Dengan santai Gabby berjalan kembali ke tempat duduknya. Saat dia duduk di kursinya dia melihat Michael lalu memukul pundaknya, "Kamu niat bantu aku nggak sih? Tulisanmu tadi kecil banget!"
Saat Michael membuka mulutnya untuk menjawab Gabby, dia mendengar suara gurunya. Dengan cepat dia kembali menutup mulutnya dan menghadap papan tulis.
"Gabby." Suara gurunya terdengar menakutkan di telinga Gabby.
Gabby mengalihkan pandangannya lalu menemui mata gurunya. Guru itu melihat jawaban Gabby di papan tulis, "Ini apa?" lalu melihat Gabby, "Maksudmu nulis ini apa?"
"Anu... S-saya nggak bisa bu." Gabby membenarkan roknya lalu melanjutkan, "Jadi saya menjawab apa yang ada di pikiran saya bu."
Seisi kelas tertawa setelah mendengar jawaban Gabby. Tidak lama kemudian guru itu mengetuk mejanya dengan spidol, memberi tanda agar mereka berhenti tertawa.
Michael menutup matanya lalu memijat-mijat kepalanya dengan pelan. Laki-laki itu merasa bersalah karena tadi seharusnya dia mengajari Gabby dengan serius. Setidaknya memberi tahu rumus apa yang seharusnya dipakai perempuan itu.
Guru itu menghembuskan nafasnya berusaha untuk menahan emosinya. Dia sudah menjadi guru selama dua puluh tahun, tentu saja dia pernah bertemu dengan murid yang tidak pintar. Tapi seumur hidupnya dia tidak pernah bertemu dengan murid seperti Gabby.
Jika jawaban Gabby terdengar oleh orang luar, kemungkinan besar guru itu akan di pecat. Dianggap tidak becus untuk mengajar murid SMA.
"Kamu tidak pernah memperhatikan pelajaran saya ya?! Selalu tidur di kelas!" Guru itu menunjuk Gabby dengan spidol, "Maju ke depan!" Perintah gurunya.
Wajah Gabby menjadi pucat saat mendengar perintah gurunya. Dia berjalan dengan pelan ke depan kelas. Perempuan itu menundukkan kepalanya, tidak berani melihat wajah gurunya.
Tidak ada yang berani berbicara saat melihat Gabby berdiri membelakangi mereka. Michael melihat punggung Gabby dan tangan gurunya yang ada di atas meja. Sedari tadi tangan gurunya mencengkeram spidol papan dengan erat.
"Saya ingin sekali rasanya memukul tanganmu dengan penggaris kayu. Tapi tentu saja saya tidak bisa melakukan itu," Guru itu menghela nafas, "Sekarang lepas sepatu dan kaos kakimu lalu berdiri di lapangan sekolah selama pelajaran saya berlangsung."
Gabby menoleh keluar kelas dan melihat sinar yang dipantulkan oleh matahari. Dengan takut-takut dia bertanya, "Maafkan saya bu, tapi apakah hukuman saya bisa diganti?"
Guru itu tertawa kecil, "Bilang apa kamu?" lalu Guru matematikanya mendekatkan kupingnya ke arah Gabby.
Gabby menggelengkan kepalanya, dia membungkuk lalu melepas sepatu dan kaos kakinya. Dia berjalan keluar kelas sambil membawa sepatunya di tangan kanannya.
Saat Gabby hampir diluar kelas dia dapat mendengarkan teriakan gurunya, "Sampai pelajaran saya selesai ya!"
Guru itu membalik badannya saat melihat Gabby sudah keluar kelas. Dia menarik nafas lalu membuangnya dengan perlahan-lahan, "Baiklah, sekarang kita lihat jawaban milik Lauren." Guru itu berjalan mendekat ke papan tulis.
Selama ujian berlangsung Michael tidak memperhatikan papan tulis, pandangannya kosong melihat ke pintu kelas. Laki-laki itu tidak bisa menghapus wajah ketakutan Gabby dari pikirannya. Tidak lama kemudian Michael mengangkat tangannya.
"Bu." Seru Michael dengan pelan.
"Kenapa Michael?" Guru itu tersenyum saat melihat murid kesayangannya. Bagaimana tidak, setiap kali ada ujian ataupun tugas laki-laki itu selalu mendapat nilai diatas rata-rata.
"Saya ijin ke toilet ya bu, perut saya sakit." Michael memasang wajah kesakitan sambil memegang perutnya.
Guru itu mengerutkan keningnya, "Oh, kalau begitu cepatlah ke toilet."
Tanpa berkata apa-apa lagi Michael melangkahkan kakinya keluar kelas. Dia dapat merasakan tatapan beberapa teman kelasnya di belakangnya.
--
Di lapangan sekolah yang sepi terdengar erangan Gabby yang kesakitan, "Aduh."
Beberapa menit sekali perempuan itu menggerutu dan mengangkat kakinya ke atas. Dia mengerucutkan mulutnya dan merasakan matanya memanas. Gabby menggelengkan kepalanya seakan-akan berusaha untuk menghapus perasaan sedihnya.
Tidak lama kemudian Gabby merasa putus asa lalu merasakan air mata mengalir dari matanya. Bodoh masa begini saja nangis, pikir Gabby sambil menghapus air matanya dengan telapak tangannya.
Gabby memang tahu kalau dirinya lemah dalam pelajaran matematika. Tapi dia tidak pernah di permalukan di depan kelas dan dihukum seperti ini. Perempuan itu mengacak-acak rambutnya lalu mengambil kunciran di saku bajunya.
Tiba-tiba Gabby mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya. Saat mendengar langkah kaki itu semakin mendekat, perempuan itu meluruskan punggungnya. Tangannya dilipat di belakang punggungnya dan kepalanya menghadap lurus kedepan.