangkan oksigen pada tubuh itu.

Dokter mencoba mengembalikan pikirannya, "Bawa ia ke ruang pemeriksaan intensif sekarang!"

"Baik dok" ucap para perawat bergegas menyiapkan keperluan, dan berlari membawa kereta pasien itu menuju ruangan di ujung koridor.

Terlihat beberapa Polisi berkumpul di depan ruang registrasi.

"Pria ini ditemukan terjebak dalam kolong Truk yang terbakar, saya tidak menemukan identitas lain, kecelakaan ini memang terlihat mengerikan. apa dia akan selamat?" jelas seorang saksi pada sekelompok Polisi, Salah seorang Petugas terlihat membawa beberapa barang yang kemungkinan milik korban.

"Saya menemukan ini tak jauh dari TKP pak"Lapornya

Polisi tersebut mengambil sebuah ponsel, 'Tidak dikunci' ia langsung berfikir untuk mendapatkan kontak tercepat dari keluarga korban.

pemeriksaan berjalan panjang, tak banyak team perawat yang terlibat. mereka mencoba segala kemungkinan yang terbaik yang mereka bisa. Seorang dokter lain memasuki ruangan,

"Dok, apa yang harus kita lakukan?"

malam itu mereka kecolongan karena banyaknya dokter dan perawat senior yang cuti di saat bersamaan. sehingga mereka sebagai perawat baru terasa tanpa arah.

Dokter tersebut mencoba melihat laporan medis, dan kembali melihat fisik pasien. benar-benar tidak ada kesempatan. tapi entah kenapa ia merasa pasien ini memiliki rasa berjuang untuk hidup yang luar biasa.

beberapa waktu sebelumnya, di sisi lain rumah sakit,

"ini kesempatan terakhirnya!" terlihat seorang wanita dengan sorot tajam namun penuh iba.

"tapi ini illegal... selain ini penuh dengan resiko..."

"saya akan tanggung semua ... saya akan jamin semua... tapi saya mohon, lakukan Dokter" ,

"bagaimana anda yakin dengan hal ini?" Wanita itu menyerahkan amplop berisi dokumen rekam medis. membuka dan membaca dengan seksama, ia terkejut dan melempar pandang pada wanita di depannya.

Dokter tersebut terlihat menimbang, penuh kekhawatiran di wajahnya. Isi kepalanya kalut, jiwa kemanusiaanya bergetar hebat, begitu pula dengan dedikasinya.

"Lakukan dan apapun yang kau inginkan akan aku wujudkan" ucapnya meyakinkan.

Dokter mengangkat gagang telepon, "Suster tolong bawa pasien 1509 ke ruang Operasi sekarang"

Peluh sebesar-besar jagung mengalir di pelipisnya.

Sudut bibir wanita itu terangkat, "Sebaiknya Anda tidak menyesali keputusan ini" ucap sang dokter sambil bergegas perjalanan ke ruang lain.

Wanita itu melihat dengan jelas punggung Dokter yang tengah berlari. "Tidak akan ada penyesalan, tidak akan pernah ada" ucapnya setengah berbisik

/

10.15 RS XXX

Aster berlari dari lobby menuju salah satu selasar rumah sakit, pikirannya kalut, rasa takut yang luar biasa tergambar jelas di wajahnya. Bahkan ia tidak merasakan dingin ketika sebagian bajunya basah karena rambut yang bahkan tidak sempat ia keringkan.

matanya mencari ke seluruh penjuru lorong, pandangannya berhenti pada salah satu sosok tegap yang terlihat layu bersandar di salah satu pilar sedang berbicara dengan Polisi.

"Paman..." sosok itu mengangkat wajahnya, Aster melihat jelas kesedihan yang teramat dalam dari sorot matanya.

Lengan kekarnya merengkuh tubuh kecil Aster, Aster hanya mematung mendengar pria berumur itu berusaha menarik nafas yang terdengar sangat berat.

Disaat yang hampir bersamaan pintu lain terbuka, sebuah ranjang keluar dengan sangat pelan diiringi isak tangis yang terdengar menyakitkan. Pelukan itu tidak seerat sebelumnya, arah pandang Aster tertuju pada sosok tertutup kain diranjang itu.

"Aster!" Salah seorang memanggil namanya, mencoba menggenggam tangan Aster

"katakana Jean... itu bukan Joan. Dimana Joan sekarang Jean?? Dimana?!" nada suara Aster tidak terkendali, bergetar terdengar sangat lirih.

Deng hanya menatap Aster sambil menahan Jaen anak perempuannya untuk bisa mengendalikan kesedihannya, begitu berat rasanya untuk berucap.

"Aster... Joan telah Pergi" suara lembut penuh penekanan menarik perhatian Aster.

"Dia pergi dengan klubnya kan paman? Dia akan segera pulang" ricau Aster berusaha menampik kenyataan dari otaknya

Tangis Jean pecah, masuk dalam pelukan Aster. Deng Menggelengkan kepalanya pelan dan entah mengapa kaki Aster terasa sangat lemah, tidak seperti tadi malam. Rasa kali ini menyesakkan, mulut dan hidungnya tidak tertutup, tapi ini terasa begitu sulit bernafas.

Air matanya kini keluar tanpa kendali, suara tangisnya bahkan berlomba dengan rasa sesak di dadanya. Jean terkejut berusaha menopang tubuh Aster yang mulai limbung. "Ayah..."

Dengan cepat lengan kokoh Deng itu mencoba menahan tubuh Aster, memeluknya erat seakan coba memberikan kekuatan, yang sebenarnya ia pun sudah hampir tidak memilikinya.

Suara tangis Aster benar-benar pecah saat itu juga, ia merasa dunia benar-benar kejam terhadapnya. Bagaimana mungkin Ia dibawa terbang, lalu dijatuhkan kembali kedalam jurang yang terdalam. Mengapa seperti ini, bahkan ia baru saja merasakan manisnya bibir hangat itu beberapa jam yang lalu.

Apakah hidup ini lelucon? Bagaimana Aster merasa sangat dipermainkan saat ini.

Selang waktu berlalu, Aster masih terduduk di depan jendela mencoba mencerna satu persatu apa yang sebenarnya terjadi. Kerumunan orang diluar sana tidak memberikan penjelasan apapun tentang apa yang ia rasakan sekarang.

Hampa... Itu yang ia rasakan, tak ada tangis seperti Jean di dekat peti itu, atau ekspresi marah yang tertahan seperti pria berjas hitam yang kini tengah menatap nanar salah satu harapanya tertidur kaku di hadapannya.

menghadapi kenyataan tewasnya Joan penuh dengan misteri, terlalu cepat. tidak ada penjelasan berarti dari Polisi. bahkan team dokter tidak membiarkan keluarga memeriksa jasad, dengan alasan prosedur rumah sakit.

marah? Sedih? kecewa? ya semua bercampur saat ini.

"Aster, kau tidak ingin mengucapkan selamat tinggal atau melihatnya? " tangan lentik sedikit berkerut itu menyentuh pundaknya

"Yaa." Aster berusaha mengeluarkan senyum, kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

"Aku masih ingin mengingat wajahnya seperti yang terakhir aku lihat sebelum menutup pintu kemarin malam. rasanya akan sangat menyakitkan jika aku melihat wajahnya sekarang." ucap Aster lembut khasnya namun sorot matanya kosong.

"Nyonya, Sudah saatnya Pemakaman" ucap salah seorang di ujung pintu.

Aster yang mendengarnya, langsung berdiri menarik nafas panjang, dan mengulangi senyum yang sama.

"Ayo... Bibi Ross, mereka menunggu Kita"

Ross mengangguk mengiyakan ajakan Aster yang lebih dulu berjalan di hadapannya. Tatapan dari mata sembabnya penuh rasa iba yang tertuju pada Aster. Ia bahkan baru saja kehilangan seorang putra, tapi rasa sedih yang lebih besar ia dapat rasakan dari sosok Aster, tidak hanya rasa kehilangan, tapi ia yakin sebagian dari jiwa Aster hancur.

saat memasuki area pemakaman, senyuman yang ditunjukkan Aster hanya semakin membuat tatapan - tatapan itu melirik penuh iba padanya. peti dimasukkan, bersamaan dengan semakin eratnya meremas gaunnya sendiri. berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkan air mata jatuh. tubuhnya ikut bergetar hebat.

perlahan tanah menutupi peti putih di bawahnya, hingga taburan bunga hampir menutupi seluruh sisi makam, dan satu persatu pengantar meninggalkan gundukan penuh warna itu.

Jean menggenggam tangan Aster hanya Ross dan Deng, orang tua Joan yang pergi bersama para pelayat .

"Tidurlah dengan tenang, aku akan tetap terjaga disini. kau berjanji akan tetap menemuiku malam ini! atau akan ku bawa laki-laki lain ke hadapanmu!!" Aster berucap, suara parau.

Air mata Jean mengalir di pipi. Tapi tak ada raut wajah sedih, atau isak dari tangis nya yang tertahan dari Aster hanya wajah tanpa ekspresi yang dihiasi bibir merah miliknya, dan mata sembab didalamnya.

Bunga terakhir di tangan Aster ditaruh, tepat di atas Batu Bertuliskan :

Rest In Peace our beloved,

Deng Joan Leonard

//

RUANG INTENSIF VIP, RS XXX

Jari-jari itu bergerak perlahan, gerak kecil tersebut mengejutkan seorang suster yang tengah bertugas mengontrol pasien. Dengan sigap ia mengambil alat komunikasi dan mengatakan bahwa pasien itu tersadar.

Tak jauh dari sana, Seorang wanita berlari mendekat

"Leon... kamu sudah bangun...Leon?" panggilnya seraya menggenggam tangan dengan selang infus itu erat.

Perlahan tapi pasti, pria yang terbaring itu membuka matanya. terlihat ia masih mencari fokus. mencoba menahan bias sinar matahari yang menembus dari luar jendela. menangkap sosok bayangan wanita yang kini pipinya mulai dibasahi oleh air mata, sudut jari berusaha menghapus cairan itu.

"aku....merindukan....mu..." ucapnya seperti berbisik lemah.

"aku juga" senyum berkembang terukir jelas di wajahnya. sebelah tangannya tak henti menkan tombol bantuan untuk memanggil doketer. tapi matanya terus mengawasi pria dihadapannya yang masil terlihat sangat lemah, seakan kapan saja ia bisa pergi.

Disaat bersamaan beberapa dokter masuk dan langsung mengambil alih, pemeriksaan serius dimulai. Cellest melangkah sedikit menjauh membiarkan dokter-dokter menangani Leon dengan baik, semua prediksinya berjalan dengan baik sekarang.

Leon kembali, Kekasih hatinya kembali menatapnya. Tangis bahagia tidak dapat dibendung, kelegaan menjalar keseluruhan tubuhnya. ia sungguh bersyukur.

"Keadaan Leon jauh diluar dugaan... 1 minggu, saya tidak mengira akan secepat ini" ucap salah satu Pria berjubah putih yang terlah selesai memeriksa Leon.

"aku sudah menduganya , dia akan kembali" ucap Cellest seraya menatap ke sosok tampan yang kini kembali tertidur.

"setelah kerja jantungnya cukup baik, sebaiknya kau membawanya pergi. Aku yakin dia membutuhkan suasana dan lingkungan yang lebih menyegarkan, Selain Itu..." Dokter itu berjalan mendekat

"Aku tahu..."

Senyum kembali terukir di wajah cantiknya, langkah gemulainya mendekati ranjang. Ia menggenggam tangan Leon, seakan memberikan kekuatan untuk membuat pemiliknya.

" Akan ku pastikan semua baik-baik saja" ucap Cellestel pada dokter dan beberapa perawat dibelakangnya

Dokter meminta perawat untuk meninggalkan ruangan. "Cellest, ku harap kau benar akan semua ini.... aku tahu kau mencintainya, tapi aku perlu mengingatkan resiko besar menghantui kita semua saat ini. aku juga tidak dapat menjamin keadaan Leon akan baik-baik saja...."

Dokter itu berjalan mendekat, mencoba menyentuh bahu Cellest.

"Boleh tinggalan kami sekarang?" Dokter menarik lengannya kembali, dan berjalan menjauh,

"aku akan mengabdi selama 1 tahun di perasingan, ku berdoa tidak ada hal yang aku harus selesaikan saat kembali nanti" kemudian menutup pintu

Entah apa yang ada didalam pikiran Cellest saat itu, ia seperti tidak mendengar atau mungkin lebih tepatnya tidak ingin mendengar.

"Selamat datang kembali Leon, setelah ini kumohon jangan pergi lagi." Ia mengecup punggung tangan Leon lembut.


CREATORS' THOUGHTS
Qkye_Pawiro Qkye_Pawiro

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C4
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login