Hari semakin sore. Mentari sudah berada di peraduannya. Udara dingin menemani Ratri yang sedang duduk termangu di ruang makan. Di depannya segelas susu hangat siap diminumnya.
Gelap datang menutup senja di ufuk barat. Perlahan tapi pasti purnama menghamparkan cahayanya menutupi gemerlap bintang di langit. Malam merangkak bersama detak-detik sang waktu menemani hati Ratri yang sedang terpenjara sepi. Sementara dari rumah belakang, Simbok berjalan sambil membawa tampah. Dia menuju pintu masuk dapur.
"Nduk ...."
Terdengar suara seseorang yang telah lama dinantikan oleh Ratri. Dia menoleh dan beranjak dari tempat duduknya. Dilihatnya Mbok Sum muncul dari dapur sambil membawa tampah sesajen.
"Simbok! Aku ..., aku ...."
"Sudah tidak apa-apa! Ini Simbok buatkan sesajen lagi. Dan malam ini akan Simbok selesaikan ritual sesajen ini," kata Mbok Sum. Dia kemudian berjalan ke arah kamarnya untuk meletakkan tampah sesajennya.
"Suamimu belum pulang, Nduk?" tanya Mbok Sum ketika keluar kembali dari kamarnya.
"Belum, Mbok," jawab Ratri.
"Baguslah! Kamu di sini dulu, Nduk. Simbok akan mengambil anakmu agar tidak menghalangi keinginan Simbok. Setelah itu Simbok akan menyelesaikan urusanmu," kata Simbok dengan nada datar dan berat.
Wajah cantik Mbok Sum terlihat begitu dingin dan agak pucat. Matanya menatap tajam ke arah Ratri. Ratri yang masih di bawah pengaruh bunga kantil menatap dengan pandangan kosong dan mengangguk menuruti kata-kata Mbok Sum. Mbok Sum segera masuk ke kamar Ratri. Terdengar bunyi berderit pelan ketika pintu kamar Ratri dibuka. Seketika Ayu yang sedang menemani Alit menoleh dan terkejut dengan kedatangan Mbok Sum.
"Simbok ...? Kenapa Simbok baru jenguk adik sekarang? Ayu juga kangen sama Simbok," kata Ayu sambil tersenyum.
Mbok Sum tidak menghiraukan sapaan Ayu. Dia segera mendekat ke arah Alit. Diperhatikannya tubuh mungil yang terbungkus selimut bayi itu. Mbok Sum menjulurkan kedua tangannya untuk meraih tubuh Alit.
"Aku akan segera melenyapkanmu dan mengorbankan ibumu. Setelah itu tidak ada seorang pun yang akan menghalangi keinginanku untuk menguasai harta peninggalan Ndoro Sastro!" kata Mbok Sum dalam hati sambil tersenyum kecil penuh kemenangan.
Tetapi tiba-tiba saja mata Alit terbuka lebar dan menatap tajam mata Mbok Sum. Mbok Sum pun terkejut dan menghentikan tangannya ketika terdengar suara lirih menggema di sekitar kepalanya.
"Tidak akan kubiarkan itu terjadi! Aku akan melindungi ibuku!"
"Apa ...? Bayi ini ... bayi ini bisa bicara? Mungkin dugaanku benar kalau bayi Ratri mempunyai daya linuwih)*. Tapi aku tidak takut!" kata Mbok Sum sambil berusaha meraih tubuh bayi itu.
Ketika jarak tangan tinggal satu jengkal, tiba-tiba kedua tangan Mbok Sum tidak dapat digerakkan dan tubuhnya terdorong ke belakang. Berkali-kali Mbok Sum mencoba meraih tubuh Alit tetapi selalu saja tubuhnya kembali terdorong ke belakang.
Bayi Ratri cukup kuat juga. Aku harus menggunakan mantra Wewe Gombel untuk menghadapinya, kata Mbok Sum dalam hati.
"Nini-nini susu gandul rikma putih. Sing manggon ing donya ireng donya peteng. Siro duwe mulyo duwe langgeng. Awak siro manjing awak ingsun. Sir sir ingsung njaluk ingsung ngabekti saklawase." Terlihat mulut Mbok Sum komat-kamit berulang kali merapal mantra untuk memanggil baurekso Wewe Gombel.
Tak lama kemudian segumpal asap putih tiba-tiba muncul dari langit-langit kamar. Kemudian meluncur dan berputar-putar di atas kepala Mbok Sum. Terlihat tubuh Mbok Sum sedikit menegang dan kepala mendongak ke atas. Kemudian gumpalan asap itu sebagian membentuk sebuah selendang pendek dan meluncur pelan membelit tubuh Mbok Sum. Sebagian lagi gumpalan asap itu berputar semakin cepat mengelilingi mereka bertiga. Terdengar tawa lirih keluar dari mulut Mbok Sum. Ayu tertegun dan merasa ketakutan menyaksikan semua kejadian itu. Dia merasa berada di dalam pusaran angin yang begitu kuat.
Tiba-tiba Ayu melihat bayangan putih transparan —tubuh halus— Wewe Gombel telah terikat oleh selendang di belakang tubuh Mbok Sum. Perlahan bayangan putih itu masuk dan menyatu dalam tubuh Mbok Sum. Proses itu menyebabkan rasa sakit yang tidak bisa ditahan oleh Mbok Sum hingga dia menjerit menyayat hati.
"Simbok! Simbok kenapa?" teriak Ayu merasa khawatir pada keadaan Mbok Sum. Tapi Mbok Sum tidak bisa mendengarnya.
Proses itu berakhir dengan berubahnya Mbok Sum menjadi makhluk setengah lelembut dalam wujud yang sangat mengerikan. Matanya bulat besar berwarna merah menonjol keluar memancarkan amarah. Tubuhnya menjadi bungkuk dengan kulit keriput. Tiba-tiba Mbok Sum menoleh ke arah Ayu. Dia membuka mulut memperlihatkan kedua gigi taringnya.
Ayu pun terkejut dengan perubahan wujud Mbok Sum yang terlihat seperti Nenek Bongkok. Dia bermaksud lari meninggalkan tempat itu. Tapi terlambat, Mbok Sum mengibaskan tangan kanannya ke arah Ayu. Seketika tubuh Ayu terpental dan terdorong beberapa langkah ke belakang keluar dari pusaran angin. Ayu jatuh bergulung-gulung di lantai dan tidak sadarkan diri.
Kini tinggal Mbok Sum dan Alit yang berada di dalam pusaran angin. Mbok Sum kembali menjulurkan kedua tangannya dan berhasil meraih tubuh Alit. Diangkatnya tubuh bayi itu dan diguncang-guncangkan dengan keras. Kemudian dibaliknya hingga kepala Alit berada di bawah dan kaki di atas. Mbok Sum kemudian mengangkat tubuh Alit ke atas kepalanya. Dan dengan cepat dibantingnya Alit dengan posisi kepala di bawah. Bayi itu pun meluncur cepat ke arah lantai kamar.
"Mati kau! Sekarang tidak ada lagi yang akan menghalangi keinginanku!" kata Mbok Sum dengan suara berat sambil memandangi tubuh Alit yang meluncur cepat akan membentur lantai.
Sebelum itu terjadi tiba-tiba muncul sekelebat bayangan kembar dua orang anak kecil berwarna putih dan kuning meluncur berusaha menembus pusaran angin. Kedua bayangan kembar itu sempat terpental beberapa kali. Tapi tepat satu jengkal sebelum kepala Alit membentur lantai, kedua bayangan kembar itu berhasil menembusnya. Salah satu bayangan berhasil menangkap tubuh Alit dan menggendongnya. Mbok Sum begitu terkejut dengan kehadiran dua bayangan kembar tersebut.
"Siapa kau? Berani menghalangi rencanaku?" Mbok Sum tampak marah dan mengayun-ayunkan tangannya untuk merebut Alit kembali. Keluar kuku-kuku runcing dari jari-jari kedua tangannya.
Mbok Sum mengejar kedua bayangan kembar tersebut. Kedua tangannya berkelebat semakin cepat dan bermunculan tangan-tangan yang lain. Mereka kewalahan dan berusaha keluar dari kepungan tangan-tangan berkuku runcing tersebut. Tapi tidak ada ruang gerak lagi bagi mereka karena lingkaran pusaran angin itu bergerak semakin mengecil. Mereka benar-benar terdesak dan akhirnya tangan-tangan berkuku runcing itu berhasil menangkapnya.
"Serahkan bayi itu!" perintah Mbok Sum. Tapi bayangan kuning bersikukuh tidak mau menyerahkan Alit yang berada dalam gendongannya. Meskipun tangan Mbok Sum mencengkeram dan siap untuk meremas-remas tubuh bayangan kuning.
"Cepat serahkan bayi itu!" perintah Mbok Sum sekali lagi tapi tidak dihiraukan oleh bayangan kuning tersebut. Mbok Sum terlihat semakin marah dan mengangkat satu tangan yang lain ke arah leher bayangan kuning.
"Serahkan bayi itu, atau aku lenyapkan tubuhmu!" ancam Mbok Sum.
Bayangan kuning tidak memberi reaksi apa pun. Dia hanya berusaha untuk melindungi Alit. Secepat kilat kuku-kuku runcing dari tangan Mbok Sum itu menembus leher bayangan kuning. Terdengar lengkingan menyayat hati dan berpendarlah bayangan kuning menyilaukan mata. Tubuh Alit yang masih dalam gendongannya pun jatuh ke lantai. Sebuah tangan berkuku runcing yang lain segera menangkap bayi itu.
Bersamaan dengan itu terdengar lengkingan menyayat hati dari bayangan putih karena kuku-kuku runcing dari tangan Mbok Sum yang lain juga menembus lehernya. Kedua tubuh bayangan mereka berpendar kemudian memudar warnanya dan semakin lama semakin menghilang. Mereka lenyap ditembus oleh kuku-kuku runcing Mbok Sum. Pusaran angin yang bergerak mengelilingi mereka pun semakin mereda dan dinding gaib perlahan mulai menghilang.
Sementara itu Ratri masih berada ruang makan dan tidak mengetahui kejadian mistis yang sedang menimpa anak keduanya. Dia sedang tertidur dalam posisi duduk di kursi makan saat itu. Hingga dia tersadar ketika sepasang tangan memegang pundak dan mengguncang-guncangkannya.
"Rat, Ratri! Bangun, Rat!" Terdengar suara Wibi membangunkan dari tidurnya. Waktu itu jarum jam menunjuk pukul sembilan malam lebih ketika Wibi sudah sampai di rumah.
"Mas, kamu sudah pulang?" Ratri membuka matanya.
"Iya, baru saja. Kenapa kamu tidur di sini, Rat?"
"Tadi aku tadi lagi ngobrol sama Simbok. Terus aku ketiduran."
"Apa? Simbok menemuimu, Rat? Terus di mana sekarang?"
"Tadi katanya ingin melihat Alit di dalam."
"Simbok ada di dalam? Dan bau bunga kantil ini ...," Wibi tidak meneruskan kata-katanya. Pandangan matanya tertuju ke arah pintu kamar.
"Ada apa, Mas?" tanya Ratri merasa khawatir ketika Wibi menyebut bunga kantil. Dia teringat kembali kejadian di pohon asem tua itu.
"Apa Simbok masih di dalam kamar, Rat?" Belum sempat Ratri menjawab, terdengar tangisan Alit dari dalam kamar.
*****
Catatan :
Daya linuwih : kekuatan lebih, supranatural