"GAPIN!!!" Teriakan membahana yang berasal dari pintu masuk membuat Gavin yang sedang berada di dapur terkejut.
"Duh emak gue, suaranya kek toa demo!" Gavin segera menghampiri mamanya yang sedang berkacak pinggang menatapnya.
"Kenapa ma?" Tanya Gavin dengan suara yang lembut.
"Kenapa kenapa! NOH MANTU MAMA NANGIS!!!" Ucap Mora selaku mamanya Gavin.
"Loh? Amel kenapa nangis?" Tanya Gavin dengan wajah tanpa dosanya.
"Ga kebagian permen Yupi!" Ketus Mora.
"Lah? Emang siapa yang ngabisin?" Tanya Gavin.
"Gatau! Disini kan cuman kamu sama Amel, kalo Amel yang makan ga mungkin nangis." Mora sedikit menyindir putranya dengan wajah sinisnya.
"Makshud mama, aku yang makan gitu?" Gavin mrnatap mamanya jengkel.
"IYALAH!!" Mora menjawab dengan suara semangat dibarengi nada ketus miliknya.
"Ya Allah maaa..... Gavin makan aja engga," ucap Gavin sambil menggaruk garuk kepalanya yang gatal karena berkeringat.
"Pokoknya mama ga mau tau, diemin tuh anak mama, jangan dibuat nangis mulu Pinn..." Mora sebagai mamanya hanya bisa menghela nafasnya dengan lelah, Gavin makin kesini makin keliatan jahilnya. Bahannya sudah pasti istrinya sendiri, kalau ga sampe nangis, belum puas.
***
"Makasih Kak Gapin." Amel memakan Yupi dengan tenang, Gavin benar benar membelikannya untuk Amel, tidak tanggung tanggung, langsung lima kotak, dan bervariasi, biar Amel juga tidak bosan dengan rasa yang itu itu saja.
"Sama sama," balas Gavin. Gavin mengecup kepala Amel dengan sayang.
Malamnya Gavin makan bersama dengan kedua orang tuanya serta istrinya. Gavin makan sambil memperhatikan istrinya yang tampak imut dengan daster milik mamanya.
"Mama, Amel mau baju ini boleh?" Pertanyaan dari Amel membuat Mora, Ando dan Gavin menoleh ke arah Amel.
"Bajunya adem, enak bangettttt!" Sepertinya Amel tidak pernah memakai daster.
"Loh? Kamu baru pertama kali pake daster sayang?" Tanya Mora.
"Ohhhhh jadi nama dress adem ini daster, belom Ma." Amel tampak kembali makan dengan wajah super nyaman.
"Kenapa? Kok belum pernah?" Mora menatap menantunya penasaran.
"Karena aku baru liat juga, ibu ga pernah pake," jawab Amel.
Gavin terkekeh, Amel ga tau aja kalau ibunya itu setiap mau tidur ganti daster.
"Pernah sayang, tapi pas mau tidur aja," ucap Gavin.
"Kok kamu tau pin?" Setelah lama berdiam, papanya Gavin—Ando—angkat bicara.
"Waktu pas nginep di rumah ibu, aku bangun kepagian, dan ngeliat ibu pake daster, katanya dia kalau pake daster pas mau tidur aja." Buru buru Gavin memberi penjelasan, takut takut otak mama papanya serta istrinya berjalan kesana kemari.
Setelahnya, mereka lanjut makan yang sempat tertunda karena fenomena Amel yang baru pertama kali memakai daster.
***
Amel memeluk Gavin dengan erat, Gavin pun juga memeluk Amel erat. Rasanya Gavin memiliki banyak sekali kehidupan setelah bertemu Amel.
"Kak Gapin janji ga tinggalin Amel?" Tiba tiba Amel berucap seakan besok dia kehilangan Gavin.
"Kok ngomongnya gitu sayang?" Tanya Gavin. Amel mendongak dan menatap mata Gavin dengan teduh.
"Ga ada yang tau kedepannya," ucap Amel. Seperti ucapan perpisahan secara tidak langsung, dan Gavin membenci kata kata itu. Gavin bangun dan mendudukan Amel kepangkuannya.
"Ga ada yang meninggalkan satu sama lain, baik aku maupun kamu," ucap Gavin. Perkataan itu semata mata untuk menenagkan apa yang Gavin resahkan.
Amel hanya tersenyum dan memeluk Gavin dengan sayang.
"Kita bakal sama sama terus..." balas Amel.
Mereka akhirnya tidur dengan posisi berpelukan, apa yang Amel ucapkan benar, ga ada yang tau kedepannya. Kepergian itu sudah pasti, dan semuanya berawal dari pertemuan.
Jangan terlalu berharap dengan pertemuan, bisa jadi perpisahannya lebih cepat, karena ketika sudah berharap, artinya kamu siap ditinggal.
Amel tersenyum kecil merasakan hangatnya pelukan Gavin, hangat dan erat.
***
Amel melangkah dengan riang ke arah kelasnya, Gavin sudah lebih dulu sampai, karena yang tau pernikahan mereka hanya Ana dan Akbar.
"Akhirnya," ucap Amel. Amel sudah duduk manis di kursinya dengan novel di tangannya.
"Amel!" Merasa dipanggil, Amel menoleh ke arah suara itu dan ternyata Ana.
"Lo baru sampe?" Tanya Ana. Amel hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Ekhem, Mel. Elo kan udah janji sama gua, kalau gua ikhlasin Gavin, permintaan apapun gua, lo bakal turutin kan?" Amel merasakan hawa yang tidak enak. Amel hanya mengangguk ragu, dan Ana tersenyum kecil.
"Gua boleh ga, ajak Gavin temenin gua ke mall beli ponsel." Amel terdiam kaku, Ana sudah menunjukan mimik menagih janji, mau gak mau Amel mengangguk.
"Tapi..... Boleh ga kalau gua ikut?" Tanya Amel. Senyum yang ada di wajah Ana seketika luntur.
"Enggak."
"Tapi, Pak Gavin kan suami-"
"Mau dia suami elo kek, siapa kek, kalo gua sama Gavin udah jalan, ga boleh ada orang KETIGA. Paham?" Amel mengatakan dengan nada angkuh yang kentara, siapapun akan sebal mendengarnya.
Amel menatap punggung Ana yang semakin jauh, mungkin Ana sedang capek, jadi butuh hiburan pikir Ana. Ana berusaha memikirkan hal yang positif, dan dia berharap hasilnya pun positif.
***
Hari ini ada mata pelajaran Gavin, dan Amel selalu gugup, perutnya mules tak tertahan. Amel memang dari dulu kalau gugup akan merasakan mulas, dan sampai sekarang dia masih merasakannya.
Gavin masuk ke kelas, pelajaran Gavin adalah pelajaran terakhir sebelum istirahat, dan Amel lebih memilih memikirkan makan yang akan dia beli nanti.
"Amel!" Panggilan dari Gavin membuat Amel yang melamun tersentak. Dengan gugup, Amel menarik tangannya ke atas.
"Saya pak, ada apa?" Jawaban Amel membuat seisi kelas menatap Amel aneh.
"Mel! Ini cuman absen, bukan quiz!" Sautan dari teman kelas lainnya membuat Amel tersenyum malu, dengan muka merahnya Amel meminta maaf.
"Maaf pak, saya melamun." Amel menggaruk garuk pipinya dengan tingkah malunya, walaupun teman temannya sudah tidak memperhatikannya, namun tetap saja Amel malu.
Gavin yang sedang duduk hanya tersenyum melihat tingkah istrinya, tentu itu tidak lepas dari mata Ana. Ana yang akan selalu memperhatikan Gavin.
***
Bel istirahat berbunyi, dengan tergesa gesa Amel keluar dari kelas untuk menghindari Gavin. Jantungnya berdegup kencang, dia sadar selama pelajaran Gavin selalu memperhatikannya.
Langkahnya bukan menuju kantin, namun ke arah lapangan indoor yang ada di sekolahnya. Sebelum sampai dilapangan, Amel memekik terkejut ketika bahunya di tarik asal.
"Ak-hmpp"
"Sssttt.... Ini gua." Amel mengenali suara itu, dengan segera dia memutar tubuhnya.
"Akbar," bisik Amel.
"Ssstttt... Diem jangan berisik, liat noh." Amel mengikuti arah yang ditunjuk Akbar.
"Itu kan Ana sama-"
"Ssstttt.... udah dibilang jangan keras keras, mulut lo toa banget sih." Akbar berbicara dengan bisik bisik namun dengan nada kesal yang kentara. Amel hanya mengangguk polos.
"Oke, ga berisik lagi," bisik Amel lagi.
Mereka memperhatikan Ana yang sedang bersama kepala sekolah. Gerak geriknya benar benar mencurigakan. Akbar dan Amel semakin mencari tempaf yang aman.
"Sinian," bisik Akbar.
Amel dan Akbar terkejut ketika mendengar bentakan kepala sekolah itu. Amel dan Akbar sama sama menutup mulut mereka ketika melihat Ana dengan spontan menusuk kepala sekolah mereka.
Ana berlalu dari sana setelah menelfon seseorang, Amel dan Akbar yakin, ada yang tidak beres.
***
Amel menatap tehnya dengan kosong. Gavin yang ada disebelah Amel sampai mengkerutkan keningnya heran.
"Amel," panggil Gavin sambil memegang tangan Amel yang sedang menyatu kuat.
"Eh? Kenapa Kak?" Tanya Amel.
Amel sempat terkejut, tapi itu tidak lama, Amel mencoba untuk tenang disaat dia sedang tegang seperti ini.
"Kamu kok tegang banget, ada apa?" Tanya Gavin sambil meremas kecil tangan Amel. Respon Amel ternyata hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah.
"Gapapa Kak," jawab Amel.
Gavin menghela nafas lelah, Amel hanya tersenyum canggung. Bukan niat Amel untuk menyembunyikannya pada Gavin, tapi dia rasa ini bukan waktu yang tepat.
"Yaudah kalau gitu," balas Gavin. Amel mengangguk cepat.
***
Amel memeluk Gavin erat, rasanya seperti akan kehilangan aroma dan pelukan ini. Gavin yang diepeluk hanya tersenyum kecil, Gavin belum merasakan debaran saat dia bersama Amel, tapi Gavin merasakan nyaman yang tidak dia dapat di Ana.
"Aku tenang banget," ucap Gavin tiba tiba. Amel mendongakan kepalanya dengan lucu.
Mereka sedang berdiri di tengah malam dengan angin yang menusuk langsung kulit mereka. Balkon kamar mereka menyuguhi pemandangan kota yang terlihat cantik pada malam hari.
"Tenang kenapa?" Tanya Amel.
"Beberapa kali aku resah, tapi selalu ada penawarnya," balas Gavin.
"Siapa?" Amel mengkerutkan keningnya heran, cemas mulai melanda.
"Kam- kamu se- seling-"
"Apasih Mel, kamu penawar resah aku. Nethink sih." Gavin buru buru menyela ucapan Amel, Amel yang mendengar tentu lega rasanya.
Amel menggerakan tubuh mereka yang saling menghangati ke arah kanan dan kiri. Gavin yang peka mengambil dua tangan Amel yang sedang memeluknya untuk di letakan di bahunya, tangannya memegang Amel.
Amel menatap Gavin dalam, rasanya dia ingin menikmati rasa rasa ini sampai selamanya. Semakin malam, Amel semakin resah.
"Jangan tinggalin aku Kak." Dengan polos, Amel mengucapkan itu.
"Kenapa?" Tanya Gavin.
"Aku gamau jauh dari Kakak," balas Amel. Gavin hanya terkekeh, dia baru sadar Amel semenggemaskan ini.
"Iya Kakak jan-"
DOR!!!
Gavin refleks memegang pinggang Amel erat. Dugaan Amel benar, dia akan dipisahkan Gavin. Bukan Gavin yang meninggalkan Amel, tapi Amel yang meninggalkan Gavin.
Saat mereka sedang berdansa tanpa musik, Gavin dan Amel sudah setengah putaran. Artinya, Gavin memunggungi pemandangan kota di malah hari, tentu hal itu dapat membuat siapa saja yang mengincar Amel semakin mendapatkan kesempatan, sehingga mudah saja peluru itu masuk ke dalam dada kiri Amel.
"Amel," ucap Gavin. Amel masih setia tersenyum sambil memegang bahu Gavin. Gavin buru buru menelfon ambulan dan polisi. Amel yang melihat itu hanya tersenyum.
"Amel tolong bertahan, aku- aku akan balas per-"
"Gapapa Gavin, ternyata bukan kamu yang ninggalin aku, aku yang ninggalin kamu," sela Amel. Gavin menggeleng takut.
"Enggak! Amel harus tetep buka matanya oke?" Gavin menggendong Amel secara bridal style dengan wajah kalutnya.
Dibawah sudah ada Ambulan yang menjemput, dan juga polisi. Rumah mereka dengan Rumah Sakit kota memang dekat, dan terlihat mama papa Gavin menghampiri Gavin.
"Gavin ad-"
"AKU GATAU MAMA! ISTRI AKU KETEMBAK!!!!" Untungnya Amel sudah diletakan di kasur khusus Rumah Sakit.
"Ya Allah Gavin." Gavin dipeluk Mora dengan erat. Ando juga memeluk Gavin.
"Aku mau ikut Ambulan Ma," ucap Gavin disela isaknya. Mora melepaskan pelukannya dan menatap anaknya yang sudah lebih tinggi darinya, Mora mengangguk kecil.
Gavin segera masuk ke Ambulan dan mendapatkan Amel yang mukanya sudah pucat, tadi sempat dadanya di sumbat kain agar menghambat darahnya untuk keluar.
Gavin hanya bisa berdoa, semoga Tuhan masih mau memberinya kesempatan untuk bahagia bersama Amel. Ya, Gavin harap.
***
Gavin terduduk lemas dikursi tunggu. Gavin baru saja mendapat kabar, kalau istrinya mengalami koma, Amel kehabisan banyak darah, dan tembakannya juga cukup dalam.
"GAVIN!!!" Gavin mendongak. Orang tuanya serta kedua mertunya datang.
"Gimana keadaan Amel, Gavin?!" Gavin hanya diam. Karly yang sudah bercucur air mata memegang lengan Gavin dan meremasnya dengan lemah.
"GAVIN!!!! AMEL KEADAANNYA GIMANA???" Gavin menatap mata Karly. Air matanya merembes dan dia segera memeluk Karly.
"Maaf Ibu," ucap Gavin. Karly memeluk erat Gavin, Kelvin hanya diam. Ando dan Mora juga diam. Mereka bukan diam membisu, diam karena menahan tangis. Mora sudah menangis tanpa suara, namun Ando dan Kelvin berusaha tidak menangis. Disaat saat seperti ini, peran mereka sangat penting untuk menguatkan yang rapuh.
"Amel koma," bisik Gavin. Karly semakin kejer dan memeluk Gavin erat. Karly tidak marah terhadao Gavin, hanya dia kecewa. Kecewa sama takdir.
Mengapa harus anaknya yang mengalami?
***
Gavin menatap tubuh perempuan yang beberapa bulan ini mengisi harinya. Pertemuan singkat, lalu perjodohan yang Gavin anggap malapetaka malah berubah menjadi anugrah.
Gavin mencintai Amel, dan Gavin menyadari itu.
Gavin hanya terobsesi sama Ana. Selama ini dia mencintai Amel, hanya dia terlalu gengsi untuk mengakuinya. Sekarang Gavin sadar, begitu besar pengaruh Amel terhadapnya.
Sekarang Gavin paham, Amel sudah menjadi pusat perhatian hatinya.
Semenjak Gavin bertemu Amel, Amel menjadi poros rotasi kehidupannya. Semua fokus Gavin hanya untuk Amel.
"Amel, yuk bangun yuk. Nanti aku beliin ice cream yang banyak!!" Gavin berucap antusias, walaupun matanya mengeluarkan cairan bening.
"Aku kangen banget sama kamu." Gavin mencium tangan Amel dengan dalam.
"Udah 2 bulan loh..." Gavin mencoba mengajak Amel berbicara lagi.
Namun hasilnya....Nihil.
Gavin menangis kembali, dia seperti manusia yang tidak terurus. Meskipun begitu, untungnya dia memiliki orang tua serta mertua yang sangat baik. Gavin masih mendapatkan perhatian serta suport untuk dirinya.
Walaupun Gavin jarang sekali mandi.
"Aku keluar dulu ya, dikit lagi mama dateng kok." Gavin berdiri dan segera berlalu.
Di sepanjang lorong, Gavin bertemu mamanya. Gavin hanya tersenyum dan menyalami saja, setelahnya dia pamit. Gavin berniat untuk menyelediki kasus ini tanpa bantuan polisi.
Sudah dua bulan, dan polisi tidak menemukan jijaknya sama sekali. Gavin tentu geram, bisa saja polisi itu sogok. Gavin menaiki taksi mobil yang sempat dia pesan.
Dijalan, pikiran Gavin terpaku pada Amel. Perempuan yang mengejar ngejar dirinya, sampai menggunakan wasiat kakenya yang paldahal perjodohan itu sifatnya tidak memaksa. Ada sisi di hatinya untuk memaksa dirinya menerima Amel.
Karena sebenarnya Gavin sudah jatuh cinta lebih dulu ke Amel, dari pada Amel ke Gavin.
Gavin di kagetkan oleh klakson truk yang berada di sebelah kanan. Gavin melihat ke sopir, dan sopirnya tidak ada. Saat Gavin ingin memuka pintu mobilnya, ternyata dikunci dari luar.
Gavin pindah ke arah depan dan berusaha mengeluarkan dirinya sendiri. Kaca bagia supir bolong, bisa jadi bolong sudah saat menjemput Gavin. Tapi karena Gavin memikirkan Amel, pikirannya tercabang cabang.
BRAK!!!
TITTTT!!!!
Suara tabrakan berbarengan dengan bunyi alat elektrokardiogram membuat siapa saja yang mendengar memekik. Gavin tidak berhasil keluar, sehingga mobil yang dia tumpangi harus menggelinding jauh.
Gavin memegang kepalanya kuat kuat, memori memori yang dia simpan bersama Amel dia ingat. Air matanya menetes, detak jantungnya berdebar kencang, dia sangat mencintai Amel.
Sampai sampai, hanya membayangkan saja membuat detak jantunga tidak normal.
"Amel...."
***
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT