Download App
15.68% TWIN’S PET / Chapter 61: ATLAS AND ADDAIR

Chapter 61: ATLAS AND ADDAIR

Beberapa saat yang lalu.

Sirine alarm berbunyi, alat penunjuk tanda vital pada tubuh yang terbujur kaku di dalam tabung kaca menyala. Pergerakan diagramnya tidak normal, menunjukkan penurunan tanda kehidupan.

"Addair!! ADDAIR!!" Sang pria bertudung memanggil Addair namun ia tak mendapati adanya jawaban.

Cepat-cepat ia menuruni anak tangga, turun tangan sendiri. Dengan langkah tergopoh-gopoh pria itu mendekati mesin operasi tabung, menekan beberapa tombol agar beberapa macam cairan obat tersuntik masuk. Sekejap kemudian diagram pada layar monitor kembali normal, kehidupan di dalam tabung kembali stabil.

Pria betudung hitam itu menghela napasnya lega. Ia menatap lamat-lamat ke arah tabung, tampak jelas bayangan sosok manusia di dalamnya. Tubuhnya hancur sebagian. Manusia itu menatap kosong dengan matanya yang merah menyala.

"Aku tak akan membiarkanmu mati, Ali. Tidak sampai kau menyerahkan kekuatanmu padaku." Pria itu menyeringai ke arah tabung.

"Yah, aku tahu, aku tahu, Ali, kau pasti tersiksa. Kau pasti ingin mati saja di dalam sana. Tapi hidupmu kini bukan lagi milikmu. Kau tahu kan sejak menjadi seorang True Alpha hidupmu sudah menjadi milik seluruh kaum kita." Pria itu duduk, ia menekan-nekan beberapa tombol pada mesin operasional di bawah tabung. Keluarlah sebuah ampul berisi cairan serum hijau kekuningan.

"Aku akan membuat seluruh manusia di dunia ini menjadi werewolf, Ali. Dengan kekuatanmu, dengan kemampuanmu mengubah mereka. Aku akan membalaskan dendam kaum kita yang dibantai 50 tahun yang lalu, menghidupkan lagi kejayaan bangsa kita." Pria itu bangkit, mengusap cincin delima merah dengan lambang pack Merkez, kepala serigala hitam.

"Setelah semua berubah menjadi werewolf, baru saat itu aku akan membunuhmu, Ali. Aku akan menyerap jiwamu. Melalui wanita itu, melalui kemampuan penyembuhan miliknya, tubuhku akan mampu menerima kekutanmu yang besar." Pria itu berjalan ke luar, ia menatap sosok wanita di tabung yang lainnya.

"Si cantik yang malang," ucapnya seraya meninggalkan rubana.

Jemari di dalam tabung mulai bergerak perlahan. Merespon ucapan pria bertudung hitam itu. Dirinya benar-benar gadis cantik yang malang.

ooooOoooo

Pria bertudung menyelusuri selasar menuju ke sayap selatan mension, mencari Addair. Wanita itu harusnya bertugas menjaga laboratorium, tapi ia malah meninggalkan tempatnya dan pergi entah ke mana.

"Addair!!" serunya dengan keras.

"Lord?! Ada apa? Kenapa Anda ke mari malam-malam?" Atlas melihat Tuannya yang sedang marah dengan heran.

"Di mana matemu, Atlas?" Pria bertudung hitam bertanya pada Atlas, mate dari Addair.

"Bukankah Addair bersama Zennith di laboratorium?" Atlas malah balik bertanya, ia juga nampak bingung, Addair tak pernah meninggalkan laboratorium selain kembali ke kediaman mereka.

"Kalau dia di sana aku tak akan mencarinya!!" seru sang pria bertudung. "Sekarang matemu semakin suka berkeliaran, apa dia mencoba mengabaikan perintahku?"

"Tidak, Lord. Mana mungkin kami berani. Tolong jangan hukum Addair. Dia tidak mungkin mengkhianati Anda."

"Tapi Addair membiarkan Ali meregang nyawa. Seluruh rencana yang kubangun akan gagal total bila Ali sampai mati. Dan kalian, sudah pasti juga akan mati." Pria bertudung hitam itu mengeluarkan kuku-kuku tajamnya. Tangan yang kurus dan pucat itu tiba-tiba saja menyahut leher Altas. Secepat kilat.

"Lord!" Atlas tercekik.

"Aku harus menyalurkan kekesalanku, Altlas!!"

"Maka hukum saja aku, Lord! Jangan Addair. Tolong, hukum saja aku, Addair tak akan mampu bertahan bila Anda menghukumnya." Atlas menundukkan kepala, bersiap menerima cekikan atau pun cabikan atau jenis serangan lainnya dari Tuannya itu.

"Bagus, memang seperti itulah seharusnya seorang mate. Bersedia mati antara satu dengan lainnya." Pria bertudung hitam itu mencekik leher Atlas, pria berrambut keemasan itu tak melawan meski punya kekuatan yang hebat. Ia menahan begitu saja perlakuan menyakitkan itu.

BRAK!!

Lengan kurus pucat membanting Atlas sampai membentur dinding. Dinding batu kokoh itu bergetar, lampu gantung ikut bergoyang karena dentuman itu. Sang pria bertudung hitam kembali mendekat. Lalu mencabik-cabik punggung Atlas dan mengkoyak dagingnya beberapa kali.

Ia melampiaskan semua kekesalannya pada Addair ke Atlas. Atlas tak bergeming, meski darah bercucuran dari sekujur punggungnya Atlas tak bergerak, ia harus menahan diri sampai emosi Tuannya mereda, atau Tuannya akan mencari Addair dan menghukumnya juga. Atlas tak akan mampu melihat Addair tersakiti, karena bagi werewolf mate adalah hidup mereka, belahan jiwa.

Lagi pula bagi Atlas, serangan Tuannya tidaklah menakutkan. Sesakit apapun cabikkan itu, Atlas akan pulih bila ada Addair di dekatnya.

"Uhuk!!" Atlas memuntahkan darah segar.

Pria bertudung hitam menghapus darah yang menempel pada kuku-kuku tajamnya dengan pakaian Atlas. Ia berjongkok dan memberi peringatan kembali pada serigala itu.

"Suru Addair menemuiku setelah ia pulang. Dan jangan coba-coba lagi keluar dari massion tanpa seizinku." Sang pria bertudung mengecup dahi Atlas.

"Baik, Lord," jawab Atlas.

Pria bertudung hitam berjalan kembali ke bagian utama mension. Ia bertemu dengan Regal yang juga kebingungan mencari Zennith.

"Addair mengajak Zennith pergi, Regal. Temukan mereka, bawa pulang. Aku baru saja mencabik Atlas karena kesalahan Addair."

"Baik, Lord." Regal langsung berangkat. Pantas saja hatinya merasa tidak nyaman. Ternyata Zennith dan Addair sedang mencari gara-gara.

Dan begitulah, Regal pergi mencari Zennith sampai akhirnya tertancap anak panah beracun milik Nakula.

ooooOoooo

Addair tiba di manssion, ia bergegas mencari keberadaan Atlas. Tak lupa ia menyuruh Zennith menemukan penawar racun wolfsbane di laboratoriumnya untuk Regal.

"Atlas!!" seru Addair, ia melihat matenya tergeletak tak berdaya, bersandar lemas pada dinding batu. Luka-luka Atlas telah menutup sebagian, ada yang sangat dalam sampai mengkoyak organ. Membuat Atlas kesusahan memulihkan diri.

"Addair, kau pulang." Atlas mengelus wajah cantik Addair, wanita itu menangis. Karenanya Atlas terluka sangat parah. Tuan mereka pasti menghukumnya sangat keras.

"'Maaf, maaf, Atlas. Aku hanya ingin melihat sendiri bagaimana kondisi ciptaanku. Melihat sendiri bagaimana anakku berubah, apa dia kuat, apa dia pintar, apa dia lincah." Addair menaruh dahinya pada dahi Atlas, mereka sedang menyalurkan jiwa, berbagi kekuatan.

"Yang penting kau baik-baik saja, Sayang." Atlas mengecup bibir Addair, sisa darah membekas merah pada kulit mereka yang pucat.

"Kenapa Tuan begitu kejam?!" Addair menangis, tapi Atlas menaruh telunjuk di depan mulutnya.

"Ada banyak telinga, Addair. Kecilkan suaramu." Atlas memeluk Addair, Addair mengangguk. Ia mencium lagi bibir Atlas, kali ini lebih dalam dan penuh gairah. Perlahan-lahan luka Atlas menutup. Jiwa Addair merasuk dalam jiwa Atlas, memberinya kekuatan, memberinya kesembuhan.

"Jangan tinggalkan aku lagi, Adda."

"Iya, aku tak akan meninggalkanmu, Atlas. Maafkan aku," lirih Addair.

oooooOooooo

Jangan lupa vote ya 💋💋

Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️

Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana


Chapter 62: HURT

Nakula merintih dalam tidurnya, keringat dingin nampak bercucuran. Racun wolfsbane mulai menjalar masuk ke dalam pembuluh darahnya. Para tetuah telah memberikan penawar racun, kini tinggal menunggu respon dari tubuh Nakula.

Sadewa tampak cemas, ia harus bergegas menemukan Liffi agar Nakula bisa mendapatkan sedikit kekuatan. Walaupun masih enggan untuk mengakuinya tapi Sadewa tidak bisa membiarkan Nakula menderita juga. Nakula butuh Liffi, butuh mate juga.

"Bagaimana dengan, Liffi?" tanya Sadewa pada Emily.

"Menurut beta yang mengikuti Nona Liffi, saat ini Nona pulang ke rumah diantar oleh Grey," jawab Emily.

"Grey??" Sadewa tak mengenal siapa Grey.

"Drummer band Blink, grup milik Nakula." Emily menjelaskan.

"Kenapa bisa bersama dengannya?" Sadewa merasa ada yang tidak beres.

"Nona bertemu dengan Jane dan Grey di jalan dan ikut ke rumah mereka, Tuan. Selebihnya saya tidak tahu karena hanya itu laporannya." Emily sedikit menjawab rasa penasaran Sadewa.

"Baiklah, aku akan ke apartemen, Liffi." Sadewa bergegas pergi.

ooooOoooo

Liffi turun dari mobil Grey, ia berterima kasih karena telah mengantarkannya pulang. Selepas kepergian Grey, Liffi bergegas memasuki apartemennya dan menghubungi Nakula atau Sadewa.

"Liffi!!" Panggil seseorang.

"Sadewa, aku baru saja ingin menghubungimu." Liffi terkesiap dengan kehadiran Sadewa, ia tampak baik-baik saja, lalu apa Nakula yang sedang terluka?

"Kau tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali?" Sadewa tampak cemas. Penampilan Liffi tak jauh berbeda dari Nakula.

"Sadewa, dadaku sakit sekali. Sepertinya Nakula dalam masalah." Liffi menatap penuh kaca, Sadewa membuang muka. Hatinya berdenyut sakit saat mendengar Liffi mengkhawatirkan Nakula. Namun Sadewa juga tak punya pilihan lainnya, yang satu adik dan yang satu adalah mate.

"Nakula terkena racun, Liffi. Kami sudah memberinya penawar. Dia akan baik-baik saja, kau tenanglah!" Sadewa mengelus wajah Liffi, mata Liffi terlihat sembab seperti ingin menangis. Gadis itu menggigit bibirnya menahan gejolak emosi. Liffi sadar betul ia telah menyakiti hati Sadewa yang lembut. Tapi Liffi juga tak punya pilihan, hatinya sungguh tak bisa memilih.

"Tenangkan dirimu dulu, Liffi. Aku akan mengantarkanmu pada Nakula." Sadewa memeluk Liffi.

Liffi hanya bisa mengangguk, sedikit terisak dalam dekapan Sadewa. Sadewa juga memilih untuk menghela napasnya panjang agar hatinya pun ikut tenang.

ooooOoooo

Kamar milik Nakula masih tetap rapi seperti saat sebelum ia meninggalkan mansion itu hampir 10 tahun yang lalu. Nakula membuang semua kemewahan milik keluarga West. Keluar dari pack dan memilih untuk menjadi lonly wolf dan membentuk band.

Kamar itu di dominasi warna gelap, Nakula adalah pencinta warna hitam. Tiap furniturenya di desain dengan sudut tegas dan tepian yang rata. Mengesankan sifat kaku dari pemiliknya. Masih berjajar rapi buku-buku saat Nakula menjadi seorang mahasiswa. Walau nyatanya kuliahnya tak pernah lulus karena ia lebih fokus pada karirnya sebagai seorang pemain band.

Nakula melengguh pelan menahan rasa sakit, Liffi mengelus dengan lembut rambut Nakula, sesekali menyeka keringat dengan handuk hangat. Nakula merasa jauh lebih nyaman, matanya mulai terbuka perlahan-lahan. Liffi menggenggam erat tangan Nakula. Mencoba untuk menanyakan keadaannya.

"Naku, kau sudah sadar?" Liffi tersenyum senang, akhirnya Nakula sadar.

"Liffi?" Nakula terperangah, kenapa Liffi ada di depannya saat ini?

"Iya, ini aku, Naku. Apa kau baik-baik saja?!" Liffi terlihat khawatir.

"Aku tak apa-apa, Girl. Jangan khawatir." Nakula jauh lebih baik selepas menerima penawar racun. Pria itu mencoba untuk bangkit dari atas ranjang, Liffi membantunya.

"Bagaimana kau tahu aku di sini?" Nakula berhasil duduk.

"Sadewa yang memberitahuku kau terluka." Liffi mengelus punggung Nakula.

"Sadewa? Kalian saling mengenal?" Nakula terlihat bingung. Liffi terdiam, menimbang apakah ini saat yang tepat baginya untuk mengutarakan segala rahasia yang disimpannya.

"Aku mengontaknya lewat ponselmu, Naku. Aku mencari wanita yang sering kau hubungi." Sadewa tiba-tiba saja masuk, ia melemparkan ponsel milik Nakula. Dengan kebohongan lainnya Sadewa menyelamatkan Liffi dari pertanyaan Nakula.

"Oh, begitu." Nakula mengangguk.

"Sadewa," lirih Liffi, Sadewa tersenyum sumbang dan berpaling meninggalkan kamar Nakula.

Liffi menatap punggung kokoh Sadewa sampai menghilang dari pandangannya. Liffi benar-benar merasa bersalah kepada pria itu.

"Kau kenapa? Apa yang kau lamunkan?" Nakula melihat perubahan gelagat dan juga ekspresi wajah Liffi.

"Tidak, aku hanya takut saja." Liffi memainkan jemarinya, cara kuno untuk menyingkirkan kegundahan hati.

"Maaf, aku pasti membuatmu khawatir." Nakula mengelus wajah Liffi, mengangkat dagu gadis itu agar mau menatap wajahnya.

Nakula mengecup pelan bibir Liffi, mengecap madu manis yang melimpah. Liffi membalas kecupan Nakula, kecupan-kecupan ringan itu berubah menjadi lumatan yang kian mesra. Liffi menyadarai kekuatannya berpindah, mengalir pada Nakula. Berbagi jiwa, Nakula merasakan kekuatannya mulai kembali melimpah ruah.

Namun sesaat kemudian, Liffi ambruk dan terjatuh.

"LIFFI!!" Seru Nakula, dengan segera Nakula memboponh tubuh Liffi, menidurkannya ke atas ranjang.

"Maaf, Naku. Kepalaku pusing sekali. Maaf, sudah dua kali aku pingsan saat kita berbagi jiwa. Aku sungguh tak berguna bagimu." Liffi menyalahkan dirinya sendiri, kekuatannya tak cukup untuk mengobati Nakula. "Apa mungkin aku bukan matemu?"

"Tidak, Liffi. Jangan ucapkan itu, kau berharga bagiku." Nakula memeluk Liffi, membuat Liffi menangis. Air mata merembes turun dari bola matanya yang hitam.

"Maaf, aku yang seharusnya minta maaf." Nakula mengusap rambut Liffi.

"Hiks, Naku." Liffi menangis, wajahnya pucat.

"Beristirahatlah, Liffi. Aku akan menjagamu." Nakula menyelimutkan selimut pada tubuh gadis itu, ia menggenggam tangan Liffi, mengelus pelan rambutnya sampai Liffi tidur dalam pelukkannya.

Sadewa menilik dari cela pintu saat ia hendak mengantarkan obat pada Nakula dan makan malam untuk Liffi. Melihat keduanya saling mendekap membuat hati Sadewa hancur. Namun dengan lapang Sadewa mengalah, membiarkan Liffi tidur dalam dekapan kembarannya. Membiarkan hati Liffi tenang.

"Tuan Sadewa." Emily menatap iba pada atasannya itu. Emily tahu betapa Sadewa mencintai Liffi.

"Ssstt!" lirih Sadewa.

Sadewa memberikan nampan pada Emily dan bergegas meninggalkan pintu depan kamar Nakula. Berjalan kembali menuju ke basement, tempat Elroy terikat.

"Apa kabar serigala merah itu, Emily?" Sadewa menanyakan tentang beta yang ia utus untuk mengikuti Regal.

"Mereka belum memberi kabar, Tuan. Saya takut mereka gagal, ketiga serigala itu terlihat sangat kuat." Emily mengikuti langkah kaki Sadewa.

"Kau benar, sepertinya karena dunia ini terlalu damai kita jadi melemah, Emily." Sadewa menghentikan langkah kakinya di depan pintu basement.

"Kami menunggu perintah Anda, Tuan Sadewa." Emily menundukkan kepalanya.

"Kumpulkan semua warrior kita. Mereka harus berlatih bertarung 5x lebih giat dari biasanya. Juga hubungi seluruh pack di benua ini, Emily. Minta mereka bersiap mengirimkan warrior terbaiknya, karena perang besar akan segera terjadi." Sadewa membuka pintu baja besar, bunyi dencitan terdengar, pintu itu begitu berat.

"GRAAAWWLL!!!" jerit Elroy, ia mengoncangkan rantai baja berlapis silver yang mengikat tangan dan kakinya pada sebuah kursi besi. Beberapa orang warrior berjaga di sekeliling manusia serigala buatan itu. Membawa tongkat besi dengan aliran listrik.

"Sudah siap? Bisa kita mulai?" Sadewa menggulung lengan panjang kemejanya, menampilkan nadi pada otot-ototnya, begitu ketara karena kerja kerasnya selama ini.

oooooOooooo

Jangan lupa vote ya 💋💋

Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️

Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C61
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank 200+ Power Ranking
    Stone 0 Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login

    tip Paragraph comment

    Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

    Also, you can always turn it off/on in Settings.

    GOT IT