Jovan akhirnya selesai dengan kegiatannya berkeliling.
Kini ia berdiri di depan pintu kamar Elish yang berwarna putih.
Masuk tidak ya? - Pikirnya ragu.
Masuk saja ah. - Putusnya.
Jovan pun memasuki kamar Elish dengan cara menembus pintu dan mendapati Elish sedang sibuk mengetik di laptopnya. Gadis itu sangat fokus hingga tidak menyadari kehadiran Jovan.
Ide usil terlintas di pikiran Jovan. Jovan naik ke atas tempat tidur Elish diam-diam lalu merangkak dan menatap wajah gadis itu lekat dengan jarak yang sangat dekat. Namun tetap saja Elish tidak menyadarinya karena terlalu fokus pada tugasnya.
Merasa diabaikan, akhirnya Jovan mengetuk kepala Elish dua kali dengan jari telunjuknya.
Elish mendongak.
"Hai!" Ucap Jovan dengan wajah sumringah yang berada tepat di depan wajah Elish.
"Aaaaaaaaa!!!" Elish berteriak dan menutup mata. Ia memukul wajah Jovan dengan tangan kanannya. Sedang tangan kirinya menahan laptopnya agar tidak jatuh.
Jovan tidak melawan. Pria itu hanya meringis menahan rasa sakit yang ditimbulkan oleh pukulan gadis itu pada wajahnya.
Hening. Tidak ada suara. Elish meletakkan laptop di bawah tempat tidur dengan mata yang terus tertutup. Wajah gadis itu berubah menjadi pucat.
Jovan masih berada di posisi yang sama. Pria itu masih menatapnya, namun kali ini bukan dengan wajah yang sumringah, melainkan tatapan sinis.
"Apa aku segitu menakutkannya?!" Tanya Jovan karena Elish tak kunjung membuka mata.
Wajah Elish masih pucat. Matanya tetap tertutup rapat.
Ya Tuhan...
Kenapa??
Kenapa aku??
Aku salah apa??
Demikian gerutu Elish dalam hati.
"Buka matamu." Perintah Jovan. Pria itu merubah posisinya yang tadi merangkak kini duduk dengan tangan bersila di hadapan Elish.
Elish malah menggeleng.
"Buka sekarang. Atau hidupmu tidak tenang." Ucap Jovan.
Mendengar ucapan Jovan, Elish membuka matanya perlahan. Mata Jovan dan Elish bertemu. Kedua makhluk itu tertegun. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Bagaimana bisa ada hantu setampan ini? - Pikir Elish.
Hmm... ada bulu matanya yang jatuh. - Pikir Jovan.
Setelah beberapa detik menatap mata Jovan, akhirnya Elish tersadar. Gadis itu menggeleng kepalanya pelan.
Elish memberanikan diri. Ia membenarkan posisi duduknya dan menyamakannya dengan Jovan lalu menatap tajam wajah pria itu. Tidak lupa dengan jantung yang berdegup kencang 'tak karuan.
"Sebenarnya.. apa maumu?" Tanya Elish pada sosok Jovan yang masih terus duduk di hadapannya dan memandanginya.
"Hehe.. akhirnya kau bicara padaku." Ucap Jovan dengan senyuman manisnya.
"Jawab!" Bentak Elish dengan jantung yang terus berdegup kencang.
"Tidak ada. Aku hanya penasaran saja padamu." Jawab Jovan enteng.
"Kau..." Jovan berpikir, "..menarik." Sambungnya.
"Ah.. sudahlah. Jangan dipusingkan." Ucap Jovan lagi.
"Jadi kenapa kau mengikutiku?" Tanya Elish. Kali ini detak jantungnya sudah normal.
"Aku sudah bilang, kan. Kau hanya menarik. Itu saja." Jelas Jovan singkat.
"Oh iya. Aku lupa memperkenalkan diri. Aku Jovan." Ucap Jovan dengan tangan kanan yang sedikit terulur pada Elish karena jarak mereka yang begitu dekat.
Elish menatap tangan transparan Jovan dan kemudian menyambutnya dengan tangan kanannya.
"E...E..Elish." Ucap Elish gagap karena kaget tangannya bisa bersentuhan dengan tangan transparan Jovan.
Jovan tersenyum melihat tingkah gugup Elish. Ia sadar akan ketakutan Elish padanya. Ia melepas genggaman tangan mereka perlahan.
"Jangan takut. Aku bukan hantu. Aku hanya roh biasa. Aku mengalami koma. Aku lepas dari tubuhku secara tiba-tiba kemarin." Jelas Jovan dengan senyum yang terus menempel di wajahnya.
"Kau... bukan hantu? Kau yakin?" Ucap Elish meyakinkan.
"Bukan." Jawab Jovan singkat.
"Ngomong-ngomong, ini jam berapa?" Tanya Jovan sambil melihat sekeliling kamar Elish.
Elish mengerutkan keningnya karena heran dengan pertanyaan Jovan.
Jam?
Elish meraih ponselnya.
"22.39." Ucap Elish singkat dan dibalas lototan mata Jovan yang membuat bulu kuduk Elish merinding.
"Kau.. bercanda, kan?" Tanya Jovan memastikan dan dibalas gelengan oleh Elish.
"Elish."
"Hm?"
"Bantu aku kembali."
"Kau gila?!"
Ketakutan Elish sudah hilang sepenuhnya hingga ia berani mengucapkan kata 'gila' pada Jovan.
"Aku serius. Kumohon. Bantu aku kembali ke rumah sakit." Jovan memohon pada Elish. Pria itu sangat panik. Matanya berkaca-kaca.
"Bagaimana aku membawamu?" Tanya Elish yang kini ikut panik.
"Taxi atau apapun, terserah. Cukup bawa aku kembali ke rumah sakit. Rumah sakit..." Kalimat Jovan terhenti.
"Rumah sakit... rumah sakit... apa nama rumah sakit itu?! Sial! Aku sudah lupa!"
Jovan semakin panik. Begitu juga Elish. Wajah Jovan tertunduk. Ia lemas.
Tiba-tiba Jovan mendongak dan menatap lesu Elish.
"Aku... sudah lupa semuanya. Huu...huu..huu.." Jovan menangis sesegukan.
"Eh? Jovan? Hei!" Elish gelagapan melihat Jovan yang tiba-tiba menangis.
Jovan masih terus menangis. Elish yang tidak tega melihat pria itu menangis spontan memeluk Jovan dan mengelus punggung pria itu guna menenangkannya. Jovan balas memeluknya sambil terus menangis.
***
Cuit...cuit...cuit..
Hari sudah pagi.
Jovan terlelap di tempat tidur Elish dengan Elish yang juga terlelap di sampingnya. Mereka tidur dengan tubuh yang masih berpelukan.
Cahaya matahari dari jendela kamar yang mengenai mata Elish yang tadinya tertutup kini terbuka perlahan. Begitu matanya sudah sepenuhnya terbuka, ia mendapati sosok Jovan yang masih berada di pelukannya.
Entah mengapa, gadis itu tidak langsung melepaskan tubuh mereka. Melainkan semakin mengeratkan pelukannya.
Dasar bocah tua bodoh. - Pikir Elish sambil tersenyum.
Gadis itu melanjutkan tidurnya sambil terus tersenyum mengingat wajah Jovan yang menurutnya sangat menggemaskan saat menangis semalam.
***