Amel menatap tehnya dengan kosong. Gavin yang ada disebelah Amel sampai mengkerutkan keningnya heran.
"Amel," panggil Gavin sambil memegang tangan Amel yang sedang menyatu kuat.
"Eh? Kenapa Kak?" Tanya Amel.
Amel sempat terkejut, tapi itu tidak lama, Amel mencoba untuk tenang disaat dia sedang tegang seperti ini.
"Kamu kok tegang banget, ada apa?" Tanya Gavin sambil meremas kecil tangan Amel. Respon Amel ternyata hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah.
"Gapapa Kak," jawab Amel.
Gavin menghela nafas lelah, Amel hanya tersenyum canggung. Bukan niat Amel untuk menyembunyikannya pada Gavin, tapi dia rasa ini bukan waktu yang tepat.
"Yaudah kalau gitu," balas Gavin. Amel mengangguk cepat.
***
Amel memeluk Gavin erat, rasanya seperti akan kehilangan aroma dan pelukan ini. Gavin yang diepeluk hanya tersenyum kecil, Gavin belum merasakan debaran saat dia bersama Amel, tapi Gavin merasakan nyaman yang tidak dia dapat di Ana.
"Aku tenang banget," ucap Gavin tiba tiba. Amel mendongakan kepalanya dengan lucu.
Mereka sedang berdiri di tengah malam dengan angin yang menusuk langsung kulit mereka. Balkon kamar mereka menyuguhi pemandangan kota yang terlihat cantik pada malam hari.
"Tenang kenapa?" Tanya Amel.
"Beberapa kali aku resah, tapi selalu ada penawarnya," balas Gavin.
"Siapa?" Amel mengkerutkan keningnya heran, cemas mulai melanda.
"Kam- kamu se- seling-"
"Apasih Mel, kamu penawar resah aku. Nethink sih." Gavin buru buru menyela ucapan Amel, Amel yang mendengar tentu lega rasanya.
Amel menggerakan tubuh mereka yang saling menghangati ke arah kanan dan kiri. Gavin yang peka mengambil dua tangan Amel yang sedang memeluknya untuk di letakan di bahunya, tangannya memegang Amel.
Amel menatap Gavin dalam, rasanya dia ingin menikmati rasa rasa ini sampai selamanya. Semakin malam, Amel semakin resah.
"Jangan tinggalin aku Kak." Dengan polos, Amel mengucapkan itu.
"Kenapa?" Tanya Gavin.
"Aku gamau jauh dari Kakak," balas Amel. Gavin hanya terkekeh, dia baru sadar Amel semenggemaskan ini.
"Iya Kakak jan-"
DOR!!!
Gavin refleks memegang pinggang Amel erat. Dugaan Amel benar, dia akan dipisahkan Gavin. Bukan Gavin yang meninggalkan Amel, tapi Amel yang meninggalkan Gavin.
Saat mereka sedang berdansa tanpa musik, Gavin dan Amel sudah setengah putaran. Artinya, Gavin memunggungi pemandangan kota di malah hari, tentu hal itu dapat membuat siapa saja yang mengincar Amel semakin mendapatkan kesempatan, sehingga mudah saja peluru itu masuk ke dalam dada kiri Amel.
"Amel," ucap Gavin. Amel masih setia tersenyum sambil memegang bahu Gavin. Gavin buru buru menelfon ambulan dan polisi. Amel yang melihat itu hanya tersenyum.
"Amel tolong bertahan, aku- aku akan balas per-"
"Gapapa Gavin, ternyata bukan kamu yang ninggalin aku, aku yang ninggalin kamu," sela Amel. Gavin menggeleng takut.
"Enggak! Amel harus tetep buka matanya oke?" Gavin menggendong Amel secara bridal style dengan wajah kalutnya.
Dibawah sudah ada Ambulan yang menjemput, dan juga polisi. Rumah mereka dengan Rumah Sakit kota memang dekat, dan terlihat mama papa Gavin menghampiri Gavin.
"Gavin ad-"
"AKU GATAU MAMA! ISTRI AKU KETEMBAK!!!!" Untungnya Amel sudah diletakan di kasur khusus Rumah Sakit.
"Ya Allah Gavin." Gavin dipeluk Mora dengan erat. Ando juga memeluk Gavin.
"Aku mau ikut Ambulan Ma," ucap Gavin disela isaknya. Mora melepaskan pelukannya dan menatap anaknya yang sudah lebih tinggi darinya, Mora mengangguk kecil.
Gavin segera masuk ke Ambulan dan mendapatkan Amel yang mukanya sudah pucat, tadi sempat dadanya di sumbat kain agar menghambat darahnya untuk keluar.
Gavin hanya bisa berdoa, semoga Tuhan masih mau memberinya kesempatan untuk bahagia bersama Amel. Ya, Gavin harap.
***
Gavin terduduk lemas dikursi tunggu. Gavin baru saja mendapat kabar, kalau istrinya mengalami koma, Amel kehabisan banyak darah, dan tembakannya juga cukup dalam.
"GAVIN!!!" Gavin mendongak. Orang tuanya serta kedua mertunya datang.
"Gimana keadaan Amel, Gavin?!" Gavin hanya diam. Karly yang sudah bercucur air mata memegang lengan Gavin dan meremasnya dengan lemah.
"GAVIN!!!! AMEL KEADAANNYA GIMANA???" Gavin menatap mata Karly. Air matanya merembes dan dia segera memeluk Karly.
"Maaf Ibu," ucap Gavin. Karly memeluk erat Gavin, Kelvin hanya diam. Ando dan Mora juga diam. Mereka bukan diam membisu, diam karena menahan tangis. Mora sudah menangis tanpa suara, namun Ando dan Kelvin berusaha tidak menangis. Disaat saat seperti ini, peran mereka sangat penting untuk menguatkan yang rapuh.
"Amel koma," bisik Gavin. Karly semakin kejer dan memeluk Gavin erat. Karly tidak marah terhadao Gavin, hanya dia kecewa. Kecewa sama takdir.
Mengapa harus anaknya yang mengalami?
***
Gavin menatap tubuh perempuan yang beberapa bulan ini mengisi harinya. Pertemuan singkat, lalu perjodohan yang Gavin anggap malapetaka malah berubah menjadi anugrah.
Gavin mencintai Amel, dan Gavin menyadari itu.
Gavin hanya terobsesi sama Ana. Selama ini dia mencintai Amel, hanya dia terlalu gengsi untuk mengakuinya. Sekarang Gavin sadar, begitu besar pengaruh Amel terhadapnya.
Sekarang Gavin paham, Amel sudah menjadi pusat perhatian hatinya.
Semenjak Gavin bertemu Amel, Amel menjadi poros rotasi kehidupannya. Semua fokus Gavin hanya untuk Amel.
"Amel, yuk bangun yuk. Nanti aku beliin ice cream yang banyak!!" Gavin berucap antusias, walaupun matanya mengeluarkan cairan bening.
"Aku kangen banget sama kamu." Gavin mencium tangan Amel dengan dalam.
"Udah 2 bulan loh..." Gavin mencoba mengajak Amel berbicara lagi.
Namun hasilnya....Nihil.
Gavin menangis kembali, dia seperti manusia yang tidak terurus. Meskipun begitu, untungnya dia memiliki orang tua serta mertua yang sangat baik. Gavin masih mendapatkan perhatian serta suport untuk dirinya.
Walaupun Gavin jarang sekali mandi.
"Aku keluar dulu ya, dikit lagi mama dateng kok." Gavin berdiri dan segera berlalu.
Di sepanjang lorong, Gavin bertemu mamanya. Gavin hanya tersenyum dan menyalami saja, setelahnya dia pamit. Gavin berniat untuk menyelediki kasus ini tanpa bantuan polisi.
Sudah dua bulan, dan polisi tidak menemukan jijaknya sama sekali. Gavin tentu geram, bisa saja polisi itu sogok. Gavin menaiki taksi mobil yang sempat dia pesan.
Dijalan, pikiran Gavin terpaku pada Amel. Perempuan yang mengejar ngejar dirinya, sampai menggunakan wasiat kakenya yang paldahal perjodohan itu sifatnya tidak memaksa. Ada sisi di hatinya untuk memaksa dirinya menerima Amel.
Karena sebenarnya Gavin sudah jatuh cinta lebih dulu ke Amel, dari pada Amel ke Gavin.
Gavin di kagetkan oleh klakson truk yang berada di sebelah kanan. Gavin melihat ke sopir, dan sopirnya tidak ada. Saat Gavin ingin memuka pintu mobilnya, ternyata dikunci dari luar.
Gavin pindah ke arah depan dan berusaha mengeluarkan dirinya sendiri. Kaca bagia supir bolong, bisa jadi bolong sudah saat menjemput Gavin. Tapi karena Gavin memikirkan Amel, pikirannya tercabang cabang.
BRAK!!!
TITTTT!!!!
Suara tabrakan berbarengan dengan bunyi alat elektrokardiogram membuat siapa saja yang mendengar memekik. Gavin tidak berhasil keluar, sehingga mobil yang dia tumpangi harus menggelinding jauh.
Gavin memegang kepalanya kuat kuat, memori memori yang dia simpan bersama Amel dia ingat. Air matanya menetes, detak jantungnya berdebar kencang, dia sangat mencintai Amel.
Sampai sampai, hanya membayangkan saja membuat detak jantunga tidak normal.
"Amel...."
***
Ando dan Kelvin berusaha menahan air mata mereka setelah dokter memberikan sebuah pernyataan yang dapat membuat Karly dan Mora mengeluarkan air matanya.
Amel dinyatakan meninggal.
Karly, sebagai ibu kandung dari Amel tentu hancur. Amel anak yang baik, tidak pernah sekalipun menjadi beban Karly dan Ando. Amel anak yang tidak menuntut seperti kebanyakan orang.
Karly tentu sayang sekali sama Amel. Sangat sangat sayang.
Sedangkan disisi lain, ada Mora yang hanya bisa menahan segala rasa perihnya. Amel adalah menantu yang selalu Mora idam idamkan. Amel benar benar membuat dirinya tersenyum akan tingkahnya.
Ando dan Kelvin hanya bisa merengkuh tubuh rapuh istrinya masing masing. Seharusnya yang paling hancur adalah Kelvin. Kelvin susah sekali mendapatkan anak, makanya anaknya hanya Amel, dan dulu dia begitu ingin memiliki anak perempuan.
Tuhan mewujudkan doa Kelvin, dan harus kehilangan putrinya disaat putrinya berusia 18 tahun. Sakit, rasanya ingin dia putar waktu. Kelvin ingin mengenang saat dirinya pertama kali menggendong Amel.
Kelvin mengingat itu dikepalanya, kalau dia tidak kuat, siapa yang menguatkan hati istrinya? Untuk sekedar menangis saja Kelvin harus tahan, Karly saat ini benar benar membutuhkan kehadirannya.
***
Pemakaman Amel berjalan lancar. Hanya saja, Mora dan Ando tidak menghadiri pemakaman Amel. Mora dan Ando mengurus, segala keperluan Gavin.
Semalam, Mora dan Ando mendapat kabar kalau putranya kecelakaan. Hal itu membuat Ando dan Mora buru buru pamitan dan melarang Kelvin dan Karly menjenguk. Karena Mora dan Ando pingin keduanya menemani Amel sebelum dikebumikan.
Mora dan Ando mendapat kabar kalau anaknya harus di rujuk kerumah sakit yang alatnya lebih canggih, dan dokterpun menyarankan untuk di Singapura.
Mora dan Ando tanpa pikir panjang menyetujui itu.
Mereka sempat menghubungin Karly dan Kelvin, kalau mereka tidak bisa ikut ke pemakaman Amel. Mereka menyesal karena ini adalah detik dimana Mora dan Ando melihat Amel.
Akhirnya, Karly dan Kelvin meng-iyakan, dan mendukung. Pada saat itu juga, keluarga Gavin berangkat ke Singapura. Doa Mora dan Ando untuk Amel hanya meminta ketenangan di alam sana.
Karena Mora dan Ando tau, kalau Amel adalah gadis yang baik.
***
Kabar duka dari keluarga Amel tersebar luas di sekolahnya. Setelah kecelakaan yang menimpa Gavin, Amel dinyatakan meninggal. Gavin sendiri mendapatkan rujukan untuk dirawat di Singapura.
Ana sebagai sahabat dari Amel tentu sedih mendengar kabar duka ini. Menyesal telah ada niat untuk merebut Gavin. Setelah kejadian ini, Ana sadar. Ana sudah tidak ada rasa dengan Gavin semenjak Gavin memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Amel.
Kata maaf sepertinya kurang untuk semua dosa dosa Amel. Rencana rencana busuk yang sudah dia susun rapih rapih hanya untuk menghancurkan rumah tangga sahabatnya sendiri.
Setelah lulus, dia akan dengan suka rela meneruskan impian dirinya dengan Amel. Sedih rasanya, tapi mau bagaimana lagi? Menyesal pun percuma, tidak akan ada hasil, Amel tidak akan hidup lagi.
Ana hanya bisa menyimpan maaf itu, entah sampai kapan. Rasanya ada yang kurang dihidupnya. Hanya karena laki laki, dia dan Amel harus berjarak.
***
Ditempat lain, seseorang telah memandang wanita yang dipenuhi alat alat medis. Dua orang diantaranya sepasang paruh baya yang memandanga seseorang itu cemas.
"Keadaanya belum ada kemajuan"
"Lalu? Apa yang harus kita lakukan?"
"Hanya hisa berdoa, hanya tuhan yang bisa memberikan keajaiban untuk dia hidup kembali"
"Jadi hidupnya benar benar di ambang kematian?"
"Ya"
"Kenapa? Peluru itu tidak mengenai jantung putri saya kan?"
"Memang tidak mengenai jantung putri bapak, namun dia kehabisa darah. Dan memiliki penyakit yang mungkin belum dia ungkap"
"Jadi sebelumnya dokter udah kenal saya?"
Seseorang yang sejak tadi memperhatikan gadis itu menghela nafas lelah.
—FLASHBLACK ON—
"Jadi? Hasilnya gimana dok?"
"Maaf, anda mengidap penyakit leukimia stadium 3"
Gadis itu membekap mulutnya dengan mimik terkejut.
"Apa bisa disembuhkan dok?"
"Bisa bila ada kemauan. Jenis kanker darah yang anda idap berjenis JMML atau bisa disebut Juvenile Myelomonocytic Leukemia. Bisa sembuh apa bila melakukan transplantasi sumsum tulang belakang." Dokter berusaha menjelaskannya dengan perlahan, takut takut pasien sudah menyerah lebih dulu.
"Baik dok. Untuk sekarang, saya harus apa?" Tanya wanita itu.
"Mengikuti kemoterapi secara rutin dan..." Wanita itu mendengarkannya dengan seksama. Sedih harus menerima kenyataan ini, tapi mau bagaimana lagi? Setidaknya dia ada kemauan utnuk sembuh.
—FLASHBLACK OFF—
"Lakukan yang terbaik dok, saya akan mencari tulang sumsum belakang buat putri saya"
***
4 Tahun Kemudian
Empat tahun sudah berjalan, dan selama itu juga Gavin menjalankan aktivitasnya sebagai seorang pembisnis.
Gavin dinyatakan sembuh, setelah dirinya sadar dari komanya selama satu tahun. Tapi naas, kecelakaan itu membuat Gavin amnesia, hanya kepada Amel.
Sekarang, Gavin sedang makan siang bersama Ana. Mereka bertemu tiga tahun yang lalu, saat Ana awal kuliah dan Gavin meneruskan kuliahnya.
"Sayang," panggil Gavin. Ana hanya cuek ketika dipanggil, dan memilih fokis pada ponselnya.
"Kamelia Putri." Ana mendongak dan tersenyum.
"Maaf, kenapa?" Gavin tersenyum. Gavin tau kelemahan 'Amel', 'Amel' paling ga takut ketika seseorang sudah menekan sambil memanggil nama panjangnya.
—FLASHBLACK ON—
Ana berjalan di sepanjang lorong rumah sakit dengan mulut tersenyum lebar. Rumah sakit ini, adalah rumah sakit dimana tantenya bekerja.
Ana masuk ke ruangan tantenya, namun tidak ada tantenya di dalam ruangan itu. Ana pikir, tantenya sedang mengurus pasien pasiennya, jadi Ana tunggu di sofa ruangan tantenya.
Tidak lama dari Ana duduk, datanglah tantenya bersama seorang paruh baya yang sangat Ana kenal.
"Loh, Tante Mora?" Ana dengan segera dia berdiri dan menghampiri tantenya yang masum bersama pasiennya.
"Kamu.... Ana kan?" Ana mengangguk anggukan kepalanya antusias. Mora tersenyum lalu, Ana dengan sigap meraih tangan Mora dan menyalaminya.
"Tante apa kabar?"
"Baik." Ana menoleh ke arah tantenya sambil mempertahankan senyuman bahagianya.
"Ini pasien tante?" Tanya Ana.
"Iya Na," jawab tantenya.
"Ohh, siapa yang sakit tan?" Tanya Ana.
"Anaknya," jawab tantenya sambil berjalan menuju meja kerjanya yang diikuti Mora. Ana yang mendengar seketika memudarkan senyumannya.
"An-anaknya tante Mora jadi pas-pasien tante?" Tanya Ana dengan wajah yang terkejut.
"Iya." Ana menatap Mora dengan sendu, dan dibalas tatapan sayu milik Mora.
"Tante Mora, Gavin kenapa?" Ana bertanya sambil duduk di kursi yang ada di depan meja tantenya.
"Satu tahun yang lalu Gavin kecelakaan, lalu koma." Ana berdiri dan meletakan tas yang dia bawa.
"Tante Zulfa tau kamarnya dimana?" Tanya Ana. Tante Ana yang bernama Zulfa segera memberitahu dimana ruangan Gavin berada.
***
Ana membuka pintu kamar pasien milik Gavin dengan kencang. Ana bisa melihat bahwa Gavin sedang menatapnya dengan intens.
"Amel," ucap Gavin. Ana tidak memperdulikan itu, dengan tiba tiba dia memeluk Gavin erat sambil menangis.
"Gavin...." Gavin ikut membalas pelukan Ana.
"Kamu Amel kan? Istri aku? Istri aku udah sembuh?" Ana dengan reflek mengagguk anggukan kepalanya. Biarlah Ana mengantikan posisi sahabatnya untuk sementara, biarkan Ana berperan menjadi Amel, biarkan Ana menikmati posisi Amel.
"Sayang..." Panggilan dari pintu masuk membuat Ana dan Gavin melepaskan pelukannya.
"Mama. Lihat, ada Amel di sini!!!" Mora dan Dokter Zulfa tersenyum sendu. Mora dan Dokter Zulfa saling pandang.
Mora tau kalau anaknya mengalami amnesia yang tidak biasanya. Gavin hanya lupa rupanya, bukan namanya. Kecelakaan itu, kepalanya dipenuhi wajah pucat Amel, hal itu memicu sebagian memori yang merekam jelas wajah amel hilang.
—FLASHBLACK OFF—
Sejak saat itu Ana adalah Amel dimata Gavin. Bahkan ketika orang tuanya berusaha mengungkap itu, Gavin tidak percaya. Kedekatan mereka memang kurang di sukai Mora dan Ando, tapi mereka bisa apa?
"Besok sibuk ga? Aku mau ajak kamu jalan." Ana mengangguk angguk lalu tersenyum.
"Engga ada kok. Emmm, emang mau kemana?" Pertanyaan Ana membuat Gavin berhenti mengunyah.
"Ada yang mau aku sampein ke kamu, tapi nanti saat aku ajak kamu jalan. Dan pastinya... Tempat ini jadi awal semuanya antara kamu sama aku, kamu pastinya inget kan?" Ana terlihat gugup, dia tidak tau tempat yang dimakshud Gavin itu apa.
"I-iya." Ana menjawabnya dengan canggung.
Setelahnya, Ana dan Gavin benar benar menikmati makan siang mereka, walaupun Ana dengan kecemasan dan Gavin kegugupannya.
***
You may also Like
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT