Jennie terpaku menatap nanar ke arah kolam renang, disana sudah berkumpul semua penerus dari keluarga Kim, masing-masing dari mereka terlihat sangat amat bahagia.
Tatapan yang masih sama seperti sebelumnya, memperhatikan seorang perempuan yang dengan senang hati mendorong Rose masuk ke dalam kolam, memang acara sekarang tak se formal tadi, mereka menggunakannya sebagai tempat bersenang-senang, tentu saja tanpa orang tua disana.
Shani, perempuan cantik dengaj rambut tergerai indah, mata coklat dengan wajah yang hampir mirip dengan Jennie itu berlari kesana kesini mencari mangsa untuk dia lempar ke dalam kolam, mungkin parasnya terlihat sangat dingin dan sombong, tapi mereka menyukai itu, lihat saja semuanya tertawa saat berada di dekat wanita itu.
Namun tidak dengan Jennie hari ini, ada amarah lain yang disimpannya untuk putri ke duanya itu, bukan perkara dia yang mengusili mereka di kolam renang itu, tapi perihal Lisa.
Nobani memperhatikan gerak gerik itu se detail mungkin, dia paham suasana hati Jennie yang seperti apa, belasan tahun bersama bukan hal sulit untuk menebak apa yang wanita hamil itu rasakan.
"Bunda....
"Hmmm?"
"Bunda gak mau ngomong sesuatu?"
"Gak yah...
"Jangan diem aja bun... Kalau bunda mau makanan atau minuman ayah ambilin ya"
"Bunda bisa ambil sendiri kok yah, ayah ke sana aja"
Demi apapun Nobani lebih memilih Jennie untuk hyper aktif dibanding hanya diam seperti ini, dia tau penyebabnya karena tidak ada Lisa disekitarnya dan Shani yang menyakiti anak bungsunya, kadang dia bertanya sepenting itukah Lisa untuknya, sementara banyak hal yang harus diperhatikannya sekarang.
Nobani menggengam tangan Jennie lembut, wanita itu hidup namun seperti mati, hanya diam tak ada pembicaraan yang berarti, hubungan mereka jauh lebih hancur dari yang pernah mereka lalui belakangan ini.
"Anak itu gak dateng ya bun"
"Yah...
"Kenapa?"
Jennie melirik suaminya sebentar namun segera memalingkan pandangannya ke arah kolam renang yang di penuhi dengan bunga mawar.
Hatinya terluka, bahkan hanya rasa sakit yang memenuhi perasaannya, melihat semua anak-anak dari keluarganya berkumpul dan tertawa disana, namun apa yang bisa dia lakukan Lisa bahkan tak punya tempat di hati mereka, ah ralat di hati suaminya lebih tepatnya.
"Dia mungkin gak pantes untuk berada disini"
DEG !
Bibirnya terasa kelu, hatinya berontak keliru, mungkin benar dia tidak menerimanya, atau belum bisa menginginkan kehadirannya, namun bagaimanapun dia terluka melihat Jennie yang seakan kehilangan hidupnya.
"Bun...
"Mungkin saat dia dateng semua kebahagiaan di ruangan ini akan lenyap"
"Bunda...
"Lisaku...
Tatapan kosong itu kembali hadir di bola mata itu, tidak ada lagi tangisan, namun berdua bersama Nobani adalah hal yang sudah lama hampa di hatinya, Noban tau Jennie nya berubah tak lagi sehangat waktu itu.
"Kamu gak papa nginep di tempat Salsa"
"Percuma...
"Kenapa?"
"Dia gak pengen aku ada dideket dia untuk sekarang"
"Maksud kamu?"
"Shani mukul dan nendang dia saat dia tau aku akan hanya hidup sama Lisa dan anak ini kalau anak ini lahir, mungkin Shani cari Lisa yang gak salah apa apa itu, Shani mukul dan nendang Lisa, jadi Lisa mutusin untuk gak ketemu aku dulu biar Shani gak ngerasa di cuekin sama aku, Lisa takut kebencian Shani sama dia semakin besar, bahkan anak itu ngorbanin kebahagiaannya demi orang lain"
"Shani bukan orang lain, Shani adiknya"
"Bagi Lisa shani emang adiknya, tapi bagi Shani Lisaku hanya parasit"
DEG !
Genggaman itu terlepas begitu saja, Jennie berjalan meninggalkan lelaki itu begitu saja, ada rasa perih di ulu hatinya saat mendengar kata parasit yang dilontarkan istrinya barusan, selama ini dia melakukan hal yang sama, hanya menganggap lisa angin lalu saja.
"Jis...
"Iya om..."
"Boleh bicara sebentar?"
"I..iya om boleh"
"Kesana yuk"
Haruskan dia memulai dari sekarang, apakah ini tidak sangat terlambat untuk memperbaikinya?.
"Masalah Shani...
"Oh kenapa om?"
"Tadi ada apa di sekolah?"
"Kalau masalah Shani keknya dia baik baik aja deh om setelah nendang sama mukul muka Lisa sampe bengep"
"Maksud om kenapa sampai kejadian begitu, Shani marah?"
"Kapan Shani gak pernah marah sama Lisa om?, Lisa orang yang selalu jadi bahan pelampiasan Shani kan?"
"Jis... Shani injek alat bantu dengar anak itu?"
"Lisa om namanya kalo om lupa, iya om, Shani ngerampas alat bantu dengar Lisa lalu buang dan injek sampe hancur"
"Ya Allah, Shani...
"Lisa masih sempat belain Shani om saat Shani ditampar sama temen kita, Lisa lebih peduli keadaan Shani dibanding dia yang udah berdarah darah"
"Shani di tampar?"
"Om gak berniat tau kondisi fisik dan psikis Lisa om? Sampai yang om peduliin cuma Shani?"
"Jis...
"Aku bahkan gak kenal om jauh, walaupun mama temen baik om, tapi liat om yang begini aku bersyukur tuhan ngejauhin Lisa dari om, karena mencintai orang seperti Lisa hanya bisa dilakukan sama orang yang tulus"
"Jisu maks...
"Lisa hancur om, dia kehilangan dirinya bertahun tahun yang lalu, udah telat om memperbaiki mental anak yang rusak sedemikian rupa, selamat ya om, setidaknya om berhasil menyalurkan kebencian om tanpa dibenci balik sama anak om, Lisa sesayang itu sama Shani om, sampai gak mau orang lain nyakitin Shani, dan yang harus om tau, shani masuk agensi model sekolah itu karena Lisa om, Lisa yang ngemis ngemis sama anak anak orang kaya disekolah itu supaya Shani bisa masuk agensi itu, Lisa jatuhin harga dirinya demi Shani om"
DEG !
"Tapi hari ini aku tau, Lisa ngelakuin hal yang salah, dia ngebelain orang yang bahkan gak sedetikpun menginginkan dia ada, yang ngebenci dia sebesar itu padahal dia tidak melakukan apa-apa"
🔻🔺🔻
Tak ada yang bisa membantumu selain dirimu sendiri, setidaknya satu kalimat yang memotifasinya sampai saat ini, selamanan hidungnya berdarah, kepalanya sakit, perutnya juga keram, tamparan dan berbagai macam kekerasan yang dia dapatkan dari Shani masih begitu terasa sampai malam tiba.
Fisik Lisa lemah, dia selalu kalah dengan seorang Shani, entahlah naluri sebagai kakak yang terlampau kuat untuk mengalah atau dia memang tidak bisa melawan, diapun bahkan tidak mengerti.
Bekas operasi itu melebam, ah itu sangat sakit rasanya, dan pipinya membengkak serta ada beberapa cakaran di leher dan lengannya. Lisa mematut dirinya dicermin, tersenyum lebar disana, mengusap beberapa karya dari salah satu adik kembarnya.
Namun disela tawanya, ada air mata yang menyelinap lirih, sesekali tangannya menghapus bulir air mata itu, lalu kembali tersenyum lebar, ada yang luar biasa, ada kecewa yang tak terhingga, namun apa yang bisa dia lakukan, dia ingin kebencian itu bertambah besar tumbuh dihati mereka.
"Kakak bahkan belum pernah peluk kamu Shan"
Tak mampu rasanya dia menahan air mata itu, dia menikmati luka demi luka yang hadir dalam kisahnya, takdir dan semua permainan tuhan sangat membuatnya muak, sampai kapan dia harus hanya puas menerima semua kenyataan ini tanpa bisa memberontak.
Diliriknya beberapa figura foto yang memang sengaja dia cuci dan pajang di kamarnya, foto liburan keluarganya ke luar negeri untuk merayakan ulang tahun si kembar kala itu, usia mereka sudah 10 tahun dan ayahnya menganggap sudah saatnya mereka melihat dunia luar.
Namun ada satu hal yang laki-laki itu lupakan, seorang anak yang menunggu kedatangan mereka di rumah Salsa untuk merayakan kelulusannya dari sekolah dasar dengan predikat juara 2 kala itu.
"Suatu saat aku ingin ayah memelukku, mencium pipiku dan mengatakan maaf telah menyakitiku"