Aku memukul lengannya keras-keras. Mukaku pasti sudah mirip udang rebus. Godaannya sama sekali nggak lucu. Satria menarik pinggangku dan memeluknya erat. Tawanya reda, digantikan seulas senyuman yang menggoda iman. Aku nggak bisa memungkiri lagi. Suamiku ini memang pahatan Tuhan yang paling sempurna. Semua yang ada pada dirinya terasa pas.
"I love you," bisiknya membuatku melambung. Beberapa hari ini dia sering menghamburkan kata-kata cinta. Khususnya saat kami sedang bercinta.
Satria menggesekkan ujung hidungnya ke hidungku. Kedua lenganku otomatis melingkari lehernya. Nggak lama, dia memiringkan sedikit kepalanya dan mencium bibirku perlahan dengan sangat lembut. Gerakannya nggak grusah-grusuh. Aku bisa lebih meresapi setiap sentuhannya. Beberapa detik dia mengurai. Kemudian melakukannya lagi, masih dengan gerakan yang membuai.
"Astaga! Contam mata gue!"