"Vitta, tunggu!" teriak seseorang dari arah belakang saat gue tengah berjalan untuk kembali ke kelas.
Gue berbalik melihat siapa pemilik suara yang tak asing di telinga gue, ternyata benar dugaan gue dia adalah Vetta.
Gue hanya menaikkan sebelah alis gue pertanda apa, karena gue gak mau menjawab ucapannya barusan. Gue malas untuk berbasa-basi dengannya.
"Lo anak IPS kan?" tanya Vetta. Gue yakin dia punya maksud yang lain, sudah tahu dari dulu juga kalau gue itu anak IPS buat apa dia tanya lagi.
"Kakak gue udah kelas 12 jadi pikun ya? Sudah tahu dari dulu juga kalau gue itu anak IPS, masih aja nanya gue anak IPS bukan," jawab gue datar.
Dia terlihat sedang menahan emosinya sebentar, gak biasanya dia diam saat gue bertindak seperti sekarang. Gue semakin curiga kalau memang ada sesuatu yang Vetta maksud.
"Udah paham donk sama yang namanya pelajaran geografi?" tanyanya dengan begitu manjanya. Fix, gue yakin nih orang pasti punya maksud tertentu.
"Lo kan kembaran gue, bisa donk gantiin gue nanti. Gue ada ulangan harian geografi, gue lupa gak baca-baca materinya semalam. Yah lo baik, kan lo anak IPS lo pasti paham deh plis yahhhh," bujuk dia dengan begitu manisnya.
Ya, dugaan gue begitu tepat sesuai dugaan gue ternyata dia punya maksud tertentu makanya dia mencoba bersikap begitu baik sama gue. Gue hanya bisa menyeringai sambil menatap dia dengan tatapan yang masih gue pertahankan dari tadi, yaitu datar.
"Lo mau kan, yah gampang kok cuman 40 soal, kalau mau ya udah sekarang ke wc. Kita tukeran baju, sama rubah penampilan lo biar bapak-nya gak curiga," ucap dia yang langsung memegang tangan gue.
Dia hendak membawa gue ke toilet, karena dia pikir gue pasti mau nurut aama permintaannya untuk menggantikannya ulangan Geografi.
"Gak," jawab gue begitu singkat dan gue menjawab dengan nada yang teramat datar.
"Maksudnya?" tanya dia dengan raut muka yang begitu heran. Dia heran, mungkin dia gak paham sama maksud ucapan gue barusan apaan atau mungkin dia hanya pura-pura gak paham.
"Gue gak mau gantiin posisi lo!" jelas gue dengan nada yang terbilang cukup ketus.
Gue rasa mungkin dia kaget saat kali ini gue berani untuk membantah ucapannya itu. Padalah sedari dulu gue memang selalu menyetujui apa pun kemauan dia, tapi sekarang? Gue yang sekarang bukan gue yang dulu! Jadi, gak usah terlalu berharap banyak deh sama gue.
"Jadi maksud lo, lo gak mau untuk tukeran kelas sama gue iya?" tanya dia dengan nada yang kembali seperti biasanya.
Dia kembali berbicara dengan nada tinggi miliknya. Gue kembali menyeringai saat sifat aslinya kembali keluar. Jujur gue lebih suka sama sifatnya yang asli, daripada semua sifatnya yang pura-pura kayak tadi.
"Nggak," jawab gue santai.
"Jahat banget sih lo jadi orang. Tega banget ya lo gak mau bantuin gue, entar kalau nilai ulangan Geografi gue jeblok gimana. Entar kalau Mamah sama Papah marah sama gue gimana?" tanya dia beruntun dengan ekspresi yang begitu memprihatinkan, tapi sayangnya gue gak peduli. Buat apa gue peduli sama dia, dia juga gak pernah peduli sama gue kan?
"Gue gak peduli."
"Asal lo tahu, lo itu jadi kembaran gue gak guna banget," ucap dia dengan nada yang begitu kesalnya. Gue hanya bisa menyeringai saat melihat ekspresinya yang teramat begitu kesal sekarang.
"Arghh, dasar adik yang gak tahu diri!" ucap dia dengan nada yang begitu tinggi, gue rasa dia sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.
Dia hendak menampar gue, namun sayangnya tangan dia berhasil gue tahan sebelum mendarat di pipi gue. Dia meringis kesakitan, mungkin karena genggaman tangan gue yang terlalu keras.
"Yang lebih gak tahu diri siapa? Gue yang gak mau bantuin lo atau lo yang selalu jelek-jelekin gue di depan Mamah sama Papah?" tanya balik gue dengan begitu penuh penekanan.
Saat dia berucap seperti itu pikiran gue kembali teringat akan kejadian di masa lalu. Sampai saat ini gue masih belum melepaskan tangannya.
"Auu sakit, i-ih Vitta lepasin tangan gue!" rengek dia sambil mencoba untuk melepaskan tangannya dari genggaman gue.
"Mana yang lebih sakit? Digenggam oleh gue atau dibentak oleh Mamah sama Papah?!" tanya balik gue dengan nada yang begitu sarkas. Dia terdiam saat gue membalikkan semua ucapannya.
Gue gak takut kalau nantinya dia bakalan mengadu sama Mamah dan Papah akan perbuatan gue kali ini. Gue sudah gak peduli, karena semuanya gak bakalan berpengaruh apa pun sama kehidupan gue.
"Kalau emang lo bakalan tetep butuh sama gue, jangan seenaknya lo bertingkah sama gue!" ucap gue yang lagi-lagi membuat dia terdiam.
Gue sebelumnya memang belum pernah membentak dia kayak gini, jadi gak heran kalau dia bisa terdiam dengan perasaan yang begitu heran saat gue memperlakukannya dengan seperti ini.
Gue melepas genggaman gue dari tangannya, gue masih punya rasa kasihan sama dia. Sebenarnya gue gak ada niatan buat menyakiti dia, tapi karena dia yang mulai duluan ya gue juga tidak akan tinggal diam.
Gue sudah cape sedari dulu harus terus mengalah untuknya. Sekarang sudah waktunya untuk gue bangkit! Gue sudah gak mau terus-terusan ditindas olehnya.
Mata dia berkaca-kaca. Entah kenapa gue gak tahu, entah karena dia merasa kesakitan atau karena dia merasa takut, karena sedari dulu gue gak pernah berani membentak dia.
Dia langsung berlari meninggalkan gue, ya bagus deh dia pergi. Jadi, gue gak perlu berlama-lama berhadapan dengannya.
"Mah, coba Mamah liat deh Deva dapet nilai 100 mah," ucap Vetta sambil menunjukkan kertas ulangan miliknya pada Mamah.
"Wah bagus dong, pinternya anak Mamah," puji Mamah sambil memeluk Vetta.
"Iya donk Mah, Deva kan pinter gak kayak Vitta," lanjut Vetta lagi, gue hanya terdiam. Gue menundukkan pandangan gue, karena kertas ulangan yang gue pegang sekarang nilainya jauh di bawah nilai ulangan yang Vetta bawa.
"Ah biarlah. Adik kamu kan memang bodoh gak kayak kamu sayang, kamu kan anak Mamah yang paling pinter," ucap Mamah lagi.
Percayalah hati gue merasa begitu sakit saat mendengar semua perkataan yang sudah Mamah ucapkan barusan, tapi gue gak bisa berbuat apa-apa.
Gue hanya bisa bersabar saat harus menghadapi semua ucapan mereka yang terasa begitu menyakitkan bagi gue.
Gue gak mungkin kasih tahu kejadian yang sebenarnya, karena Pelvetta pasti bakalan marah besar sama gue dan Mamah juga belum tentu bakalan percaya sama apa yang sudah gue jelaskan.
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Saat kembaran lo dipuji oleh orang tua lo, tapi lo malah dihina?
Kebayang gak sih apa yang Peyvitta rasain saat itu?
Gimana kelanjutan hidup Peyvitta.
Tunggu aja di next part!
See u:*,