Download App
28.57% We Had a Fight / Chapter 2: They are bandits

Chapter 2: They are bandits

-o0o-

"See?" Chad menaikkan alisnya dengan gurat di keningnya. Kedua tangan Chad terangkat setara dengan dada di setiap sisi tubuhnya. "Mau kau tempatkan dia dimana, Bi?" Tanyanya. Terdengar ada amarah dari nada bicaranya.

"Dimana saja. Kita masih punya sofa dan loteng," jawab Bianca seraya membuka kaleng soda nya dengan tenang yang kemudian dibalas oleh tatapan 'aku-tak-mengerti-jalan-pikiranmu' Chad. Chad menghembuskan nafasnya kasar. Ia memalingkan wajahnya yang mungkin sudah penuh urat amarah. "Kenapa kau selalu mengambil keputusan seenak jidatmu tanpa memikirkan resikonya?" Gumam Chad, berusaha menahan intonasinya.

Bianca yang awalnya tengah meminum soda, kini memandang sengit Chad sambil memiringkan kepalanya. Lagi-lagi, ia menaikkan sumbu amarahnya Chad. "Aku selalu mempunyai alasan dari semua tindakanku," tukas Bianca, tersenyum miring seirama dengan salah satu sudut bibir Chad yang terangkat. "Oh ya? Kalau begitu jelaskan kepada kita semua alasan konyol macam apa yang ada di otakmu?" Tantang Chad.

"Oh wow aku tidak ikut-ikutan," sahut Elvis, melahap cookiesnya.

"Aku juga," tambah Arianne yang terpaku pada laptop penuh kode-kode sulit dimengerti.

Chad menatap marah pada ketiga insan yang duduk di sofa tanpa mempedulikan pertikaiannya dengan Bianca. Ah, kecuali pria yang duduk di tengah dengan kaus kumuh dan pandangan takut. Begitu bertemu mata dengan Chad, David menunduk. Sepertinya, saat ini ujung sepatu adalah pemandangan yang sangat menarik bagi David.

Bianca menjawab dengan nada lucu, "Karena inisial namanya D! Aku hanya melengkapi alfabet. A untuk Arianne, B untuk.. pfftt.. me, i mean, Bianca, C untuk Chad, D untuk David dan E untuk Elvis. Menarik bukan?" Gadis itu terkekeh ringan. "Kalau inisial namanya Z, aku akan langsung menembaknya. For real."

"Pfffttt"

Semua tatapan tertuju pada Bianca. Elvis tersedak kue karena menahan tawanya bersamaan dengan Arianne yang menutup ujung bibirnya, sementara David menganga. Chad terpaku sejenak sebelum akhirnya bersedekap dada. "Oh ha ha ha!" Ledeknya. "Lucu sekali. Aku tak habis pikir kenapa kau bossnya disini." Itu kalimat terakhir Chad sebelum masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintu.

Bianca tertawa puas. "Dia bakal jadi kakek-kakek," sindirnya, lantas menjatuhkan dirinya pada sofa di hadapan tiga orang yang masih menatapnya dengan tak habis pikir. "Ok, perkenalan singkat. Aku Bianca Mackenzie. Ahli senjata dan fisik."

"Aku Arianne Kayonna. Ahli teknologi, terutama hacking," tutur Arianne seraya membenarkan letak kacamatamya dan tak sedikitpun beralih dari layar laptopnya.

Elvis terbatuk sesaat ketika terbangun dari lamunannya. "Aku Elvis Gene. Ahli strategi dan intelektual," ujar Elvis, kini meraih chipsnya. "Yang tadi Chad Harrison, ahli fisik dan tricks. Dia memang sedikit emosional," tambah Elvis, mengerutkan keningnya begitu sadar atas kata 'sedikit' yang ia ucapkan.

David melihat satu persatu orang yang kini mau-tak-mau merupakan timnya. Ia tersenyum kaku sambil berkata, "Aku David Earnest. Ahli... bersih-bersih..?"

•▪•

David menatap langit-langit ruang tengah. Ia tak menyangka, insiden beberapa jam yang lalu membawanya ke rumah besar di daerah perbukitan yang jarak antar tetangganya lumayan jauh. Bisa diakui, para bandit itu pintar memilih tempat persembunyian. Apalagi, perumahan ini rata-rata ditempati oleh imigran dari berbagai negara. Oleh sebab itu, surat kepemilikan tanahnya pun tertulis atas nama Sanid Raj yang berkewarganegaraan Kanada. Sudah dipastikan, Chad si ahli tipu- terutama penyamaran- lah yang menjadi tumbal dalam foto surat itu.

Rumahnya terdiri dari 2 tingkat dengan 1 basement dan halaman yang sangat luas. Hanya ada 4 kamar dan tidak ada kamar tamu. Tentu saja karena mereka tak pernah menerima tamu. 1 dapur, 1 ruang makan, 1 ruang tengah, 1 ruang tamu sebagai formalitas ketika ada pemeriksaan, 2 kamar mandi dan ruang game area serta rooftop yang dilengkapi gudang alkohol.

Rumah ini jauh dari kata gelap dan mengerikan. Dirangkai sedemikian rupanya hingga menyentuh desain klasik modern yang didominasi dengan warna putih, aquaproof dan tortilla. Namun ketika sampai di halamannya, ada gudang persenjataan yang lengkap. Ada pula shooting target statue yang terbuat dari kayu yang dilengkapi dengan tanda-tanda berbentuk bundar sebagai titik vital.

Tak buruk, mereka mengelolanya dengan sangat baik. 'Wait,' David meringis dalam batinnya. 'Bagaimana cara aku membersihkan seluruh bagian rumah dan fasilitasnya ini?!'

David melenguh frustasi. Ia memperbaiki posisi tidurnya dan mencoba mencari kenyamanan. Lagi, ia meringis. "Dasar bandit-bandit tak punya hati. Mereka pasti sengaja menyuruhku tidur di kursi rotan panjang ini tanpa memberikan bantal dan selimut," keluh David sambil menumpu tengkuknya dengan tangan.

"Ya, kalau punya hati namanya bukan bandit."

David terkesiap. Ia segera bangkit untuk duduk dan mencari sumber suara. Buru-buru ia menunduk saat tau Bianca mengaduk kopi hitam. Rambutnya basah, tubuhnya hanya dibalut jubah handuk mandi putih dan slipper yang senada. Benar-benar sembrono seperti yang dibicarakan orang-orang. "Maaf, aku tidak bermaksud.."

"Gula brengsek. Kalau tidak manis, resign saja dari nama gula," gumam Bianca usai menyeruput kopi nya.

David menggigit bibir bawahnya untuk menahan tawa. Lantas ia menghampiri Bianca, tersenyum tipis. "Aku bisa membuatkannya untukmu."

"Then do it," sahut Bianca yang kemudian membuang kopi beserta cangkirnya ke tempat sampah, membuat David sedikit merinding. Pria itu mengambil lagi cangkir dari kayu yang terpaku di dinding, menyobek kemasan sachet dan menambahkan gula. Diam-diam, David mengagumi paras Bianca yang tengah memerhatikannya dengan intens. Ah, lebih tepatnya, memperhatikan larutan kopi yang sedang David aduk.

Gadis itu punya mata bulat dan hidung mancung dilengkapi bibir tebal yang membuat kesan sexy yang didukung oleh tubuh idealnya. Kulitnya putih agak gelap. Ada tahi lalat di pelipis kiri. Kalau dilihat seperti ini, Bianca jauh dari kata bandit yang orang-orang sebut untuk dirinya. Malah lebih terlihat sebagai gadis polos yang tengah belajar membuat kopi.

"Kau terlalu lama mengaduknya."

"Ah.." David memberikan cangkirnya pada Bianca. "Silakan."

Bianca meraih cangkir kopi tersebut, kemudian menyeruputnya. David menyulam senyum tipis, sampai akhirnya senyumnya luntur bertepatan dengan semburan kopi panas yang mendarat di wajah pria itu. Kini, Bianca jauh dari kesan gadis polos yang barusan David pikirkan. Suara cangkir kopi di banting ke lantai memekakkan telinga. Belum sempat David membuka mata karena efek perih di wajahnya, dua tamparan keras lekas menyambut pipi kiri dan kanannya. Kerah bajunya di tarik kasar.

Ketika pria itu membuka mata, yang terlihat ialah mata seorang gadis yang menatap David rendah dan tajam. Bibirnya melengkung tak suka. "Kau mau membuatku diabetes, hah?" Tangan Bianca mendongakkan dagu David dengan angkuh. "Jangan merendahkanku, meremehkanku ataupun menentangku. Antara kau dan aku, aku lah bossmu. Paham?"

Bianca menghempaskan tubuh David begitu mendapat anggukan dari pria itu, tepat di pecahan cangkir kaca. "Harusnya kau tau diri ketika menghadapi 'bandit'," cibir Bianca, menekankan kata 'bandit' seolah menyindir dan memoles senyum sinis. Gadis itu melenggang pergi setelah menepuk-nepuk rahang David dengan mata merendahkan.

"Bereskan semua itu dan lap darah mu yang mengotori lantai."


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login