Sang mentari perlahan merayap naik semakin tinggi. Sedangkan awan kelabu masih terlihat mengiringi perjalanannya. Sementara itu Wibi dan Ratri terlihat sudah bersiap-siap di teras rumahnya.
"Ayo, Mas, kita berangkat, mumpung cuaca masih cerah," kata Ratri sambil melihat ke atas langit. Sedikit mendung akan menemani perjalanan mereka.
Wibi segera mengeluarkan motornya. Pelan-pelan mereka berdua menyusuri jalan kampung yang sepi dan berdebu. Mereka berpapasan dengan anak-anak yang berjalan beriring-iringan sambil membawa pincuk berisi nasi bancakan. Tak lama kemudian mereka melewati jalan di depan rumah Mbokdhe Pawiro. Acara bancakan telah selesai, tapi masih terlihat beberapa anak di sana.
Wibi melanjutkan laju sepeda motornya melewati beberapa kebun kosong di kanan kiri jalan. Hingga mereka tiba di batas kebun kosong milik keluarganya, Ndoro Sastro. Kebun itu cukup luas memanjang di tepi Sungai Bengawan Solo dan berpagar tanaman perdu yang tidak begitu tinggi tetapi rapat. Pagar tanaman itu terlihat rapi karena Wibi selalu menyewa orang untuk merawat dan merapikan pagar tersebut.
Tak jauh dari tempat mereka, Ratri melihat Mbok Sum dari arah belakang sedang berjalan tergesa-gesa menyusuri jalan di depan kebun kosong milik keluarganya.
"Itu Simbok, Mas. Mau ke mana dia, ya?" tanya Ratri.
"Entah, Rat. Eh, tapi ..., itu ..., apa yang dibawa Simbok?" tanya Wibi sambil memperhatikan Mbok Sum.
"Sepertinya Simbok membawa sajen," kata Ratri.
"Iya, benar, Rat. Mau dibawa ke mana sajen itu?" tanya Wibi.
Wibi kemudian mempercepat laju motornya untuk mendekati Mbok Sum. Mbok Sum pun menghentikan langkahnya sejenak ketika mendengar bunyi motor mendekat ke arahnya. Dia kemudian menengok ke belakang. Tetapi begitu mengetahui Wibi dan Ratri ada di belakangnya, Mbok Sum segera melangkah lagi.
"Tunggu, Mbok! Simbok mau ke mana? Terus sajen itu mau diberikan pada siapa, Mbok?" tanya Ratri setelah mereka cukup dekat dengan Mbok Sum.
Mereka pun berhenti di dekat pintu masuk kebon. Pintu masuk itu berupa pintu pagar besi yang masih cukup kokoh meski sudah terlihat berkarat.
"Baurekso," jawab Mbok Sum singkat.
Baurekso? Jadi benar dugaanku selama ini. Simbok telah memberi sajen pada lelembut. Mungkin juga Simbok telah membuat suatu perjanjian. Dan Ratri akan menjadi tumbalnya, kata Wibi dalam hati sambil memperhatikan tampah kecil yang dibawa Mbok Sum.
"Biasanya Simbok hanya menaruhnya di dalam kamar untuk beberapa hari? Terus sajen itu mau dibawa ke mana, Mbok?" tanya Ratri.
"Pohon asem tua," jawab Mbok Sum dengan nada dingin sambil mengarahkan pandangannya ke pohon asem tua yang berada di kebun kosong keluarganya itu.
Hmm ... ternyata tempat itu di sana, kata Wibi dalam hati teringat dulu kata-kata Mbok Sum yang akan memberitahu suatu tempat jika Ratri sudah mau memenuhi janji untuk melaksanakan ritual bancakan dan sesajen.
"Iya, tempat itu," kata Mbok Sum dengan nada berat setengah mendesis. Mbok Sum menatap tajam pada Wibi seolah-olah mengetahui apa yang ada dalam pikiran Wibi.
Aneh, Simbok seperti dapat membaca pikiranku. Dan tatapan mata itu, sepertinya dia bukan Simbok. Ada sesuatu dalam diri Simbok, kata Wibi dalam hati.
***
Semilir angin berembus pelan menerbangkan dedaunan kering di pinggir kebun kosong itu. Batang-batang bambu di tepi sungai pun bergoyang menimbulkan suara berderit menyayat hati. Wibi dan Ratri merasakan suasana mistis menyelimuti pertemuan mereka.
"Mas, aku merinding dan takut melihat tatapan mata Simbok. Aku jadi teringat sama Nenek Bongkok itu lagi," kata Ratri pelan sambil memegang erat pinggang Wibi.
"Tenang, Rat. Kendalikan pikiranmu. Ini yang sebenarnya diinginkan oleh lelembut itu supaya kamu terpengaruh menuruti keinginan Simbok." Wibi mencoba menenangkan Ratri. Suasana hening sejenak dan sedikit mencekam.
"Seharusnya kamu yang memberikan sesajen ini ke sana, Nduk, bersama Simbok. Sekali ini saja, untuk menebus kelalaianmu dulu. Supaya baurekso tahu kamu dan dapat melindungimu dari gangguan lelembut-lelembut itu," bujuk Mbok Sum sambil menyodorkan tampah kecil yang dibawanya.
"Siapa sebenarnya baurekso itu, Mbok? Apakah dia itu lelembut Nenek Bongkok?" tanya Ratri khawatir sambil menatap tampah kecil itu.
"Eee ... bukan! Dia ... dia lebih kuat dari Nenek Bongkok. Dia penguasa kampung ini. Semua lelembut takluk pada baurekso. Jadi ... eee ... berikan sesajen untuknya ya, Nduk. Agar baurekso berkenan melindungi dan menjaga keselamatanmu," jawab Mbok Sum agak gugup. Seperti ada yang disembunyikan dari perkataannya.
"Benar begitu, Mbok? Aku ... aku benar-benar takut sama Nenek Bongkok. Aku takut dia akan datang lagi, Mbok!" Ratri diliputi perasaan ragu pada kata-kata Mbok Sum. Dia semakin khawatir.
"Kalau begitu Simbok antar kamu ke pohon asem tua itu. Berikan sesajennya, Nduk!" bujuk Mbok Sum lagi.
Sugesti yang diberikan Mbok Sum tentang baurekso itu begitu kuat mencoba meruntuhkan keyakinan Ratri. Perlahan Ratri turun dari boncengan motor Wibi dan mendekati Mbok Sum. Kedua tangannya menjulur ke depan menyambut tampah kecil yang disodorkan Mbok Sum.
"Ratri! Jangan ke sana, Rat!" Wibi berusaha mencegahnya. Tetapi perlahan Ratri tetap melangkah mendekati Mbok Sum. Mbok Sum tersenyum melihatnya. Dia merasa perjanjian ketiganya dengan baurekso Wewe Gombel bakal terlaksana dan akan terpenuhi segala keinginannya selama ini.
Tiba-tiba angin yang berembus pelan menyingkapkan sedikit daun pisang penutup sajen itu. Wibi terkejut mendapati pemandangan di depannya. Sekilas dia melihat cairan merah dalam mangkok kecil di dalam tampah sajen. Wibi mengalihkan pandangannya pada Mbok Sum. Mereka sejenak beradu pandang. Mbok Sum pun menyadari apa yang baru saja dilihat oleh Wibi dan buru-buru membetulkan letak daun pisang penutup tampah sajen itu.
Darah ...? Simbok memakai darah untuk sajennya? Benarkah apa yang kulihat ini? tanya Wibi dalam hati sambil menatap tajam pada Mbok Sum, kecurigaanku pada Simbok semakin jelas. Ada tujuan lain pada sesajen yang sering dibuatnya.
Sinar mentari tiba-tiba saja meredup dan semilir angin dingin menyelimuti tempat itu. Wibi merasakan getaran aneh pada tatapan mata Mbok Sum. Sementara itu Ratri semakin tenggelam dalam sugesti tentang baurekso yang diberikan Mbok Sum.
"Ayo, Nduk, kita ke sana," kata Mbok Sum sambil menuntun tangan Ratri. Bagai kerbau di cocok hidung, Ratri yang kehilangan sebagian kesadarannya menuruti apa yang diomongkan oleh Mbok Sum. Dan perlahan melangkahkan kakinya.
"Ratri ...! Tunggu, Rat! Sadarlah! Lawan sugesti itu!" kata Wibi sambil memegang tangan Ratri.
"Aku ... aku takut lelembut Nenek Bongkok menggangguku lagi, Mas. Aku harus memberikan sajen ini pada baurekso di sana," kata Ratri dengan tatapan mata kosong.
"Tidak, Ratri! Baurekso itu sebenarnya adalah Nenek Bongkok! Dan kamu bisa menjadi korban berikutnya!" Wibi berusaha keras untuk mengembalikan kesadaran Ratri dari pengaruh Mbok Sum.
"Jangan ngomong sembarangan dan jangan kamu halangi istrimu, Nak! Biarkan Ratri ke sana dan meneruskan tradisi yang telah Simbok lakukan. Supaya keluarga kita selamat tidak diganggu lelembut lagi!" kata Mbok Sum dengan suara keras sambil menatap tajam pada Wibi.
"Iya, Mas. Benar kata Simbok," kata Ratri dengan nada datar dan tanpa ekspresi apa pun.
"Tidak, Rat! Dia bukan Simbok kita lagi. Dan dia bukan keluarga kandungmu. Mintalah perlindungan pada Gusti Alloh, Rat!" bisik Wibi di telinga Ratri. Tangannya dengan kuat memegang lengan Ratri untuk menahan langkahnya.
"Ratri sadarlah, lawan sugesti Simbok dengan doa!" bujuk Wibi lagi.
"Mas, aku takut!" Tiba-tiba muncul rasa bimbang pada diri Ratri. Terlihat keringat dingin meleleh di kening dan dahinya.
Sesaat kemudian Ratri seperti merasakan bayi dalam kandungannya bergerak-gerak. Ketika dia mencoba melangkah lagi gerakan itu terasa semakin kuat. Gerakan itu seolah-olah mengirimkan getaran untuk memperkuat keyakinannya.
Ratri semakin bimbang hatinya tetapi dia tetap mencoba untuk melangkahkan kakinya. Ketika dia berusaha melangkah semakin kuat pula gerakan bayinya. Gerakan itu seperti mendorong tubuhnya untuk kembali ke belakang sehingga menimbulkan rasa sakit di perutnya.
Ada apa anakku? Kamu tidak ingin ibu pergi ke sana? tanya Ratri dalam hati.
Serta merta dia melepaskan pegangan tangannya pada tampah sajen kemudian memegang perut besarnya. Melihat kejadian itu Wibi berusaha meyakinkan Ratri kembali.
"Jangan biarkan sugesti Simbok menguasaimu, Rat!" Berkali-kali Wibi mencoba menyadarkan Ratri.
Aneh, begitu pegangan pada tampah terlepas, Ratri seperti orang bingung. Dia tidak menyadari apa yang telah terjadi pada dirinya.
"Ada apa ini, Mas? Tampah sajen itu ...." Ratri seperti tersadar kembali. Dipandanginya Wibi, Mbok Sum, dan tampah sajen itu secara bergantian.
"Kamu telah terpengaruh oleh omongan Simbok, Rat. Kamu hampir saja memberikan sajen itu pada baurekso!" jawab Wibi merasa lega karena perlahan keyakinan Ratri pulih kembali.
"Simbok, aku minta simbok menghentikan saja sesajen ini. Aku takut ada korban lagi di keluarga kita seperti dulu," kata Ratri masih dengan memegang perutnya.
"Korban apa? Apa yang kamu ketahui tentang masa lalu keluarga kita, Nduk? Itu tidak benar! Justru dengan sajen ini Simbok meminta keselamatan dan dijauhkan dari gangguan lelembut yang selama ini mengganggumu!" kata Mbok Sum membela diri.
"Tapi lelembut itu sampai sekarang masih saja menggangguku meskipun Simbok sudah memberikan sesajen," sanggah Ratri.
"Itu karena kelalaianmu sendiri saat melanggar pantangan dulu. Kalian tidak mau menebusnya sendiri." Simbok mencoba memberi alasan seperti dulu.
"Jaman sudah banyak berubah, Mbok. Sudah tidak ada pantangan seperti itu lagi," kata Wibi ikut menyela.
"Masih ada!" jawab Mbok Sum dengan tegas, "buktinya Ratri masih saja diganggu oleh lelembut!"
"Itu karena sesajen yang sebenarnya tidak perlu simbok lakukan. Simbok telah sengaja mengundang lelembut itu dengan alasan pantangan yang kami langgar. Jadi hentikan saja sesajen itu, Mbok, supaya hidup kami bisa tenteram!" kata Wibi.
"Tidak! Simbok akan terus dengan tradisi ini meskipun kalian berdua tidak percaya dan tidak mau mengikuti apa yang telah Simbok lakukan. Simbok akan lakukan sendiri ritual ini!" jelas Mbok Sum.
Simbok kemudian berbalik arah dan melangkah meninggalkan Wibi dan Ratri. Langkahnya begitu tergesa-gesa menuju pohon asem tua di kebun kosong itu.
"Mbok, hentikan! Aku tidak ingin Ratri menjadi korban akibat sesajen itu!" teriak Wibi mencoba menghentikan langkah Mbok Sum.
Tetapi Mbok Sum tetap saja tidak peduli.
*****